Omnibus Law dan Peringatan Dini Kematian Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ghazi Ar Rasyid (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menekankan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja sudah sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. “Saya bisa katakan Omnibus Law UU Cipta Kerja Pancasila banget,” kata Sekretaris Utama BPIP Karjono seusai menjadi pembicara dalam salah satu sesi diskusi kegiatan Institusionalisasi Pancasila Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diselenggarakan BPIP, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (27/11).

Karjono yang pernah menjabat Direktur Harmonisasi dan Staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM menyampaikan sebelum Omnibus Law mengemuka sudah pernah ada yang dinamakan paket deregulasi ekonomi. Paket deregulasi ekonomi ini memangkas sekitar 128 undang-undang, dengan membuat semacam satu peraturan pemerintah untuk memperlancar investasi. Dia mengatakan sejak adanya paket deregulasi hingga disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja, masa waktu memperoleh perizinan investasi sudah banyak dipangkas. Selain itu, menurut dia, keberadaan Omnibus Law UU Cipta Kerja juga memudahkan pendirian perseroan terbatas (PT).

Jika sebelumnya diperlukan modal dasar puluhan juta rupiah untuk mendirikan PT, kini semuanya gratis. “Ini gebrakan luar biasa,” ujar Karjono. Dia menekankan dua contoh itu sudah mengindikasikan Omnibus Law UU Cipta Kerja sangat sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Dia memberikan contoh lain, yakni tentang ketentuan memberikan pesangon bagi pekerja.

Jika sebelumnya diatur pesangon paling sedikit tiga kali gaji, maka dalam UU Cipta Kerja ditetapkan pesangon paling tinggi 25 kali upah. “Lalu muncul pertanyaan, kalau begitu nol rupiah atau tidak dibayar boleh dong? Ingat, di Omnibus Law kalau tidak dibayar atau nol rupiah bisa dipenjara empat tahun. Lalu bagaimana mengatur minimum pesangonnya, itu implementasinya pada peraturan pemerintah,” katanya.

Karjono mengatakan dalam perjalanannya isi UU Cipta Kerja memang terdapat sejumlah kesalahan. Namun, ia mengatakan, kesalahan-kesalahan itu bersifat teknis dan manusiawi karena undang-undang itu mencakup 76 undang-undang dan menyangkut pasal serta halaman yang jumlahnya ribuan. “Jadi Omnibus Law ini sudah Pancasila banget. Kalau terjadi perdebatan-perdebatan, umumnya sifatnya teknis,” kata Karjono. Dia pun mengajak seluruh pihak duduk nyaman, bersama-sama mengharumkan bangsa, dan selalu berpikir positif agar terjadi sinergitas yang baik dan tercapainya tujuan masyarakat adil dan makmur.

Di dalam demokrasi, kebijakan yang dilakukan oleh lembaga legislatif tidaklah sesuai dengan proses yang telah mereka tempuh. Demi mendapat dukungan penuh dari rakyat mereka begitu lihai merayu rakyat. Namun, ketika jabatan sudah digenggaman tangan, dengan mudahnya rakyat dilupakan. Dan demi melancarkan semua kebijakan yang bertentangan dengan rakyat, pemerintah rela menumbalkan rakyat demi kelancaran kebijakan yang telah dibuat. Meskipun rakyat telah berteriak lantang menolak, namun tak membuat pemerintah tegeletak.

Menurut Dosen Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Abdil Mughis Mudhoffir dalam tulisannya bertajuk “Judicial Review: Cara Penguasa Menjinakkan Gerakan Anti-Omnibus Law”, disebutkan setidaknya ada dua strategi yang dilakukan penguasa dalam memanipulasi kesadaran publik.

Pertama, penguasa menciptakan disinformasi agar publik menjadi bingung hingga akhirnya membenarkan kebenaran versi penguasa. Hal ini bisa dilakukan dengan mudah karena pemerintah memiliki rangkaian informasi yang lebih canggh dan memadai dari pada masyarakat. Bisa dilihat bagaimana pemerintah menunjukan kecanggihan informasi yang dimiliki lewat pemblokiran, penghapusan konten-konten yang tidak sesuai dengan narasi pemerintah. Pemerintah mampu men-shut down internet seperti apa yang terjadi di Papua dan juga mengkriminalisasi aktivis yang berseberangan lewat UU ITE.

Kedua, yaitu melalui pengecilan perlawanan yang ada. Selain membentuk opini serentak, pemerintah pun berupaya untuk mengecilkan perlawanan publik dan gerakan sosial. Yaitu dengan mendorong agar ketidaksetujuannya ditempuh melalui jalur hukum. Pemerintah akan terus mendorong gerakan penolakan untuk mengajukan gugatan penolakan kepada Mahkamah Konstitusi. Tentu saja jurus ini menjadi andalan pemerintah. Bahkan anggota legislatif saja dengan terang-terangan meminta Mahkamah Konstitusi untuk mendukung Omnibus Law.

Pengesahan Omnibus Law telah membuka kebobrokan secara sistematis antara penguasa dan pebisnis. Inilah “Rule Of Game” demokrasi yang menjadi pintu masuk para penghianat kedalam rumah yang telah dibangun dengan penuh kepercayaan oleh rakyat. Namun kenyatannya, demokrasi memang tak pernah sukses menjadi alat untuk memilih wakil rakyat. Karena wakil rakyat yang terpilih bukanlah hasil sesungguhnya dari rakyat. Money politik dan awamnya masyarakat terhadap politik, telah menjadikan manuver rendahan politik pencitraan, sebagai jurus jitu untuk memperoleh suara rakyat. Akhirnya, rakyat hanya bisa menggigit jari menerima nasib dipimpin oleh para konglomerat. Inilah mengapa suara penguasa tak pernah sama bunyinya dengan suara rakyat. Sekeras dan selantang apapun rakyat menolak, nyatanya undang-undang ini tetaplah disahkan.

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan dan kedaulatan berada ditangan rakyat. Namun, berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah. Wakil rakyat yang ada dalam sistem pemerintahan Islam sama sekali tidak berfungsi sebagai lembaga legislatif. Dalam Islam yang melakukan legalisasi terhadap suatu hukum hanya Allah SWT, bukan manusia. Dan, jika ada hak mengadopsi hukum-hukum yang berkaitan dengan pengaturan urusan rakyat dan pemerintahan  itu dilakukan oleh  seorang Khalifah, bukan Majelis Umat.

Disini,bukan berarti Khalifah adalah lembaga legislatif. Karena Khalifah tidak membuat hukum sendiri, melainkan mengambil dari hukum-hukum syariat yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah melalui metode Ijtihad. Dalam mengadopsi hukum-hukum syariat barulah Khalifah boleh mengajukannya kepada Majelis Umat. Karena memang tugas Majelis Umat sebagai wadah untuk menampung aspirasi dari kaum muslimin agar menjadi pertimbangan Kalifah. Semua kebijakan yang ditetapkan oleh Khalifah selalu berporos pada kemaslahatan umat. Oleh karena itu, Omnibus Law adalah peringatan dini akan kematian demokrasi yang sudah dekat. Artinya, tak akan lama lagi eksekusi kematian demokrasi akan dilakukan. Mari kencangkan ikhtiar dan do’a untuk mengembalikan kehidupan Islam sesuai dengan syariat Allah SWT, agar semua umat bisa merasakan indahnya hidup dalam naungan sistem yang dibuat oleh Allah SWT.

Wallahu’alam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *