OMNIBUS LAW MENGUSIK STANDAR HALAL?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nisa Andini Putr (Mahasiswi Bengkulu)

Sindonews.com Jakarta – RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) rencananya segera rampung dalam waktu dekat. Undang-Undang (UU) ini akan memberikan berbagai kemudahan kepada masyarakat. Selain memberikan penyederhanaan dan percepatan proses perizinan usaha di Indonesia, peraturan perundangan ini juga memperluas Lembaga Pemeriksa Halal.

Berdasarkan Omnibus Law ini, pemberian sertifikasi halal dapat dilakukan oleh Ormas Islam dan Perguruan Tinggi Negeri. Pelaku usaha berskala kecil juga mendapatkan kemudahan dengan pembebasan biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal. Ini karena sertifikasi UMKM akan ditanggung oleh pemerintah.

“Sekarang, baik NU dan Muhammadiyah, bisa membuat sertifikasi Halal. UU ini dibuat untuk kemaslahatan orang banyak. Saya ingin yang terbaik dan adil untuk rakyat,” kata Anggota DPR RI Komisi VIII Fraksi PAN, M. Ali Taher.

Berbagai instrumen kemudahan untuk UMKM dalam pemberian sertifikasi halal itu sudah melalui banyak proses, termasuk pendapat dari berbagai elemen yang disampaikan sejak beberapa bulan lalu.

Tentu saja kemudian timbul pertanyaan, apakah hal itu tidak membuka peluang adanya ketidakpastian hukum serta peluang deklarasi mandiri (self declare)?
Namun Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menampik anggapan UU Cipta Kerja memberi peluang self declare (deklarasi mandiri) produk halal dapat dilakukan secara serampangan oleh setiap produsen,bisa jadi terdapat pemahaman yang tidak utuh oleh sebagian masyarakat yang berkesimpulan self declare halal dapat dilakukan siapapun dengan cara remeh-temeh.

Sementara itu ditempat yang berbeda,Konsultan Halal Staf LPPOM MUI sejak 1999 hingga 2012 mempertanyakan keajegan peraturan yang mengizinkan para pengusaha kecil untuk mendeklarasikan sendiri produknya sebagai produk halal ini. Menurutnya, ketidakjelasan peraturan justru akan semakin membingungkan masyarakat sekaligus mereduksi fungsi proses sertifikasi halal itu sendiri.

“Self declare itu kalau memang benar akan dilaksanakan, teknisnya seperti apa? siapa penjaminnya? bagaimana sistem pengawasannya? siapa yang mengawasi? berapa lama masa berlaku self declare itu? nah ini yang jadi pertanyaan. Apa para perumus Omnibus Law itu bisa merincikannya dengan jelas?” ujar Aisha saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (8/10).

Dia juga menjelaskan, pendekatan kehalalan produk bukan hanya dikaji dengan ilmu fikih saja melalui deklarasi mandiri kehalalan. Tetapi, kehalalan produk harus menggunakan pendekatan teknologi pangan yang kini sudah tergolong canggih dalam mengecek kandungan hasil produksi.

“Saya tidak tahu siapa yang mengusulkan self declare ini tapi kayaknya yang bersangkutan tidak mengerti lapangan, dan tidak mengerti bagaimana proses sertifikasi halal,” ujarnya.

“Padahal menurut saya, prosedur sertifikasi halal sebelumnya, bahkan sebelum ada BPJPH, sudah bagus dan produsen sudah nyaman dengan regulasinya. Tapi sekarang, di saat UU JPH belum sempurna, BPJPH juga belum settle, ditambah dengan kehadiran UU Ciptaker ini. Jadi semakin ruwet!” tambahnya.

Kehadiran UU Ciptaker dirasa tidak begitu diperlukan, terlebih dalam regulasi produk halal, mengingat masih adanya UU Jaminan Produk Halal, yang hingga saat ini saja masih perlu dikoreksi, kata Aisha. Ketergesa-gesaan pemerintah dalam mengesahkan UU Ciptaker yang belum ‘matang’ ini juga sangat beresiko, sambungnya.

“UU Ciptaker ini sebenarnya tidak harus ada, karena UU Jaminan Produk Halal saja masih banyak yang perlu dikoreksi dan belum 100 persen berjalan, lalu BPJPH juga baru satu tahun disahkan, dimana pengelolaan teknis pendaftaran yang basic saja belum sempurna, ini malah ditambah dengan UU lain. apa tidak pusing!?” tegasnya.

“Jadi bukannya meningkatnya kualitas sertifikasi halal itu sendiri, tapi justru memberikan celah terjadinya hal yang tidak diharapkan selama proses sertifikasi halal, dengan alibi percepatan prosedur. Yang dikhawatirkan, orang-orang akan menjadi antipati dan merendahkan fungsi sertifikat halal,” ujar Aisha.(REPUBLIKA.CO.ID)

Menurut Indonesia Halal Economy and Stategy Roadmap yang dirilis Indonesia Halal Lifestyle Centre, konsumen produk halal di Indonesia menghabiskan biaya sampai US$214 miliar pada 2017.
Mungkin potensi itulah yang dilihat pemerintah sebagai peluang investasi. Menghilangkan segala hal yang menghambat investasi menjadi asas utama terciptanya Omnibus Law. Tak terkecuali industri pangan bersertifikasi halal.

Seperti itulah pandangan dari sistem kapitalisme sekuler saat ini memang hanya fokus pada industri dan keuntungan materi. Pemerintah kapitalistik memberikan label atau sertifikat halal bukan didorong oleh keimanan kepada Allah SWT namun karena faktor ekonomis dan materialistik, salah satunya untuk mengejar target pengembangan kawasan industri halal (KIH). Berbeda dengan sistem Islam, halal Bukan Sekadar Label atau bukan sekedar pilihan tetapi sebuah keharusan.

Salah satunya Islam telah memerintahkan makan makanan halal lagi thayyib dan tidak berlebihan. Islam tidak mengajarkan budaya hedonis dan konsumtif terhadap makanan.

Tak hanya soal makanan. Sejarah Islam mencatat bahwa aturan-aturan tegas dan diberlakukan untuk melindungi Muslim dari minuman yang haram dan tidak tayyib. Contoh kasusnya adalah larangan meminum khamar atau minuman beralkohol. Khamar sudah dikenal masyarakat Arab sejak sebelum Islam datang.

Begitu juga dalam kehalalan produk yang beredar di pasar sangat dijaga. Semua warga negara Islam mengkonsumsi makanan halal ataupun memproduksi makanan yang halal bukan didasari karena asas keuntungan yang diperoleh dari jaminan halalnya, tetapi karena mengonsumsi makanan yang halal adalah perintah Allah.

Surat Al-Ma’idah Ayat 88
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al-Ma’idah: 88)

Masalah halal-haram bukan sebatas label atau sertifikat saja. Namun, merupakan kewajiban dan wujud ketaatan kepada Allah Ta’ala. Jadi standar halal yang dibutuhkan kaum muslimin adalah yang sesuai dengan syariat Islam.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *