Normalisasi Hubungan UEA-Israel, Mencari Keuntungan dengan Pengkhianatan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Anisa Rahmi Tania

Kaum muslim patut bersorak ataukah sakit hati, ketika mendengar Uni Emirat Arab menormalisasi hubungannya dengan Israel?. Dilansir dari voaindonesia.com (15/8/2020), Presiden Amerika Donald Trump (Kamis, 13/8) mengumumkan bahwa Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel sepakat untuk menjalin hubungan diplomatik. Langkah itu digadang-gadang merupakan bagian dari perjanjian untuk menghentikan aneksasi Israel terhadap daerah pendudukan di Tepi Barat, yang diperjuangkan Palestina sebagai negara mereka kelak.

Namun, kaum muslim patut waspada. Karena perjanjian yang dijalin dengan Israel tak bisa dipercaya begitu saja. Jika berkaca perjalanan hidup masyarakat di Palestina yang selalu menerima kebengisan Israel, perjanjian ini sebatas bumbu penyedap dalam makanan busuk. Retorika manis untuk menutupi tujuan sebenarnya.

Menurut Emile Hokayem dari Institut Internasional untuk Studi Strategis yang berbasis di London, keputusan ini jelas tidak memberikan keuntungan sedikit pun bagi Palestina. Namun lain hal dengan Putra Mahkota UEA, Sheikh Mohammed Bin Zayed (MBZ), ada dua keuntungan yang akan didapat yakni keuntungan strategis dan teknologi.

Israel terkenal dengan teknologi yang paling maju di Timur Tengah menjadi salah satu pertimbangan keuntungan normalisasi hubungan ini. Tentu jika adanya persekutuan antara UEA dan Israel, akan mendorong kemakmuran dan menaikkan wibawa UEA di kancah internasional. Termasuk sebagai antisipasi atas ketakutannya terhadap Iran yang mengembangkan teknologi nuklir. (bbc.com 18/8/2020)

Dua faktor inilah yang setidaknya mendorong normalisasi hubungan ini. Walau sudah lama terdengar hubungan keduanya berbisik di antara syahidnya para pejuang di Palestina, kini tanpa rasa iba hubungan terlarang tersebut disiarkan ke muka umum.

Keputusan UEA (Uni Emirat Arab) melakukan normalisasi hubungan dengan Israel seakan menabur garam di atas luka kaum muslimin. Bagaimana tidak, UEA yang merupakan salah satu negeri Islam di wilayah Timur Tengah seharusnya mengulurkan tangan untuk menolong kaum muslim, khususnya Palestina. Dengan kekuatan militer yang dimiliki seharusnya UEA bisa melawan penjajahan Israel yang telah lama terjadi di sana.

Namun alih-alih mengulurkan tangannya, UEA malah semakin menunjukkan keberpihakannya pada negara Yahudi tersebut. Sungguh miris. Hal ini semakin menegaskan, negara dengan kekuatan militer dan ekonomi semisal UEA sekalipun tidak punya daya saat berhadapan dengan Israel yang dibackingi negara adidaya, Amerika Serikat.

Posisinya tetaplah berada di bawah ketiak AS. Hal ini karena ideologi yang menjadi landasan hampir di seluruh negeri Islam adalah demokrasi sekular. Segala kebijakan yang diambil dilandasi oleh asas manfaat. Bukan manfaat bagi kaum muslim namun manfaat bagi mereka sendiri. Rakyat bagi mereka bukan prioritas. Namun kekuasaan yang langgeng dan harta yang menggunung itulah yang menjadi target duduknya mereka di tampuk kekuasaan.

Inilah rupa dari sistem tak manusiawi yang bernama demokrasi. Sistem yang berasaskan sekularisme ini telah membuat seorang penguasa dengan titel berderet sekalipun mencari celah keuntungan meski harus dengan jalan pengkhianatan. Tak tanggung-tanggung pengkhianatan ini dilakukan kepada kaum muslim.

Ketamakan akan harta dan tahta menggerus keimanan mereka. Pengetahuan agama hanya tinggal teori, segala perilakunya telah disetir oleh pemikiran rusak sekular. Inilah buah dari penerapan sistem yang salah. Penerapan asas sebuah ideologi yang salah akan merusak semua sendi kehidupan, berawal dari rusaknya pola pikir seseorang. Terlebih jika kerusakan itu ada pada diri seorang penguasa. Maka semua kebijakan salah yang dia ambil akan dirasakan oleh rakyatnya. Maka tak heran jika kedzaliman, kesengsaraan, dan keterpurukan hari ini dirasakan umat manusia, terutama umat Islam.

Karena pada dasarnya umat Islam mempunyai ideologi yang khas. Khas karena ideologi umat Islam berasal dari Wahyu Allah Swt., bukan buatan akal manusia. Sehingga segala peraturan dalam ideologi ini layak diterapkan dan menyelesaikan segala permasalahan kehidupan.

Dengan berbekal keimanan pada-Nya, seharusnya para penguasa menjadikan Islam sebagai ideologi dalam tatanan negara. Sebagaimana dahulu para Khulafaur Rasyidin dan para Khalifah sepeninggalnya menjadikan Islam satu-satunya aturan. Baik dalam perkara besar maupun perkara kecil.

Seperti menjalin hubungan diplomatik dengan negara kufur. Jika disandarkan pada hukum Islam, jelas hukumnya haram. Daulah Khilafah haram hukumnya menjalin kerjasama apapun dengan Israel yang merupakan negara kafir harbi fi’lan. Hal ini dilihat dari sepak terjangnya dalam membantai kaum muslim Palestina.

Daulah Khilafah akan menindak setiap negara atau institusi manapun jika lancang mendzalimi muslim, walau hanya satu orang. Sementara rakyat Palestina, darah mereka telah tumpah bertahun-tahun lamanya. Entah sudah berapa banyak nyawa yang melayang akibat pendudukan Israel.

Oleh karena itu, hubungan antara Daulah Khilafah dengan negara semacam Israel hanyalah hubungan perang, bukan yang lainnya. Sekalipun normalisasi hubungan ini dikatakan sebagai bagian dari upaya penghentian aneksasi Israel terhadap Palestina. Ini hanya sebuah basa-basi untuk menutup muka UEA dari rasa tak enak hati terhadap Palestina dan kaum muslim dunia. Karena pada dasarnya, aneksasi seharusnya diselesaikan dengan jihad. Bukan dengan diplomasi.

Melihat realitas di atas, sudah waktunya kaum muslim bersatu dalam barisan perjuangan. Yakni perjuangan untuk mengembalikan lagi Daulah Khilafah Islamiyah. Karena hanya dengan satu kepemimpinan Khalifah dalam institusi Khilafah-lah kehidupan kaum muslim akan kembali terlindungi. Semuanya bersatu dalam satu naungan. Dakwah dan jihad pun akan kembali dikumandangkan menyisir semua wilayah di muka bumi ini. Keberkahan pun akan kembali terwujud. Allah Swt berfirman:

“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan karena perbuatannya.” (Q.S Al-‘Arof: 96)

Wallahu’alam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *