“New Normal Life”, Apakah Menguntungkan Rakyat?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Maicharah.Nst

Beberapa minggu ini media mulai heboh dengan pemberitaan mengenai kebijakan pemerintah untuk menerapkan “New Normal”. Kebijakan New Nomal yg dimaksud pemerintah adalah tatanan kehidupan baru ditengah masa pandemi dalam bidang kesehatan sosial dan ekonomi.

Dikutip dari CNN Indonesia —  Sekitar 2,5 bulan sejak kasus positif virus corona (Covid-19) pertama di Indonesia, Jumat, 15 Mei lalu, Presiden Joko Widodo menyinggung persiapan kondisi tatanan hidup baru (The New Normal) di tengah pandemi Covid-19.

Dalam pernyataannya kepada rakyat Indonesia dari Istana, Jokowi mengatakan soal keharusan penyesuaian hidup berdampingan dengan Covid-19 selama vaksin belum ditemukan.

“Kebutuhan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai New Normal atau tatanan kehidupan baru. Tapi, kehidupan yang berbeda itu bukanlah kehidupan yang penuh pesimisme atau ketakutan. Kita kembalikan produktivitas kita dengan optimisme karena kita tetap menerapkan berbagai mekanisme pencegahan,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, yang disiarkan akun Youtube Sekretariat Presiden, pada Jumat (15/5)

Rencana penerapan kebijakan New Normal dengan alasan ekonomi agar pulih kembali rasanya kurang tepat. Jika dilihat fakta bahwa penderita COVID-19 masih terus bertambah dibeberapa daerah.

Seperti dilansir dari tirto.id menyatakan sebagaimana Gugus Tugas Penanganan COVID-19 yang dibuat pemerintah, MCCC juga mengumpulkan data secara nasional dari jaringan rumah sakit mereka. Berdasarkan laporan terakhir pada 26 Mei 2020 lalu, jumlah kasus yang ditangani jaringan rumah sakit Muhammadiyah sebanyak: ODP 3.126, PDP 1.623 dan positif 235. Berdasarkan data itu, Muhammadiyah menyimpulkan saat ini kurva COVID-19 belum menunjukkan tren penurunan.

Media lain juga menyataka kasus pasien COVID-19 bertambah,
Berdasarkan laporan harian kasus COVID-19 di Indonesia, pada 28 Mei terdapat penambahan 687 kasus, sehingga totalnya 24.538 orang sejak kasus pertama pada 2 Maret 2020. Sedangkan jumlah pasien sembuh 6.240 dan meninggal 1.496 orang.

Jika melihat data-data dari berbagai media, menunjukkan pasien positif COVID-19 masih terus bertambah. Belum ada penurunan yg signifikan. Ini akan berakibat fatal apabila pemerintah tetap akan memberlakukan kebijakan New Normal.

Ketika kebijakan PSBB saja tidak mampu membendung pasien yang ODP menjadi positif COVID-19 apatah lagi ketika New Nomal diberlakukan, maka tidak ada Jaminan pasien COVID-19 akan mengalami penurunan.

Sejatinya indonesia belum layak untuk mengikuti negara luar yang memberlakukan kebijakan New Normal di negara mereka. Sebab protokol kesehatan yg menjadi syarat negara bisa melakukan new normal dari WHO saja belum dipenuhi oleh pemerintah.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan pedoman bagi negara-negara soal penerapan The New Normal.

Inti dari pedoman transisi tersebut yakni pemerintah suatu negara harus membuktikan transmisi Covid-19 telah dikendalikan. Kemudian, kapasitas sistem kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit memadai untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengkarantina pasien. Selanjutnya risiko penularan wabah telah diminimalkan, terutama pada lokasi dan kondisi masyarakat dengan kerentanan tinggi.

Jika sebuah negara tidak bisa memastikan pedoman transisi tersebut terpenuhi, harus berpikir kembali sebelum memutuskan melonggarkan pembatasan dan memasuki kondisi The New Normal.

Terlihat jelas pemerintah memberlakukan New Normal bukan untuk membantu rakyat di tengah pandemi COVID-19. Tetapi lebih memilih untuk menguntungkan para kapital. Sebab dari kebijakan PSBB yang sebelumnya diberlakukan bisnis para kapital mengalami kerugian. Sedangkan rakyat dibiarkan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan apa adanya. Sunguh miris sekali.

Didalam islam, seorang pemimpin (kholifah) harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya kepada rakyat.
Sebagaimana hadist dari Ibnu umar ra berkata, Rasulullah bersabda :
فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. (HR. Muslim)

Maka kholifah bertanggung jawab atas ketersedian sandang, pangan, dan papan bagi rakyatnya. Termasuk juga terjaganya jiwa masyarakat. Sebab bagi seorang muslim satu nyawa sama berharganya dengan dunia dan seisinya.
Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Oleh karena itu, ketika ada wabah yg menimpa satu negeri, maka kholifah akan menetapkan kebijakan yang mengutamakan keselamatan rakyatnya. Kebijakan menyelamatkan jiwa rakyat menjadi prioritas utama yg harus dijalankan. Bukan malah membuat kebijakan yang untuk menyelamatkan bisnis para kapital dengan dalih membantu perekonomi rakyat. Wallahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *