Pajak = Pemerasan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Annisa Ria Sifa Wardani

 

Lagi-lagi publik dibuat marah oleh rencana pemerintah yang akan memungut pajak.  Dulu para raja biasa memungut pajak dan upeti dari rakyat mereka. Sekarang direncanakan pula ada pungutan/pajak atas sembako, sekolah bahkan pajak dari para ibu yang melahirkan.

Pajak dan berbagai pungutan memang menjadi salah satu urat nadi pendapatan negara. Seorang ahli pemerintahan Barat, Arthur Vanderbilt, mengatakan, “Pajak adalah urat nadi (lifeblood) pemerintah.” Sebab itulah dalam sistem ekonomi mereka, berbagai pungutan/pajak digencarkan. Bahkan warga miskin juga dikejar berbagai pungutan/pajak.

Mengapa demikian?

Mengapa sembako dikenai pajak? Beberapa bahan pokok biasanya akan naik ketika menjelang puasa,lebaran dan bagaimana jika akan dikenai pajak dengan harga yang sudah naik? Akan berapa kali lipat lagi harga cabai dipasar?. Belum lagi ketika cuaca buruk dan hasil panen cabai menjadi sedikit. Sungguh ironis.

Bagaimana jika pendidikan dikanai pajak? Saat ini saja ketika ada program pendidikina gratis masih banyak anak yang putus sekolah bahkan tidak pernah merasakan bangku sekolah. Bagaimana jika pendidikan dikenai pajak? Mau jadi apa generasi indonesia? Apakah indonesia mau dipimpin oleh orang yang tidak berpendidikan atau indonesia akan mengimpor generasi dari negara lain?

Dikarenakan hutang indonesia yang semakin hari semakin membengkak pemerintah berinisiatif menaikkan tarif pajak dan mengupgrade peraturan perpajakan. Hasil dari upgradenya yaitu sembako dikenai pajak, pendidikan dikenai pajak bahkan persalinan pun kabarnya akan dikenai pajak.

Dalam sistem Kapitalisme sekuler, berbagai macam pungutan (pajak) justru menjadi sumber utama pendapatan negara. Pajak dan berbagai pungutan lainnya tentu menambah beban kehidupan masyarakat. Ironisnya, pada saat kondisi kehidupan yang sedang sulit sekalipun seperti saat ini, pungutan pajak bukannya dikurangi atau dihilangkan, malah makin ditambah. Padahal, di sisi lain, negara tidak menjamin kesejahteraan bagi seluruh warganya.

Dalam Islam pajak haram secara syar’i, dikarenakan hadits Rasulullah Saw menyatakan :

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

”Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (2937), Imam Ahmad (4/143, 17426), Ad Darimi (1666), Ibnu Khuzaimah (2333). Sedangkan Al Hakim meriwayatkan dengan matan (redaksi):

لا يدخل صاحب مكس الجنة

”Tidak akan masuk pemungut pajak (kedalam) surga”.

Di dalam al-Quran telah terdapat larangan mengganggu dan merampas harta manusia tanpa alasan yang haq. Firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar keridhaan di antara kalian (TQS an-Nisa’ [4]: 29).

Dalam ayat ini terkandung pemahaman bahwa harta sesama manusia boleh diambil dan dimanfaatkan jika pemiliknya ridha dan tentu harus sesuai dengan ketentuan syariah Islam, seperti melalui jual-beli, hibah, sedekah, dsb.

Memang adakalanya negara dibolehkan untuk memberlakukan pajak (dharibah). Namun demikian, konsep dan pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem pajak hari ini. Pajak (dharibah) dalam Islam hanya diberlakukan saat negara benar-benar krisis keuangan, sementara negara tentu membutuhkan dana segar untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka. Misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah, membayar gaji (pegawai, tentara, juga biaya hidup pejabat), memenuhi kebutuhan fakir miskin, juga penanganan bencana alam dan wabah.

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani memandang bahwa pajak bisa dilakukan oleh negara, kalau negara sedang dalam keadaan darurat saja bukan sebagai pendapatan utama(An-Nabani, 2000). Jadi jika kebutuhan yang mendesak tersebut telah diselesaikan pajak akan dihentikan.

Meskipun pajak diperbolehkan oleh ulama tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan rambu-rambu syariah jika tidak, pajak akan menjadi alat penindasan kepada rakyat seperti yang terjadi saat ini. Yang salah bukan pajak, tetapi sistem yang tak layak pakai yaitu sisitem demokrasi sekuler. Dimana sistem ini sangat mengagungkan materi. Koruptornya membuat negara semakin terlilit hutang. Kerusakannya akan semakin parah setiap harinya karena individu, masyarakat, dan negara akan selalu berkesinambungan. Jadi 1 pilar yang rusak, sistem negara misalnya maka seluruhnya perlahan akan ikut rusak.

Sistem islam adalah negara yang menjalankan syariat islam, hukum-hukumnya bersumber dari Allah sang pencipta yang mengetahui semua kebutuhan hambanya. Sehingga sistem ini sempurna. Di dalam islam terdapat baitul mall yang meruoakan lumbung negara atau uang rakyat yang akan dikelola negara untuk mencukupi kebutuhan kesehatan, pendidikian, dan segala kebutuhan keuangan negara. Sumbernya darimana?

Sumber pendapatan tetap bagi negara untuk mengurus kebutuhan rakatnya. Sistem ekonomi islam menetapkan terdapat 3 jalur pos dalam baitul mall

1. Pos kepemilikan negara

Berasal dari kepengelolaan harta anfal, ghanimah dan khumus, jizyah, kharaj usyur, ghimah (harta milik umum yang dilindungi negara)

2. Pos kepemilikan umum

Yaitu harta yang berasal dari pengelolaan kekayaan alam berupa tambang, kekayaan laut, hutan dan sebagainya.

3, Pos zakat dan shadaqah

Berasal dari harta zakat kaum muslimin baik zakat fitrah maupun zakat mall.

Diatas adalah jalur ekonomi islam yang di tetapkan di dalam khilafah (negara islam). Mengapa harus menggunakan ekonomi islam? Ekonomi islam telah terbukti sukses dalam masa khilafah Rasulullah hingga pemerintahan Ustmaniyah di Turki. Bahkan pada masa daulah Abbasiyah Harun Arrasyid memiliki APBN mencapai 3 ribu triliun rupiah.

Di dalam sistem islam pendidikan dan kesehatan adalah tanggung jawab negara, tidak membedakan orang kaya ataupun orang miskin. Semua kalangan akan mendapatkan pendidikan dan kesehatan gratis karena telah menjadi tanggung jawab negara.

Jadi jika sistem islam diterapkan secara kaffah dan dilakukan secara praktis oleh negara maka tidak akan lagi pajak yang akan menyekik rakyat. Dan fungsi negara adalah untuk meri’ayah umat bukan untuk memeras umat dan menjadikannya sapi perah untuk kebutuhan negara seperti yang saat ini terjadi di negeri kapitalis.

Bangsa ini akan selamat dan sejahtera jika mau mengambil Islam untuk mengatur urusan negara. Bangsa ini telah rusak dan binasa, rakyatnya sengsara, karena menerapkan sistem kapitalisme demokrasi sekuler, sehingga kekayaan alam yang diciptakan Allah SWT, hanya dikuasai oleh segelintir kapitalis. Rakyat bukan saja tidak kebagian, malah diperas lagi dengan pungutan pajak yang menyengsarakan.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *