Omnibus Law: Lingkaran Setan Kapitalisme Antara Negara, Pengusaha dan Buruh

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Vivie Dihardjo, pegiat Komunitas Ibu Hebat

 

Gelombang penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) yang telah selesai dibahas DPR pada tingkat I pada tanggal 3 Oktober 2020 pukul 22.50 WIB terus berlangsung.
Sejumlah pasal dalam cluster ketenagakerjaan dinilai berpotensi membuat posisi buruh semakin lemah.

Diantara pasal yang dinilai bermasalah diantaranya,

1. Pasal 77 A, RUU Ciptaker memungkinkan untuk melakukan jam kerja di luar ketentuan waktu kerja untuk sektor tertentu. Juga menghapuskan batas waktu maksimal pengangkatan pekerja kontrak menjadi pegawai tetap, status pekerja kontrak dapat dipertahankan sampai waktu tidak terbatas

2. Pasal 88C, standar upah tidak lagi menggunakan upah minimum regional kabupaten/ kota, sehingga memungkinkan menyamaratakan upah tanpa melihat perbedaan biaya hidup antar kabupaten/ kota

3. Pasal 88D, RUU ini juga menghapus inflasi sebagai pertimbangan penetapan upah minimum, hal ini melemahkan posisi buruh karena semakin sulit memnuhi standar kehidupan layak.

4. RUU Ciptaker menghapus pasal 91 dalam UU ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 yang mewajibkan pengusaha membayar gaji minimum sesuai yang diatur oleh undang-undang.

5. RUU Ciptaker menghapus pasal 93 ayat 2 UU ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 mengenai ketentuan cuti bagi pekerja perempuan di hari pertama haid (huruf a) , juga untuk kepentingan
RUU ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b). Ketentuan cuti khusus atau izin lain yang dihapus adalah menjalankan kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h). (tirto.id)

 

Kapitalisme membuat posisi para stakeholder serba salah

Negara yang dikelola dengan sistem kapitalis tidak berdaulat terhadap sumberdaya alam yang dimilikinya. Sumberdaya alam justru dikuasai oleh individu dan kelompok (korporasi) dan tidak dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Negara tidak punya sumber keuangan yang cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Akibatnya negara membutuhkan swasta untuk ikut serta dengan membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak swasta terkait kesejahteraan buruh, semisal kesehatan, jaminan pesangon, semestinya ini adalah kewajiban negara. Negara mengambil bagian hanya sebagai regulator akibat ketidakmampuannya.

Ketika limpahan kewajiban yang harus dipenuhi pengusaha terhadap buruh begitu berat, berdampak pada iklim usaha yang tidak sehat. Membuka banyak peluang korupsi dan budaya suap agar pengusaha busa menghindar dari sejumlah kewajiban tersebut. Disinilah buruh menjadi pihak yang juga dirugikan. Patut diduga terdapat persekongkolan penguasa dan pengusaha nakal didalam RUU omnibuslaw ini meski penguasa berargumen bahwa RUU ini dapat menarik investasi masuk ke dalam negeri karena sejumlah kemudahan yang diberikan termasuk mengurangi hak-hak kaum buruh. Negara, pengusaha dan buruh akan selalu terjebak dalam lingkaran setan kapitalisme. Bagaimana memutusnya?

 

Islam menyelesaikan masalah perburuhan

Lingkaran setan dalam masalah perburuhan yang melibatkan negara, pengusaha dan buruh mampu diselesaikan islam sesuai dengan porsi masing-masing. Kedaulatan negara atas kepemilikan umum yaitu sumberdaya alam, akan memberi kemampuan pada negara untuk memenuhi kesejahteraan rakyat termasuk buruh tanpa perlu terlalu banyak atau bahkan tidak perlu melibatkan sektor swasta yang renta terjadi korupsi atau suap antara penguasa dan pengusaha.

Rasulullah Saw bersabda ,

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Rasulullah Saw. juga bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Semua sumberdaya alam yang dimiliki dikelola oleh negara untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Konflik besaran upah yang terus terjadi diantara pengusaha dan buruh dalam kapitalisme dikarenakan standar yang digunakan. Didalam islam, penetapan besaran upah ditentukan oleh manfaat tenaga yang diberikan oleh buruh. Buruh akan mendapatkan upah sesuai tenaga yang telah dimanfaatkan oleh para majikan. Ada kesepakatan yang diterima antara kedua belah pihak, yakni buruh/pegawai dengan majikannya.

Rasulullah bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah).

Namun jika negara masih dikelola dengan cara kapitalistik, ketika kebutuhan pokok ( pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan) menjadi barang yang cukup mahal dan tidak mampu disediakan oleh negara dengan murah bahkan gratis maka konflik besaran upah akan terus menjadi api dalam sekam dalam kehidupan buruh. Hanya bisa diakhiri ketika negara, pengusaha dan buruh berada dalam posisi yang seharusnya, tidak saling mengeksploitasi. Dan bisa terjadi dalam negara yang menerapkan sistem islam kaffah dalam bingkai Khilafah ‘ala min hajin nubuwwah

Wallahu’alam bisshowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *