Oleh: Ummu Syanum (Anggota Komunitas Setajam Pena)
Polemik Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law masih terus menjadi perbincangan yang memanas saat ini. Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat terus terjadi. Salah satu kebijakan yang dikritisi adalah pengubahan penerbitan sertifikat halal.
Sertifikat halal yang sebelumnya hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan adanya Undang-undang Ciptaker ini memberikan alternatif sertifikat halal yang dapat di berikan ke Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin berkata bahwa pengembangan kawasan industri Halah merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar di dunia. Karena selama ini Indonesia berkutat sebagai penikmat barang dan jasa halal. (Liputan6.com. Kamis 15/10/20).
Anggota Komisi Fatwa MUI, Aminudin Yakub menilai bahwa kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk lainnya. Karena ketentuan sertifikat halal tidak boleh melanggar syariat.
UU Cipta Kerja ini dianggap memberi peluang self declare (deklarasi mandiri) produk halal yang dapat dilakukan secara mudah oleh setiap produsen. Dimana pengeluaran sertifikasi halal bisa dilakukan tanpa menunggu fatwa dari MUI.
Pengurusan ketentuan mendapatkan sertifikasi halal dalam UU Cipta Kerja pasal 29 ayat (3) diubah jangka waktunya verifikasi permohonan sertifikasi halal dilaksanakan paling lama 1 hari kerja. Tanpa melakukan tata cara memperoleh sertifikat halal sebelumnya yang lebih spesifik.
UU Cipta Kerja merupakan kebijakan penguasa yang dirancang guna memudahkan investasi. Dimana kebijakan kapitalis yang rela mengorbankan standart halal dan haram dari syariat.
Hilangnya peran negara yang seharusnya hadir untuk mengatasi perbedaan yang menjadi masalah menyangkut urusan Muamalat. Justru menjadi jurang keretakan pada masyarakat dengan kebijakan-kebijakan yang tidak jelas yang berdampak adanya keresahan yang timbul atas produk pangan halal dan berdampak pada pelanggaran aturan Islam.
Allah berfirman:
“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.(QS. Al-Maidah:88).
Perintah untuk memilih makanan dan minuman yang halal lagi baik telah di nashkan dalam Al-Qur’an. Sehingga, kehalalan dari suatu produk menjadi bagian dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah, bukan hanya terbatas pada label ataupun sertifikasi semata. Karena sesungguhnya yang dibutuhkan oleh kaum muslim adalah kesesuaian produk dengan petunjuk Al-Qur’an ataupun as Sunnah.
Sudah seharusnya pengawasan dan kontrol terhadap produk-produk yang dikonsumsi oleh masyarakat harus dilakukan secara berkala dan ketat. Halal dan haramnya suatu produk harus menjadi pertimbangan utama, bukan justru menjadi hal yang diremehkan.
Wallahu’alam bishowab.