Oleh: Ummik Rayyan
(Pena Muslimah Cilacap)
REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH — Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan negaranya terbuka untuk melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel, jika sebelumnya UEA, Bahrain, Yordania sampai Sudan sudah terlebih dulu menyetujui normalisasi tersebut. Namun sebelum hal itu terjadi, Palestina harus memperoleh kemerdekaan.
“Kami selalu terbuka untuk normalisasi penuh dengan Israel, dan kami pikir Israel akan mengambil tempatnya di kawasan. Tapi agar hal itu terjadi dan berkelanjutan, kami membutuhkan warga Palestina mendapatkan negara mereka, kita perlu menyelesaikan situasi itu,” kata Pangeran Faisal saat berbicara di International Institute for Security Studies Manama Conference pada Sabtu (5/12), dikutip laman Al Arabiya.
Menilai membawa Israel dan Palestina kembali ke meja perundingan adalah kuncinya. “Negara Palestina akan memberikan perdamaian sejati di kawasan, dan itu harus menjadi fokus,” ujarnya.
Pada 23 November lalu, media Israel, yakni Walla News dan Haaretz, menerbitkan laporan yang menyebut ada pertemuan rahasia antara Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Mereka bertemu di Neom, sebuah kota di Laut Merah.
Pertemuan itu turut hadir Kepala Badan Intelijen Israel Yossi Cohen dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo. Kabar pertemuan itu muncul saat Israel berusaha membuka lebih banyak hubungan resmi dengan negara Arab. Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain diketahui telah melakukan normalisasi diplomatik dengan Tel Aviv.
Pikiran-Rakyat.com — Berdasarkan laporan Amit, Departemen Pertahanan AS mengeluarkan beberapa berita baik soal industri artileri lokal.
Ini kemungkinan akan menjadi warisan Presiden AS ke-45 Donald Trump yang secara resmi turun pada Januari 2021 mendatang. “Industri artileri Israel menganggap ini sebagai awal masuknya pasokan persenjataan AS ke negara-negara Teluk,” tulis Amit.
UEA diperkirakan akan menerima beberapa unit jet tempur F-35 dari AS setelah menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel. Amit juga mengabarkan kalau Qatar berhasil meraih kesepakatan dengan AS terkait pembelian jet tempur F-15 untuk pertama kalinya. Akan ada 36 unit F-15 yang dikirim terlebih dahulu dari total 72 buah pesanan dari Qatar.
Departemen Pertahanan AS juga mengungkap kalau Boeing berhasil dapat kesepakatan dengan Kerajaan Arab Saudi untuk membuat 70 unit jet tempur F-15.
Total nilai kontrak mereka sebesar 9,8 miliar Dolar AS atau setara dengan Rp138 triliun. Angkatan udara Israel secara tidak langsung mendapatkan keuntungan dari kesepakatan itu karena AS akan terus meningkatkan dan mengembangkan jet tempur F-15 milik mereka.
Selain itu, beberapa onderdil untuk jet tempur tersebut juga diproduksi dan dipasangkan oleh industri penerbangan Israel.
Begitu banyak keuntungan yang didapat AS dan Israel jika normalisasi diplomatik dengan Arab Saudi di lakukan. Hal ini sudah dipastikan posisi Israel akan semakin kuat untuk menunjukkan eksistensi dirinya sebagai sebuah negara. Belum lagi negara-negara Arab yang melakukan normalisasi dengannya juga akan membuat umat muslim semakin dekat bahkan menjadi setia kepada musuhnya yakni bangsa Yahudi.
Bukankah Allah sudah mengabarkan bahwa Yahudi selamanya tidak akan pernah rela dengan kaum muslimin. Posisi kaum muslimin benar-benar dalam bahaya bila normalisasi diteruskan, kaum muslim di negeri-negeri Arab akan semakin kabur dalam melihat mana musuh dan mana kawan. Yahudi yang notabene adalah musuh Islam yang sudah disebutkan dalam Alquran, ini malah dipuja-puja sebagai teman setia oleh para penguasa muslim.
Di dalam Kitab Tafsir Al-Quranul ‘Adzim, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, bahwa Allah telah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memberikan loyalitas kepemimpinan kepada orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka itu memusuhi Islam. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah pemimpin terhadap sesamanya. Kemudian Allah pun mengancam dan memperingatkan bagi orang-orang beriman yang melanggar larangan ini.
Kemudian, Ibnu Katsir menukilkan sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, : “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al-Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan kekhilafahan pada masa itu dilakukan oleh satu orang. Kala itu, Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia berkata: “Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?”. Abu Musa menjawab: “Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram”. Umar bertanya : “Kenapa? Apa karena ia junub?”. Abu Musa menjawab: “Bukan, karena ia seorang Nasrani”. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: “Ganti dia!”. Umar lalu membacakan Surat Al-Maiidah ayat 51, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
Menurut penjelasan Prof. Dr. Abu Zahrah, larangan menjadikan orang-orang yang kafir kepada Allah sebagai pemimpin adalah karena beberapa hal :
Pertama, orang-orang kafir itu tidak mungkin menjaga hak-hak orang mukmin dengan sebenarnya.
Kedua, kekuatan dan bala bantuan orang-orang Islam yang hidup di bawah kekuasaan orang kafir selalu dimanfaatkan untuk memperkuat mereka, bukan untuk kehormatan Islam dan orang mukmin sendiri. Demikian itu karena setiap kekuatan dan aktifitas sosial yang dilakukan oleh orang Islam yang hidup di bawah kekuasaan kafir pada hakikatnya akan menguntungkan mereka, bukan menguntungkan Islam itu sendiri.
Ketiga, orang-orang Islam yang hidup di bawah kekuasaan orang kafir akan diganggu dalam menjalankan aturan agamanya dan tidak diberi kebebasan dalam merealisasikan hukum-hukum Islam.
Pengakuan dari normalisasi Israel adalah bentuk penghianatan kepada kaum muslimin dan agama Islam. Inilah bentuk kapitalisme yang nyata, dimana para pemimpin abai terhadap standar halal dan haram, sehingga membuat mereka sulit membedakan mana keputusan yang membawa keuntungan bagi kaum muslimin dan mana yang tidak. Demi kemajuan, kedudukan dan kepentingan dunia, penguasa akan merelakan idealisme agamanya.
Dalam kondisi Islam dihina dan dinista seperti sekarang ini, jangan justru menjadi pengkhianat dan munafik. Adalah dosa besar bagi mereka yang munafik, menikam Islam dari dalam, berteman dengan orang kafir dan menjadikan kaum kafir sebagai pemimpin dan pelindung. Orang munafik juga adalah mereka yang menghalangi tegaknya sistem hukum Islam kaffah, mereka berpaling dari hukum dan peringatan Allah.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”. [QS An Nisa : 60]
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu [QS Al Baqarah : 120].
Semoga ayat-ayat Allah di atas cukuplah menjadi peringatan untuk kita sebagai umat Muhammad agar terus istiqomah berjuang di jalan Allah apapun resikonya dan jangan justru menjadi jongos, kacung dan pengkhianat Islam. Sebab Muslim bukan jongos, apalagi pengkhianat.
Wallahu a’lam bish-showab