Oleh: Supiani (Member Forum Muslimah Peduli Umat)
Pemerintah Indonesia melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengumumkan tahapan rencana pembukaan sektor ekonomi untuk melaksanakan program masyarakat produktif dan aman Covid-19 atau new normal. (Merdeka.com, 05/06/20)
Momen ini langsung digunakan pemerintah untuk kembali membahas dan berupaya merampungkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Ciptaker setelah sebelumnya ditunda karena Pemerintah tengah fokus menangani permasalahan pandemi covid 19. (Republika.co.id, 24/04/20)
Mungkin beberapa saat buruh dapat bernapas lega karena RUU Omnibus Law ditunda. Namun hal ini hanya sementara, sebab, di tengah kondisi perekonomian negeri Indonesia yang carut marut karena kegagapan negara dalam menghadapi dan menanggulangi wabah covid 19, new normal pun diterapkan. Alasannya tak lain dan tak bukan karena masalah ekonomi. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja saat ini menunjukkan bahwa dampak Covid-19 telah mengakibatkan sekitar 3,7 juta pekerja formal kehilangan pekerjaan. Ini belum termasuk mereka yang kehilangan pekerjaan di sektor informal. (Merdeka.com, 05/06/20)
Hal ini jelas menimbulkan banyak spekulasi. Sebab, memang benar bahwa banyak pelaku usaha dan buruh yang akhirnya kehilangan pendapatan/ penghasilan. Terutama pelaku usaha kecil yang terpaksa menutup usaha disebabkan adanya pandemi covid 19.
Omnibus Law Pesanan Siapa?
Omnibus Law masih menyimpan kisruh dimana-mana. Bahkan kritik pun masih membelitnya. Omnibus Law jelas menimbulkan pertanyaan, pesanan siapa sebenarnya Rancangan Undang-undang yang disebut-sebut sapu jagat ini?!
Dilansir dari Republika.co.id (12/07/20) JAKARTA — Kalangan pengusaha berharap agar Omnibus Law segera disahkan. Mereka berpendapat bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) berpotensi membawa angin segar bagi iklim investasi dan berpotensi membuka lapangan kerja. Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Aloysius Budi Santoso mengatakan, pandemi covid-19 telah membawa dampak besar bagi perekonomian Indonesia. Oleh sebab itu butuh investasi yang cukup besar guna mendongkrak perekonomian Indonesia pascapandemi. Dengan Omnibus Law Ciptaker diharapkan terjadi perubahan struktur ekonomi yang akan mampu menggerakkan semua sektor. Dia mengatakan, hal itu juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7 hingga 6 persen.
Anggota Komisi I DPR Willy Aditya yang juga merupakan Politisi Partai NasDem pun turut menyampaikan dalam diskusi virtual Crosscheck Medcom.id bertajuk ‘Percepatan Digitalisasi Penyiaran,’ Minggu, 12 Juli 2020, bahwa RUU Omnibus Law ini akan rampung Agustus 2020 sebab diyakini membawa maslahat bagi bidang penyiaran.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo dilansir dari Merdeka.com (14/07/20) menilai bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja merupakan kebijakan yang paling mungkin diambil pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi virus corona (Covid-19).
Meskipun demikian, Omnibus Law belum lepas dari penolakan, terutama buruh. Tak hanya sekali buruh melakukan aksi turun ke jalan demi menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Bahkan, baru-baru ini, tak ingin dijadikan alat legitimasi dan tukang stempel pengesahan RUU Omnibus Law, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memutuskan keluar dari Tim Teknis Omnibus Law.
Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, ada empat alasan mengapa keputusan keluar dari tim teknis diambil. Pertama, tim tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan apapun. Kedua, unsur Apindo/ Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari unsur serikat pekerja dan tidak mau menyerahkan usulan konsep apindo/ kadin secara tertulis. Ketiga, ada kesan pembahasan akan dipaksakan selesai pada 18 Juli 2020 dengan hanya 4-5 kali pertemuan. Keempat, masukan KSPI hanya sekedar ditampung tanpa ada kesepakatan dan keputusan apapun dalam bentuk rekomendasi dalam menyelesaikan substansi masalah omnibus law. (Republika.co.id, 13/07/20)
Tidak hanya buruh, berbagai pihak pun menyatakan penolakannya dengan menunjukkan berbagai sikap. Sebelumnya, 92 akademisi keilmuan menandatangani sebuah petisi yang berisi pernyataan sikap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Penolakan terhadap RUU Cipta Kerja juga disuarakan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas, Yonariza. Ia menilai RUU Cipta Kerja memiliki karakter kapitalisme dan neoliberal yang hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi namun mengorbankan kesejahteraan rakyat, serta tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan. (Republika.co.id/ 24/04/20)
Tak hanya KSPI dan Akademisi saja, Serikat Pekerja PT PLN (Persero) melalui Ketua Umum DPP SP PT. PLN Persero M. Abrar Alib mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menimbulkan terjadinya liberalisasi dalam tata kelola listrik di Indonesia. Sebab, RUU Cipta Kerja di sub-klaster ketenagakerjaan menghilangkan fungsi legislasi DPR dalam melakukan pengawasan. Memungkinkan pihak swasta akan menguasai sektor listrik.
Bahkan, Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan YLBHI Arif Yogiawan mengatakan bahwa masyarakat sipil juga dengan tegas menolak disahkannya RUU Cipta Kerja. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan mengemukakan 12 alasan masyarakat sipil menolak Omnibus Law. (Kumparan, 09/07/20)
Omnibus Law, Bukan Untuk Rakyat Indonesia
Ada kesan Revisi Omnibus Law dipaksakan selesai agar pengesahan bisa segera dilakukan, mengingat adanya kebutuhan mendesak untuk memastikan iklim kondusif investasi demi penciptaan lapangan kerja massal. Meskipun demikian, penolakan tidak dapat dihindarkan. Sebab RUU Omnibus Law kental akan arogansi pengusaha yang tuntutannya dominan dalam revisi RUU tersebut. Sementara itu, pekerja justru didera kekhawatiran makin rendahnya pembelaan terhadap mereka saat berkonflik dengan pengusaha sebab hak DPR dan serikat pekerja dikebiri.
Beginilah ironi rakyat Indonesia sebagai negeri yang berkhidmat dengan demokrasi kapitalis. Kepentingan dan kedaruratan hanya dijadikan dalih bagi legitimasi keserakahan para kapital alias pemilik modal. Lihat saja, ketika sekolah dan tempat ibadah masih dilakukan pembatasan skala, namun mall-mall sudah lebih dahulu dibuka. Dari sini sudah terlihat, bahwa suara penguasa adalah suara pengusaha.
Penolakan yang terus bergulir nyatanya tak menjadikan RUU Omnibus Law dibatalkan. Kondisi Pandemi Covid-19 justru dimanfaatkan demi menstabilkan perekonomian. Padahal jelas, Omnibus Law lebih mengutamakan pengusaha, bukan buruh atau pekerja.
Sejatinya, rakyat Indonesia ingin disejahterakan. Tak hanya buruh, pengusaha juga. Tak salah memang. Namun, mengingat negara yang berasaskan kapitalis sekuler, dimana hukum negara jelas tak boleh berlandaskan hukum-hukum agama (Islam). Sebab jelas, agama harus dipisahkan dalam kepengurusan negara. Maka wajar, jika aturan, hukum dan undang-undang tak akan sesuai dengan hajat dan maslahat rakyat. Sebab rentan dan rawan ditunggangi kepentingan kaum-kaum berduit dan berdasi.
Kesejahteraan jelas bukan tanggung jawab pengusaha ataupun perusahaan melainkan kewajiban negara. Pengusaha atau perusahaan hanya berkewajiban memberikan upah yang layak atas apa yang dilakukan pekerja dan menjamin keselamatan dalam bekerja. Negara yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat melalui terjaminnya kesehatan, pendidikan dan kebutuhan sehari-hari. Tidak hanya terjamin ketersediaannya, namun juga terjamin kemudahan mendapatkannya. Sebab, Pemimpin negara ialah pelayan bagi rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Tidak ada lagi kondisi keterpaksaan perempuan untuk bekerja dengan dalih pemberdayaan wanita, sebab yang terjadi adalah eksploitasi wanita. Kewajiban bekerja untuk mencari nafkah hanya dibebankan kepada para pria, terutama suami. Itupun dengan jaminan dari negara tersedianya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan. Jika keterampilan kurang, negara menyediakan pelatihan demi meningkatkan keterampilan dan skill.
Negara yang berbasis Islam, tidak akan membiarkan pengusaha asing dan swasta menguasai sektor-sektor yang berkaitan dengan kemaslahatan umat. Investor dibatasi dalam hal-hal yang aman dengan pengawasan dan kendali negara. Negara tidak disetir oleh kepentingan pengusaha, melainkan independen dalam menjalankan kepengurusannya.
Sejatinya kaum pekerja dan umat membutuhkan pengurusan ketenagakerjaan Islam yang mengeliminir terjadinya konflik antara pekerja dan pengusaha serta memberi solusi paripurna atas permasalahan tersebut. Namun, hal ini mustahil selama negara masih bergantung pada investor dan tidak independen. Negara mesti mampu berdiri sendiri dan mengatur kepengurusan ketenagakerjaan dengan aturan Islam yang jelas akan mempertimbangkan kemaslahatan berbagai pihak, bukan hanya mengedepankan kepentingan pengusaha. Kemandirian negara dan terpenuhinya hak pekerja hanya dapat terwujud ketika negara melepaskan diri dari cengkraman sistem kapitalis dan beralih kepada sistem yang sesuai dengan fitrah manusia, ialah Islam dalam bingkai khilafah ala minhajjin nubuwwah.
Wallahu’alam bish-showab.