ODHA dan Lingkaran Setan Homoseksual

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Limi Ummu Ririn (Pemerhati Perempuan)

“Siapa menabur angin, pasti menuai badai”

Peribahasa di atas sangat tepat untuk menggambarkan realitas kehidupan para pemuja syahwat dan penyuka sesama jenis, khususnya sesama lelaki (homoseksual). Gaya hidup mereka tak lebih dari kesenangan semu belaka. Liku hidup kaum berikon pelangi ini selalu berakhir tragis dengan status ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) hingga menemui ajalnya. Upaya pencegahan dan pengobatan, urung memberi solusi. Bahkan, mereka makin terjebak dalam labirin kemaksiatan.

Tanggal 01 Desember ditetapkan sebagai Hari AIDS Sedunia sejak 1988 oleh Lembaga Kesehatan Dunia WHO. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat dunia terhadap HIV/AIDS. Peringatan HAS tahun ini dianggap sebagai kesempatan penting untuk mengetahui peran yang telah dilakukan masyarakat untuk penanggulangan AIDS di tingkat internasional, nasional dan lokal.

Namun, program ini masih jauh dari kata berhasil. Betapa tidak, berdasarkan data fari PBB, Minggu (01/11/2019), ada 32 juta orang meninggal akibat AIDS sejak 1990. Untuk 2018 saja ada 570 ribu hingga 1,1 juta yang meninggal akibat penyakit tersebut, sementara di selieuh dunia ada 37, 9 juta orang hidup dengan HIV. Liputan6.Com (01/2019).

Pun demikian dengan Indonesia. Jumlah ODHA mengalami peningkatan setiap tahun hampir di seluruh wilayah tanah air, meskipun dengan persentase yang berbeda-beda. Data Kemenkes menjelaskan, dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi, kasus ini ditemukan di 443 lokasi atau sekitar 84, 2 persen dari wilayah Indonesia. Dilansir dari laman Tagar News, sejak pertama kali kasus HIV/AIDS tahun 1987di Bali, sampai Juni 2019 kasus HIV/AIDS sudah dilaporkan oleh 463 kabupaten/kota atau sekitar 90,07 persen. Fakta lain yang mencengangkan, Indonesia menyumbang angka 620 ribu dari total 5,2 juta jiwa di Asia Pasifik, yang terjangkit HIV/AIDS. Jika dikelompokkan, penderita datang dari kalangan PSK (5,3%), homoseksual (25,8%), pengguna narkoba suntik (28,76%), trans gender (24,08%), dan yang ada di tahanan (2,6%).

Berbagai upaya baik pencegahan maupun pengobatan telah ditempuh Kemenkes bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait. Namun, jumlah ODHA terus meningkat dan semakin menuai kekhawatiran sekaligus memunculkan teka-teki. Mengapa jumlah ODHA dan populasi homoseksual terus meningkat?

Akibat Homoseksual

Seperti diketahui, HIV/AIDS pertama kali ditemukan pada pasangan homoseksual (gay) tahun1978 di San Fransisco, Amerika Serikat. Orientasi seks menyimpang ini kemudian merebak sampai ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Di seluruh dunia, kasus HIV/AIDS pada pasangan gay (homo) terus mengalami peningkatan.

Selain itu, tren penyebaran AIDS mengalami pergeseran. Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung, Bambang Sukardi menuturkan, penyebaran infeksi HIV beragam, mulai dari seks bebas, narkoba dan lainnya. Sejauh ini persentase terbesar karena homoseksual mencapai 30 persen. Detiknews, Minggu (01/12/2019).

Hal serupa terjadi di provinsi Jawa Timur. Dinkes Jatim menempatkan kelompok LSL (lelaki seks lelaki) sebagai populasi kunci penyebaran virus mematikan ini. Jatimplus.ID, Sabtu (27/04/2019).

Kondisi yang sama juga dibuktikan dengan adanya data Kementerian Kesehatan yang tertuang dalam Laporan Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia kurun waktu 2011-2016, bahwa proporsi infeksi HIV baru di Indonesia menempatkan kelompok LSL pada posisi puncak mencapai 32 persen.
HAM dan Dukungan Lembaga Internasional

Populasi homoseksual yang terus meningkat tidak lepas dari adanya peran serius lembaga internasional yang dinilai sangat ‘berjasa’ meningkatkan populasi homoseksual di berbagai negara termasuk Indonesia.

Dilansir dari laman REPUBLIKA.co.id, sampai akhir 2013 terdapat dua jaringan nasional organisasi yang menaungi 119 organisasi di 28 provinsi. Pertama, Jaringan Gay, Waria dan Lelaki yang Berhubungan Seks dengan Lelaki Lain Indonesia (GWLINA) yang didirikan pada Februari 2007, yang didukung oleh jaringan internasional. Kedua, Forum LGBTIQ Indonesia, yang didirakan pada tahun 2008. Jaringan ini bertujuan untuk memajukan program hak-hak seksual yang lebih luas dan memperluas jaringan agar mencakup organisasi lesbian, biseks, dan trans gender.

Dukungan serupa datang dari Komisioner Tinggi HAM PBB Zein Ra’ad Al Hussein. Dilansir dari CNN Indonesia, Zein menyiratkan dukungan ketika menyoroti kasus penangkapan belasan waria di Provinsi Aceh, akhir Januari lalu. Ia mengatakan, LGBT Indonesia sudah menghadapi stigma, ancaman, dan intimidasi. Menurutnya, ini mengkhawatirkan bagi LGBT.

Jika mencermati fakta di atas, sungguh malapetaka dan sinyal kehancuran sedang mengintai bangsa ini. Dukungan dan pembelaan pada pelangi melambai ini terpampang begitu vulgar dan masif. Perjuangan hak-hak seksual yang lebih luas yang dimaksud, tentu bukan hanya tentang bagaimana naluri syahwat mereka terpuaskan. Namun, yang jauh lebih urgen adalah bagaimana memuluskan agenda besar dunia barat, yaitu menghancurkan tatanan kehidupan bangsa ini dengan cara merusak pola pikir dan perilaku generasi, sebab dunia barat paham betul bahwa kekuatan dan kebangkitan sebuah negara, ada pada kekuatan generasinya.

Selanjutnya, apabila agenda ini berhasil, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Artinya bahwa homoseksual tersebar luas, pun demikian dengan jumlah ODHA, pasti meningkat. Selanjutnya negara akan lemah disebabkan generasi yang ringkih karena virus menggerogoti. Setali tiga uang dengan sikap permisif yang cenderung membiarkan, memaklumi bahkan menerima keberadaan kaum sodom ini, oleh sebagian masyarakat telah memberi ruang untuk mereka beraktivitas dengan membawa perilaku ‘sakit’ mereka dan menjadi jalan mulus menyebarkan virus mematikan yang mereka bawa kepada siapa saja. Horor bukan?

Janji Manis Solusi Kapitalisme
Upaya menanggulangi penyebaran HIV dan menekan laju pertambahan jumlah ODHA oleh PBB melalui lembaga-lembaga terkait, sejatinya hanya bentuk lain dari invasi budaya dan ekonomi negara barat atas negara berkembang, utamanya negeri-negeri muslim, salah satu sasarannya adalah Indonesia. Maka, tidaklah mengherankan kalau upaya yang dilakukan seperti jauh panggang dari api. Pasalnya, HIV/AIDS hanya dijadikan isu untuk menggagas berbagai program berbau politik kapitalisme yang menguntungkan. Sebagai contoh, solusi seks aman dengan kondom. Otomatis, optimalisasi produksi dan sosialisasi penggunaan akan digenjot. Sementara kaum homoseksual yang notabene sebagai subjek paling aktif menyebarkan HIV/AIDS tidak tersentuh sama sekali. Mereka tetap dipelihara, dilindungi, dan dibela hak-haknya atas nama HAM dan kebebasan.

Dikutip dari pesan resminya di laman PBB, pada peringatan Hari AIDS Sedunia 2019, Sekjen PBB Antonio Guteres mengatakan, advokasi yang kuat yang lebih baik dari para komunitas sangat dibutuhkan lebih baik dari sebelumnya agar memastikan AIDS tetap menjadi agenda politik, bahwa HAM dihormati. Liputan6.Com, Sabtu (01/12/2019)
Selain itu, ODHA hanya sebagai objek penelitian untuk menemukan vaksin baru untuk sekedar mencegah penularan AIDS saat berhubungan intim. Dilansir dari HealhDayNews, seorang peneliti sekaligus Profesor Kedokteran di Universitas Calivornia San Diego, Dr. Davey Smith mengatakan, dengan mengetahui asal-usul penularan virus, para ilmuwan mungkin dapat mengembangkan vaksin baru, seperti obat-obatan untuk mencegah penyebaran HIV yang ditularkan melalui hubungan seks.

Jadi, bagaimana mungkin mengharapkan kasus ODHA menurun, sementara solusinya tidak menyentuh akar masalah yang sebenarnya , tidak pula dengan memutus mata rantai penyebarannya, yakni seks bebas, perilaku seks menyimpang, pornoaksi, pornografi, dan lain-lain. Sehingga akan tetap menjadi fenomena gunung es dan akan menuai badai kapan saja.
Islam Solusi Paripurna
Hanya Syariah Islam Kaffah yang bisa menyelesaikan permasalahan AIDS, seks bebas dan homoseksual secara paripurna, karena Islam agama sempurna, dengan aturan yang lengkap. Islam telah mengharamkan seks bebas dan homoseksual, dan telah menetapkan sanksi tegas atas setiap pelakunya. Sanksi Islam bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan demi kemaslahatan manusia dan menjaga jiwa demi kelangsungan hidup seluruh umat manusia di dunia, karena Islam adalah agama yang Allah turunkan sebagai Rahmatan Lil ‘Aalamiin. Wallahu a’lam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *