New Normal Life, Mampukah Indonesia?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Sarah

“Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan.” Melalui akun resmi media sosial twitter @jokowi (7/5/2020). Dalam cuitan twitternya, 01 Juni 2020, presiden Joko Widodo meminta masyarakat bersiap untuk menghadapi era normal baru atau ‘new normal’ meskipun obat vaksin belum ditemukan.

Penolakan datang dari para ahli baik ahli kesehatan masyarakat ataupun medis. Menurut Dr. Hermawan Saputra sebagai Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) ada 4 pra syarat indonesia bisa menerapkan ‘new normal’, diantaranya: “Pertama, syaratnya harus sudah terjadi perlambatan kasus. Kedua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB, Ketiga, masyarakatnya sudah lebih mawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing. Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk ‘new normal”. Ujar Hermawan saat dihubungi merdeka.com, Senin (25/5/2020).

Fakta menunjukkan bahwa korban virus corona masih mengalami peningkatan tajam. Indonesia belum mencapai kondisi yang memungkinkan diterapkannya kebijakan ‘new normal’. Timeline kalender epidemiologi (kondisi virus penyebab pandemi) harusnya dijadikan landasan kapan aktivitas kehidupan bisa kembali normal, bukan hanya dilihat dari faktor ekonomi.

Mirisnya, sebagai negara pengekor, Indonesia dengan mudah ikut termakan propaganda. Narasi berdamai dengan covid-19 seolah-olah menjadi satu-satunya pilihan. Seperti yang dilakukan oleh Amerika, pemerintah pun sudah gencar mewacanakan era ‘new normal’ ini dan mulai menerapkannya pada lingkungan kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemerintah beralasan ‘new normal’ dibuat untuk memulihkan sektor ekonomi, mengingat selama pandemi covid-19 roda perekonomian menurun tajam dan begitu berdampak buruk terhadap dunia bisnis. Jika tak segera diselamatkan, jelas akan berujung krisis. Ketika pandemi terbukti meluluh lantakkan perekonomian global di berbagai sektor adalah niscaya bagi kekuatan “pemilik modal” mengambil keputusan yang lebih brutal, yakni mempropagandakan narasi _new normal life_ tanpa peduli lagi dengan nyawa rakyatnya. Karena apa pun dampaknya, toh bagi mereka yang dipikirkan hanyalah keuntungan materi saja.

Padahal sejatinya, narasi ini adalah sebuah jebakan. Agar rakyat tertutup matanya, bahwa ada begitu banyak persoalan, yang berujung pada kerusakan sistem yang dijalankan. Pandemi corona memang telah memberi kita banyak pelajaran. Salah satunya bahwa kekuasaan yang tak berbasis pada Akidah Islam hanya akan melahirkan kerusakan. Bahkan kerusakan yang jauh di luar nalar.
Berbeda jauh dengan kekuasaan yang tegak di atas landasan iman. Kekuasaan Islam telah terbukti membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam. Karena sistem hidup yang diterapkannya berasal dari Sang Maha Pencipta Kehidupan.

Kekuasaan Islam yang disebut sebagai Khilafah, senantiasa menempatkan urusan umat sebagai urusan utama. Harta, kehormatan, akal, dan nyawa rakyatnya dipandang begitu berharga. Kekuasaan selalu tampil sebagai perisai utama, di mana penguasa siap membela rakyat dan mendahulukan kepentingan-kepentingan mereka dibanding kepentingan dirinya, tak heran jika benih-benih peradaban cemerlang bermunculan dengan memberi jalan keluar terhadap berbagai persoalan. Semua didedikasikan Khilafah Islam untuk kepentingan mengurus dan menjaga umat serta demi kemuliaan agama mereka, bukan demi memuaskan kerakusan para pemilik modal sebagaimana dalam sistem saat ini. Sudah saatnya umat kembali ke Sistem Islam yang negara dan penguasanya siap menjalankan amanah sebagai pengurus dan perisai umat dengan akidah dan syariat Islam hingga kehidupan akan kembali dilingkupi keberkahan dan kemuliaan. Wallahu alam bis showwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *