Pandangan Islam terhadap Bacaleg Mantan Napi Korupsi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pandangan Islam terhadap Bacaleg Mantan Napi Korupsi

Oleh: Siti Aisyah

 (Guru RA di Rancaekek)

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 15 mantan terpidana korupsi dalam daftar sementara bakal caleg yang diumumkan Agustus 2023. Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramdhan, hal tersebut membuktikan bahwa Partai Poilitik masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. (voaindonesia.com, 26/08/2023)

Jika kita perhatikan, realita di atas sungguh miris. Sejatinya setiap ada pemilihan wakil rakyat, secara alami kita berharap akan lahir caleg-caleg yang terbaik untuk mengurusi umat. Namun, melihat fakta adanya mantan napi korupsi yang ingin mewakili rakyat justru membuat kita menjadi khawatir dengan keberadaanya. Sehingga wajar jika sebagian dari kita takut hal tersebut akan membawa umat pada keterpurukan.

Jika kita mencoba menguraikan hal ini, kita dapat melihat bahwa masih ada koruptor yang mencalonkan diri sebagai bacaleg. Meskipun ada larangan yang pernah diberlakukan, pada tahun 2018 Mahkamah Agung (MA) membatalkannya dengan alasan hak asasi manusia (HAM). Keadaan ini, di satu sisi, menunjukkan bahwa seolah-olah tidak ada lagi orang yang pantas untuk dipercayakan oleh rakyat.

Di sisi lain, bacaleg sendiri memerlukan modal besar. Sehingga orang yang baik namun tanpa dukungan finansial yang cukup hampir tidak mungkin mencalonkan diri. Memang ironis, namun ini adalah realitas dalam demokrasi. Oleh karena itu, kebijakan yang memolehkan pencalonan ini jelas memunculkan kekhawatiran akan munculnya korupsi lagi. Terutama, karena hukum di Indonesia belum memberikan sanksi yang cukup tegas, dan seolah-olah hukum dapat dibeli.

Fenomena yang memungkinkan mantan koruptor untuk mencalonkan diri sebagai bacaleg mencerminkan paradoks dalam sistem demokrasi. Selama ini, demokrasi sering dipromosikan sebagai bentuk pemerintahan yang bersih dan transparan karena para pemimpinnya dipilih oleh rakyat. Prinsip “vox populi vox dei” menunjukkan bahwa pemimpin yang terpilih seharusnya dianggap sebagai “pilihan Tuhan.” Namun, dalam kenyataannya, demokrasi malah memberikan perlindungan kepada mereka yang terlibat dalam tindakan korupsi.

Selama demokrasi tetap menjadi sistem yang dipegang teguh di negara ini, upaya untuk memberantas korupsi akan tetap menjadi retorika kosong, dan citra pemerintahan yang bersih hanya akan menjadi ilusi semata. Jika kita benar-benar ingin menghilangkan korupsi di Indonesia, maka kita perlu mengubah sistem pemerintahan dari demokrasi menjadi sistem berdasarkan prinsip-prinsip Islam.

Aturan dalam sistem Islam bukanlah produk manusia, tetapi berasal dari wahyu ilahi yang dijamin kebenarannya. Dalam sistem Islam, salah satu persyaratan utama bagi pemimpin adalah memiliki sifat adil. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl ayat 90, “Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik.”

Kepentingan keadilan yang dimiliki oleh penguasa sangat besar. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun; dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq).

Arti dari “keadilan” adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam karyanya, “As-Siyasah asy-Syar’iyah.” Keadilan ini merujuk pada penerapan segala yang telah diungkapkan dalam Kitab dan Sunah, termasuk hukum-hukum hudud dan peraturan lainnya. Dengan kata lain, orang yang dapat dianggap adil adalah seseorang yang menjalankan hukum-hukum Allah Taala, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun masyarakat.

Sebaliknya, orang yang melakukan tindakan dosa (maksiat) tidak dapat dikategorikan sebagai individu yang adil. Jika seseorang terlibat dalam kasus korupsi, hal ini juga menunjukkan bahwa dia tidak memenuhi standar keadilan, sehingga tidak memenuhi syarat untuk menjadi seorang penguasa. Oleh karena itu, para koruptor tersebut dengan jelas tidak pantas mencalonkan diri sebagai pemimpin.

Lalu bagaimana Islam memandang semua ini? Situasi di atas tentunya akan berbeda jika hukum Islam diterapkan dengan sempurna. Dalam Islam, syarat menjadi wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar dapat dipercayakan dalam menjalankan peran sebagai wakil rakyat. Sistem hukum dalam Islam sangat ketat dan mencegah pelanggaran dengan tegas. Sistem ini berfungsi sebagai sarana pencegahan dan penegakan hukum yang efektif. Akibatnya, akan muncul wakil rakyat yang benar-benar dapat dipercayai, bukanlah seorang pelaku kejahatan.

Satu-satunya sistem pemerintahan yang bersih dan adil itu adalah Sistem Pemerintahan Islam, satu-satunya sistem yang berasaskan akidah Islam. Seluruh hukum Allah Swt. akan tegak dengan adanya sistem ini. Inilah wujud nyata keadilan, sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Taimiyah sebelumnya.

Sistem Pemerintahan Islam memiliki langkah-langkah yang komprehensif untuk memastikan terwujudnya pemerintahan yang bersih. Korupsi dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum, berdasarkan larangan terhadap ghulul (penggelapan harta). Dalam konteks pencegahan, hanya individu yang adil yang berhak untuk menduduki posisi penguasa, pejabat, atau pegawai dalam pemerintahan. Orang yang telah terbukti melakukan perbuatan fasik atau maksiat akan dilarang memegang jabatan dalam pemerintahan.

Selain itu, pergerakan kekayaan pejabat selalu dipantau oleh para penguasa di Sistem Islam. Apabila ada peningkatan harta yang tidak wajar, mereka harus memberikan penjelasan mengenai sumber-sumbernya. Jika terbukti bersalah, pejabat tersebut akan diumumkan secara publik, harta hasil penggelapan miliknya akan disita, dan mereka akan dikenai hukuman takzir yang jenisnya akan ditentukan oleh khalifah atau kadi. Hukuman takzir dapat berupa penjara, pengasingan, atau bahkan hukuman mati.

Inilah keseluruhan mekanisme yang ada dalam Islam untuk mencapai pemerintahan yang bersih. Sistem ini adalah yang perlu kita usahakan, bukan sistem demokrasi yang telah terbukti gagal menghadapi masalah korupsi.

Wallahu a’lam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *