Omnibus Law Melenggang, Jaminan Halal Terancam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Yan Setiawati, S.Pd.I., M.Pd.
Ibu Rumah Tangga dan Pengemban Dakwah

Lagi-lagi menyoal tentang UU Cipta Kerja atau yang dikenal dengan Omnibus Law. UU ini ternyata tidak berdampak pada perekonomian kaum buruh, namun berdampak pula pada sertifikasi kehalalan produk di negara ini.

KBRN, Jakarta: Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law mengubah sistem penerbitan sertifikat halal. Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini UU Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Terkait hal itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya.

“Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tahu seluk beluk sertifikasi,” kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).

“Waktu sertifikasi tidak bisa pukul rata. Karena dalam auditnya, bahan-bahan dari produk itu berbeda. Tentu, kalau bahan yang dipakai ada sertifikasi halal lebih mudah. Tapi kalau tidak kita sarankan untuk mengganti bahan baku,” tambahnya. (rri.co.id,14/10/ 2020).

Dalam Pasal 35A (ayat 2) dijelaskan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan atau menetapkan fatwa, maka BPJH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.

Begitu bringasnya ambisi UU Omnibus ini, sampai sertifikasi kehalalan produk pun diseretnya demi mendapatkan keuntungan. Padahal jelas-jelas ini berbahaya, karena kehalalan suatu produk itu akan berpengaruh juga terhadap perilaku masyarakat negara itu sendiri. Seharusnya negara memperhatikan hal ini dengan cermat.

Namun begitulah jika hidup dalam negara kapitalis, orientasinya hanya pada materi dan keuntungan. Tidak peduli halal haram suatu produk.

Berbeda sekali jika kita hidup dalam naungan syari’at Islam. Halal haram suatu produk dalam syari’at Islam itu penting sekali. Allah Swt. memerintahkan kita memakan makanan yang halal, ini jelas ada dalam Al-Qur’an. Diantaranya dalam surat Al-Maidah ayat 88 Allah Swt. berfirman:

وَكُلُوۡا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا‌ ۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِىۡۤ اَنۡـتُمۡ بِهٖ مُؤۡمِنُوۡنَ

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”

Syar’i at Islam mengajarkan kaum muslim agar memakan makanan halal dan menghindari makanan haram atau meragukan (syubhat). Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599).

Islam sangat memperhatikan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan sesuai syari’at, karena Islam akan menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Islam akan menyediakan jaminan halal bagi masyarakat. Proses sertifikasi halal dalam Islam dilakukan sesuai hukum syara, bukan dijadikan ladang bisnis. Maka, sudah sepatutnya kita untuk mewujudkan syari’at Islam yang diterapkan secara kaffah yakni di bawah naungan Khilafah.

Wallaahu ‘alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *