OTG Millenial di Era New Normal

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Adila Azahra, (Siswi SMAIT Al-Amri)

Kebijakan New Normal yang dinilai kurang bijak benar-benar tidak terbukti melandaikan kurva kasus Corona di Indonesia. Dengan mentahnya kesiapan pemerintah dan masyarakat, menjadikan seolah-olah COVID-19 yang mematikan adalah virus biasa. Kita bisa lihat, protokol kesehatan dan pembatasan sosial mulai diabaikan.

Kelonggaran social distancing oleh kawula muda dikarenakan mereka merasa usianya kuat dan kebal terhadap virus. Tanpa sadar disitulah letak penularan virus. Dimana yang muda terpapar namun kebal, lalu akhirnya membawakan virus kepada mereka yang rentan, seperti anak-anak dan lansia. Silent killer istilahnya. Tetapi bagaimanapun penularan virus ini tidak pandang bulu. Mengingat adanya kasus 1.280 orang dari Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat (Secapa AD) terkonfirmasi positif COVID-19. Sebagian besar mereka adalah siswa dan tanpa gejala. Dengan kata lain rata-rata merupakan OTG (orang tanpa gejala) usia millenial.

Disamping fakta tentang bahayanya OTG, World Health Organization (WHO) mengumumkan ringkasan ilmiah baru. Isinya adalah bahwa penularan COVID-19 bisa melalui udara dan pola pencegahan, ini menunjukkan luasnya potensi penyebaran virus. Riset tersebut bertajuk: It is Time to Adress Airborne Transmission of COVID-19.

Segala temuan baru terkait virus Corona semestinya mendorong pemerintah untuk mengupdate aksi memutus pandemi. Mempertegas protokol kesehatan, menerapkan PSBB secara total dan realistis, sekaligus memenuhi pemerataan kebutuhan rakyat selama karantina diberlakukan. Sayangnya, alih-alih menindaki, sektor-sektor perekonomian justru dibebaskan beroperasi. Lalu ketika ditemukan peluang menyebarnya virus melalui udara (airborne), pemerintah mengonfirmasi PBB atas temuan tersebut. Namun setelahnya, tidak ada kebijakan antisipasi lanjut terhadap pekerja kantoran, pegawai BUMN, bahkan PNS. Kasus OTG pun dipandang sebelah oleh pemerintah, dengan alasan itu tidak membebani RS. Padahal OTG merupakan mata rantai yang bisa dibilang paling berbahaya, dimana seseorang terjangkit atau menularkan virus tanpa menampakkan gejala. Sementara di era new normal, kalangan millenial begitu menikmati kelonggaran yang diberikan hingga menjadi ancaman meledaknya kasus kemudian.

Ini tidak normal. Berwatak kalem dikala dunia kewalahan. Bencana dianggap guyonan, data statistika pandemi seakan jadi perlombaan. Lahirnya kebijakan-kebijakan diluar nalar membuat rakyat dan pemerintah saling menyalahkan.

Corona bukanlah peristiwa pandemi pertama. Penanggulangan wabah sudah pernah dicontohkan beberapa abad yang lalu, oleh Daulah Islam ketika 3 kali dilanda pandemi pada masa pemerintahannya. Isolasi lokal, physical distancing, layanan kesehatan secara intensif dan gratis, serta aliran kebutuhan pokok meskipun kegiatan ekonomi diberhentikan sementara.

Andai diterapkan, pandemi COVID-19 pun tidak akan lama dan tidak memicu kejenuhan yang membuahkan ragam masalah. Namun di pertimbangan yang penuh dagelan materi, ada kegilaan duniawi yang lebih berharga daripada nyawa. Adakah harap yang bisa ditaruh pada tipe sistem seperti ini? Pada akhirnya, semua rekomendasi dipulangkan pada kesadaran dan kehati-hatian masing-masing individu. []

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *