No Hijab Day Tanda Islamofobia Belum Usai

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh :Saptaningtyas (Muslimah Palembang)

Saat muslimin dunia menggalakkan Hari Hijab Sedunia (World Hijab Day) tiap tanggal 1 Februari, komunitas yang menamakan dirinya Hijrah Indonesia sekarang justru mengkampanyekan No Hijab Day.

Word Hijab Day diadakan mengajak perempuan dengan berbagai latar belakang untuk mengenakan penutup kepala pada hari itu sebagai bentuk dukungan bagi muslimah dunia yang menerima perlakuan diskriminatif. Ironisnya, No Hijab Day dipelopori Yasmine Mohamad ini sebaliknya. Melalui media sosial kelompok ini membuat sayembara Hari Tak Berjilbab yang justru cenderung menyeru muslimah menanggalkan hijab.

Dikutip dari laman mysharing.co (30/1/2020), kelompok ini beralasan:
Pertama, hijabisasi baru marak tiga dekade terakhir dan niqabisasi marak satu dekade terakhir. Kedua, tidak semua ulama, tarekat dan sarjana keIslaman mendakwahkan dan setuju dengan hijabisasi maupun niqabisasi. Pandangan mengenai batasan aurat berbeda-beda.

Ketiga, kita berdiam di rumah, berada di habitat, berkebutuhan, bekerja, dan atau memiliki fisik, yang kesemuanya berbeda-beda. Keempat, karena kebutuhan vitamin D, terutama yang mendesak.

Alasan-alasan tersebut sejatinya sangatlah tidak patut diungkap seorang muslim sebagai dalih legalisasi no hijab. Telah lumrah difahami bahwa menutup aurat bagi muslimin dan muslimat adalah perintah Allah yang wajib untuk dilaksanakan.

Syariat Allah telah menetapkan batasan aurat bagi laki-laki adalah dari pusar hingga lutut. Syariat Islam juga telah jelas menyampaikan seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangan.

Perbedaan pendapat di kalangan mujtahid dalam hal menutup aurat adalah pada hukum penggunaan niqob/cadar apakah wajib, sunnah atau mubah. Meski demikian semua pendapat tersebut tetaplah pendapat Islami yang dibangun atas dalil-dalil syara’.

Namun tidak ada perbedaan di kalangan ulama-ulama mu’tabar akan kewajiban menutup seluruh tubuh wanita kecuali muka dan telapak tangan. Tidak ada yang memaknai firman Allah dalam Al-qur’an tentang pakaian wanita kecuali bahwa menutup aurat wanita adalah wajib.

Allah telah mewajibkan wanita muslimah mengenakan kerudung/khimar (kain penutup kepala, leher hingga dada), dalam QS An Nur: 31. Allah juga mewajibkan wanita menjulurkan jilbab / baju gamis ke seluruh tubuh hingga tanah, dalam QS Al Ahzab:59.

Terkait kondisi manusia yang berbeda-beda, dengan fisik, kesehatan, juga jenis aktifitas yang berbeda-beda, sungguh Allah Maha Mengetahui akan makhluk yang diciptakan-Nya. Allah tidak mensyariatkan penbedaan kondisi fisik sebagai pembeda dalam kewajiban berjilbab. Tidak akan diperoleh mudharat dalam pelaksanaan perintah Allah. Telah banyak yang terbukti secara ilmiah bahwa syariat Islam mendatangkan manfaat (kebaikan).

Hijab (jilbab dan kerudung) tidak akan memberikan kemudharatan. Tidak pula maslahat (kebaikan) batal hadir lantaran terhalang olehnya. Wanita di masa Rosulullah SAW tetap mempertahankan tidak menampakkan auratnya meski penyakit menjangkiti. Sebagaimana kisah Su’airah al-Asadiyyah atau yang dikenal dengan Ummu Zufar radhiyallohu’anha. Ia bersabar akan penyakit ayan yang dideritanya, dan meminta Rosulullah mendoakan agar auratnya tidak tersingkap saat penyakitnya kambuh.

Adapun terkait maraknya penggunaan hijab terjadi tiga dekade belakangan menunjukkan peningkatan perkembangan dakwah Islam. Kesadaran umat Islam akan syariat-Nya telah tumbuh, setelah sekian lama umat Islam dijauhkan dari syariat oleh penjajah barat. Tertipu propaganda barat yang mengatasnamakan modernisasi dan globalisasi, sejatinya umat Islam digempur oleh liberalisasi.

Bagi muslimin semestinya menyikapi kebangkitan kesadaran umat sebagai hal yang positif, disambut dengan suka cita dan didukung sepenuhnya. Menyedihkan apabila sebaliknya, merespon dengan kampanye dehijabisasi.

Dengan demikian, kampanye dehijabisasi sejatinya karena Islamofobia. Rasa takut berlebihan yang ditanamkan pada umat Islam oleh para pembenci Islam. Pembenci Islam hendak menutupi dan melawan rasa takutnya pada kebangkitan Islam. Pesatnya perkembangan hijab adalah salah satu indikator kasat mata akan kebangkitan umat. Oleh karenanya, ajaran Islam tentang jilbab terus menerus menjadi objek yang diserang, dimonsterisasi dan dipersalahkan.

Di negeri-negeri barat yang katanya menjunjung tinggi kebebasan, muslimah berhijab mendapat perlakuan diskriminatif. Sementara di negeri yang mayoritas muslim terbesar di dunia ini, berbagai upaya memarginalkan ajaran Islam seolah tak henti terjadi. Stigma teroris dan radikal, pelarangan cadar, pernyataan tidak wajib terlontar dari tokoh ternama, hingga sayembara hari tanpa hijab.

Ironis memang. Maka sudah semestinya umat Islam tersadar. Saat ini ia menjadi bulan-bulanan para penjajah, pembenci Islam. Umat Islam telah seharusnya benar-benar bangkit dengan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *