Oleh: Bunda Alzam (Pendidik Generasi)
Perjuangan dan perlawanan masyarakat Indonesia dalam menghadapi wabah Covid-19 belumlah usai. Wabah yang masih mengancam, terus membayangi dan memakan korban yang jumlahnya semakin bertambah. Di tengah penderitaan silih berganti, rakyat juga harus menghadapi berbagai kebijakan yang tidak konsisten, rumit dan berbelit. Seperti yang terjadi saat ini, ketika pemerintah mulai memberlakukan new normal sebagai langkah baru dalam menghadapi pandemi Covid-19, mau tidak mau publik dibuat khawatir karena wabah belum lah usai meski di sisi lain ada keuntungan bagi pegiat bisnis.
New normal adalah fase baru yang diharapkan menjadi awal baik sebagai bentuk adaptasi perubahan perilaku masyarakat agar bisa kembali beraktvitas meskipun dalam situasi pandemi. Perubahan yang dimaksud misalnya dengan mengajak warga masyarakat untuk tetap menggunakan masker ketika berada di luar rumah, mencuci tangan secara teratur, menjalankan social distancing, terus menerapkan hidup sehat sehingga imun tubuhnya mampu melawan virus.
Salah satu wilayah yang dianggap siap menerapkan new normal adalah Jawa Barat. Menurut Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Daud Achmad, Jawa Barat sudah siap memberlakukan new normal karena sudah melakukan salah satu dasar leveling atau pengkategorian di setiap daerah berdasarkan temuan penyebaran Covid-19. Dari 27 Kabupaten kota, 5 daerah di level biru, 19 di level kuning, dan ada 3 Kabupaten kota masih di level merah. Pada tiga kota dan Kabupaten ini diharap melanjutkan PSBB dan 19 kota dan Kabupaten berada di level 3 dengan kewaspadaan warna kuning, sehingga kegiatan boleh ditingkatkan 60 persen dengan syarat tetap menjaga jarak aman dan protokol kesehatan (tribunjabar.id, Selasa 26 Mei 2020)
Pemerintah begitu serius mempersiapkan new normal yang digadang-gadang akan mampu memulihkan kondisi perekonomian negara. Padahal sejatinya, penerapan kebijakan baru ini adalah sebuah bentuk pemaksaan terhadap suatu kondisi masyarakat untuk bisa beradaptasi dengan pandemi Covid-19 yang terus menginfeksi dan bermutasi. Hal ini tentu sangat membahayakan masyarakat karena peta penyebaran virus Corona pengelompokkannya sangatlah tidak jelas. Alih-alih ingin memperbaiki roda ekonomi, pemerintah justru menjerumuskan masyarakat pada jurang kehancuran bahkan kematian.
Tidak sedikit yang menduga bahwa dibalik sikap nekad menerapkan new normal ini ada peran kepentingan suatu kekuatan yang mencengkeram.
Bagaimana tidak, selama ini pengayoman yang buruk dari sebuah negara yang mengadopsi sistem kapitalisme menjadi sebab kegagalan dalam penanganan kasus covid-19 hingga menjadi semakin parah. Aspek ekonomi seolah lebih penting dibanding urusan kesehatan dan nyawa manusia. Bahkan, kesehatan sendiri tak lebih dari sekedar komoditi yang layak diperjual belikan. Demi menjaga perekonomian agar tidak terpuruk maka dipaksakan lah kebijakan tersebut, sekalipun nyawa rakyat jadi taruhannya.
Konsep new normal mengajak masyarakat untuk hidup berdamai dengan Covid-19 dengan bergantung pada sistem kapitalisme. Hal ini sangat membahayakan kehidupan umat manusia karena ini artinya para penguasa berlepas tangan dalam menyelesaikan pendemi Covid-19 yang semakin menggurita.
Di sisi lain, pemerintah nampak fokus sebagai pelayan korporasi dan menjadi pelaksana setia agenda Barat, khususnya ekonomi. Sehingga, kafir penjajah terus berupaya menancapkan kekuasaannya untuk mencapai puncak kejayaan peradaban di seluruh dunia dengan cara menguasai perekonomian suatu bangsa.
Begitulah tabiat sistem kapitalis yang hanya sekedar ingin meraih keuntungan, dengan mengabaikan nasib dan penderitaan rakyat. Hal ini wajar terjadi Karena prioritas utamanya hanya materi. Negara semakin abai dengan perannya sebagai pengayom dalam menjaga kesehatan dan keselamatan rakyat.
Hal ini sangat berbeda dengan Islam yang menganggap nyawa rakyat menjadi hal yang berharga dan harus diutamakan. Islam dengan seluruh aturannya dan negara sebagai pelaksana peraturan akan berupaya melaksanakan fungsinya untuk menjaga nyawa manusia dan menjamin kesejahteraan hidup rakyatnya.
Negara dan penguasa dalam kepemimpinan Islam tak akan gegabah mengambil langkah yang bertentangan dengan syariat dan akan bersungguh-sunghuh menunaikan kewajiban untuk mengurus umat sekaligus menjadi penjaganya. Dalam kepemimpinan Islam, terlebih ketika didera kesulitan akibat wabah, negara akan sigap dan cepat menerapkan lokcdown tanpa mengabaikan seluruh kebutuhan rakyatnya.
Keputusan yang diambil oleh negara, bertujuan untuk memutus rantai penyebaran wabah, dan negara memastikan masyarakat untuk tetap mengikuti aturan yang diterapkannya.
Penguasa yang berada dalam naungan syariat Islam, benar-benar memahami bahwa setiap kebijakan yang menzalimi rakyat akan menuai azab Allah Swt. Sebagaimana sabda Nabi saw:
“Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada hari kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan hak dan menunaikan amanah yang menjadi kewajibannya.” (HR Muslim)
Islam menjadikan akidah sebagai landasan peradaban. Seluruh aktivitas kehidupan berjalan atas dasar perintah dan larangan Allah Swt. Dan negara akan menjalankan fungsinya dengan baik sesuai sesuai syariat yang telah ditetapkan Islam.
Sudah saatnya umat kembali pada pangkuan sistem Islam, dengan negara yang akan selalu siap menjalankan amanah dan menjadi perisai bagi umat sesuai dengan tuntunan akidah dan syariat. Sehingga kehidupan umat akan dinaungi keberkahan dan kemuliaan agar mampu menjalani kehidupan normal yang sebenarnya dalam naungan sistem Islam.
Wallahu a’lam bish shawab