Oleh : Nisa Andini Putri (Mahasiswi Bengkulu)
Waktu jelang pilkada semakin dekat, para paslon sudah siap merapat mendaftarkan ke KPU. Penyelenggaraan pilkada pun menuai reaksi dari berbagai pihak agar pilkada 2020 kembali ditunda lantaran penyebaran covid-19 makin tinggi. Namun, Menko Polhukam Mahfud Md menilai penundaan Pilkada 2020 sulit karena berbagai alasan (Terkini.id, 13/9/2020)
Dilansir dari Republika.co.id, –Anggotaa Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggaraini menilai, opsi penundaan Pilkada harus jadi pertimbangan besar. “Para pihak tidak bisa menutup diri pada berbagai opsi guna mengantisipasi berbagai risiko yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, termasuk pula opsi penundaan pilkada sekalipun,” ujar Titi kepada Republika.co.id, Rabu (9/9).
Sudah jelas bahwa musuh besar bangsa kini adalah pandemi Covid-19 yang sudah terbukti mematikan, sangat cepat penularannya, dan meluluhlantakkan perekonomian. Tidak mungkin ekonomi pulih jika angka positif Covid-19 terus meningkat. Karena itu, faktor pemicu ledakan positif Covid-19, seperti pilkada, sebaiknya ditunda. Sabtu (12/9/2020).
Dengan melihat fakta diatas jelas ini suatu keniscayaan jika pilkada tahun ini harus ditunda, sebab berbagai dampak atau mudharatnya lebih besar yang akan ditimbulkan. Antara lain sebagaimana umum kita ketahui bersama bahwa pesta demokrasi ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, dikutip dari kompas.com.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri 7 Agustus 2020, realisasi anggaran dari pemda ke KPU mencapai Rp 9,735 triliun atau setara dengan 95,22 persen dari total alokasi.
“Sedangkan untuk Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) senilai Rp 3,290 triliun atau 94,88 persen dan untuk PAM (pasukan keamanan) sejumlah Rp 702,733 miliar atau setara dengan 46,01 persen,” kata Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (8/8/2020).
Sungguh menelan biaya yang cukup besar bukan? Padahal sejatinya seharusnya dana itu bisa dialokasikan untuk bantuan sosial langsung kepada korban dampak corona. Hingga sampai detik ini banyak rakyat yang belum tersentuh BLT tersebut lantaran diribetkan oleh sistem administrasi.
Dengan ini maka sudah terlihat mudharat yang ditimbulkan, daripada manfaatnya. Sepatutnya memang pilkada tahun ini layaknya ditunda hingga pandemi berakhir. Akan tetapi hal ini akan membuat negara yang memiliki ide demokrasi kapitalis ini akan kehilangan eksistensinya. Sebab pesta lima tahunan ini sudah lazim digelar dan merupakan hal yang wajib oleh beberapa negara penganut demokrasi.
Meski masih diselimuti pandemi ternyata itu bukan halangan untuk menunda pesta demokrasi tiap lima tahunan ini. Padahal dengan melihat fakta dilapangan pasien positif Covid-19 belum menunjukkan angka yang menurun untuk saat ini
Kopel Indonesia mengingatkan pemerintah dan KPU, Pilkada akan sangat berpotensi menjadi klaster baru Covid-19. Kopel Indonesia mencatat Covid-19 mulai menyerang sejumlah calon kepala daerah dan tim pemenangannya.
“Keputusan pemerintah untuk melaksanakan Pilkada Serentak di 270 daerah sedang berlangsung. Sekarang sudah berada pada tahap pendaftaran calon. Namun seiring itu juga sejumlah calon terpapar Covid-19 dan mulai menyebar pada tim pemenangan,” kata Direktur Kopel indonesia, Anwar Razak, Rabu (9/9).
Setidaknya delapan calon sudah terpapar Covid-19. Beberapa di antaranya adalah Cawabup Luwu Utara Arsyad Kasmar, Cabup Luwu Timur Irwan Bachri, Cawalkot Binjai Lisa, Cabup Solok Selatan Khairunas, Cabup Rokan Hilir Suyatno, Cabup Lampung Selatan Antoni Imam, Cawabup Klaten Muhammad Fajri, dan Cawabup Dompu berinisial IR.
Hasil pantauan lapangan Kopel Indonesia juga menemukan sejumlah calon yang mengadakan konsolidasi, deklarasi dan bentuk kerumunan lainnya dengan jumah ratusan orang. Kegiatan ini dilakukan tanpa ada protokol kesehatan.
“Tidak ada lagi jarak antara orang, masker hanya dikalungkan dileher, berdesakan dan bersentuhan dan bentuk pelanggaran lainnya terjadi di lapangan. Kelihatan hanya hasrat berkuasa yang ada, keselamatan orang-orang tak lagi dihiraukan,” kata dia lagi.
Dengan kondisi ini, Kopel Indonesia mengingatkan kepada KPU dan pemerintah jangan sampai menjadi sumber malapetaka bagi warga di 270 daerah. Sebab, Pilkada sangat berpotensi menjadi klaster baru Covid-19.
Namun aspirasi publik ini ditolak oleh rezim karena logika demokrasi yang menyesatkan, dan mengabaikan pertimbangan kesehatan. Ini menegaskan bahwa Pilkada menjadi instrument penting mempertahankan demokrasi. Kerusakan dan kezaliman kepemimpinan demokrasi akan diperpanjang nyawanya melalui Pilkada.
Jelas, demokrasi tidak akan memberikan kemaslahatan kepada umat, karena demokrasi hanya menguntungkan kelompok tertentu yang mempunyai kepentingan didalamnya. Dan rakyat berkali-kali hanya dimanfaatkan suaranya, setelah tujuan tercapai akan dicampakkan.
Jadi sebagai pengemban dakwah perlu membangun umat agar sadar terhadap borok pilkada, mestinya menyadarkan bahwa kebobrokan lahir dari Rahim demokrasi. Maka perlu adanya sistem yang shohih yang pasti akan membawa kesejahteraan umat yakni dengan Islam kaffah. Wallahu a’lam bishowab.