Oleh: Ila Nasrullah
Sejak mulai diberlakukannya kebijakan era New Normal, kondisi kurva pandemi Covid-19 di Indonesia belum melandai. Rupanya pemerintah Indonesia belum berupaya untuk mengambil pelajaran dari pelaksanaan New Normal di Prancis yang saat menerapkan New Normal mengalami ledakan kasus baru dalam sehari. Begitu juga yang terjadi di Korea Selatan setelah sekolah dibuka, dalam sehari ada 79 kasus baru Covid-19. Dan akhirnya otoritas kesehatan Korea Selatan dalam menghadapi gelombang kedua penyebaran Covid-19 memberlakukan pembatasan sosial di wilayah Seoul dan Gyeonggi-do yang dimulai pada 29 mei 2020 pukul 18.00 hingga 14 Juni 2020. (Tribunnews.com.29/5)
Dengan demikian, negara Korea Selatan yang notabene memiliki mekanisme penanganan Covid-19 yang lebih baik dari Indonesia pun terbukti gagal menjalankan konsep New Normal.
Badan kesehatan dunia (WHO) pada Senin (8/6) lalu telah mengeluarkan peringatan untuk negara-negara di dunia agar berhati-hati dengan kemungkinan gelombang kedua Covid-19. Misalnya di Indonesia, melalui Gugus Tugas Covid-19 mencatat penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 per hari Jumat (3/7) masih sangat tinggi, yaitu total yang positif menjadi 60.695 setelah ada penambahan 1.301 orang, dan kasus yang meninggal naik menjadi 3.036 dengan penambahan 49 orang yang tersebar di 34 provinsi dan 440 kabupaten/kota di Indonesia. (BNPB. 23/6).
Sebagaimana kita ketahui mulai sejak awal pandemi masuk ke Indonesia, para pakar sudah menyarankan agar pemerintah melakukan karantina wilayah, menyediakan PCR untuk tes, menutup bandara-bandara, menyetop impor dan menghentikan TKA China masuk ke Indonesia. Namun pemerintah justru menolak melakukan karantina wilayah dan memutuskan impor banyak rapid tes yang tingkat akurasinya minim. Pemerintah juga mengizinkan TKA China masuk ke Indonesia dengan leluasa. Selain itu Sri Mulyani (Mentri keuangan) sesumbar ekspor APD ke negara lain, padahal stok dalam negeri sendiri masih kekurangan APD, masker langka di mana-mana. Kalupun ada, harganya melambung tinggi.
Pemerintah juga sangat tidak adil. Pemerintah mengizinkan mall-mall dibuka, akan tetapi menutup toko-toko kecil, dan menutup tempat-tempat ibadah. Sehingga dengan kebijakan pemerintah yang seperti bunglon ini, bukan memutus rantai penyebaran Covid-19 akan tetapi malah menambah kasus baru tiap harinya.
Semua ini diperparah lagi dengan konsep batil New Normal, yang sejatinya adalah tuntutan para kapitalis pemilik modal yang tidak mau terus merugi dengan adanya pembatasan sosial di masa pandemi. Sektor ekonomi, sektor perdagangan, sektor pariwisata dan sektor pendidikan, harus segera aktif kembali. Maka masyarakat akan bertaruh nyawa jika New Normal ini tetap diterapkan sebelum pandemi ini berakhir. Ini adalah salah satu ketidakbecusan dari pemerintah dalam melaksanakn tugasnya untuk menjaga keamanan nyawa rakyatnya.
New Normal merupakan bentuk penjajahan gaya baru, khususnya di sektor ekonomi dan politik barat. Ketika suasana Covid-19 sedang berkecamuk, semuanya di nilai dari materi semata. Dalam mengatasi kesehatan dan nyawa manusia tidak lebih dari jasa yang harus dikomersialkan. Disaat yang sama, ia fokus untuk melayani korporasi dan pelaksana agenda hegomoni Barat, khususnya ekonomi. Nilai materi yang mendominasi konsep new normal, tampak dari lima pilar kerangka kerja PBB yaitu
“(1) Kesehatan yang utama, meliputi perlindungan pelayanan dan sistem kesehatan (akses yang mudah terhadap pelayanan kesehatan esensial dan penguatan sistem kesehatan dengan UHC; (1) Perlindungan sosial dan layanan dasar; (3) Respons dan recovery ekonomi; (4) Respons makroekonomi dan kolaborasi; dan (5) Kohesi sosial dan ketahanan masyarakat[15],[16].”
Kerangka kerja PBB merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Barat. Tidak diragukan lagi, nilai materi serta aspek bisnis adalah yang utama, termasuk pada aspek kesehatan. Meski kesehatan diposisikan yang utama, tetapi hal ini bukan untuk kesehatan dan keselamatan jiwa manusia. Akan tetapi semata untuk tujuan nilai materi dan industrialisasi. Sebagaimana kita saksikan di Indonesia. Pemerintah kembali menambah anggaran penanganan Covid-19 dari Rp 677,2 triliun menjadi Rp 695,2 triliun. (Kompas.com 17/6). Total biaya penanganan Covid-19 tersebut terdiri dari biaya kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, bantuan UMKM Rp 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp 537,57 triliun, dan sektor kementrian/lembaga dan Pemda Rp 106.11 triliun . Anggaran sebanyak ini larinya kemana…?? Faktanya di kesehatan saja APD masih sangat kurang dan insitif bagi time midis sampai saat ini masih belum turun-turun, masyarakat ketika mau melakukan tes masih harus bayar. BLT tidak merata, listrikpun yang subsidi di gratiskan tapi memalak ke yang tidak subsidi. Demikianlah faktanya dalam sistem kapitalisme.
Hal ini bisa kita lihat pada konsep New Normal. Demi hasrat untk meraih nilai materi, rezim berkuasa berlepas tangan dari mengatasi pandemi Covid-19 yang tengah berkecamuk, kesehatan dan nyawa miliaran manusia menjadi taruhannya. Artinya negara semakin tidak peduli dengan kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Di saat yang bersamaan setiap orang harus berjuang lebih berat lagi untuk mengurusi hidupnya di tengah keganasan wabah ini.
Jangan sampai kebijakan New Normal ini justru mendatangkan gelombang kedua yang semakin besar bahayanya bagi masyarakat.
Hadirnya pandemi dan berbagai kebijakan yang dibuat oleh penguasa seharusnya menjadikan kita semakin sadar bahwa kapitalisme telah gagal dan lonceng kematiannya telah berbunyi.
Bencana berupa wabah ini merupakan bagian dari ketetapan Allah Swt. yang tidak bisa kita tolak. Namun Allah melalui syariatnya telah mengajarkan kita untuk menyelesaikannya. Salah satunya adalah dengan cara isolasi/karantina berdasarkan sabda Rasululla saw “Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu” (HR. al-Bukhari).
Tindakan cepat karantina cukup dilakukan di daerah terjangkit saja. Sedangkan daerah yang tidak terjangkit tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif ini nanti yang akan menopang daerah yang terkena wabah untuk memenuhi kebutuhan maupun penanggulangan wabah, sehingga perekonomian secara keseluruhan tidak terdampak.
Dan di daerah terjangkit wabah diterapkan aturan berdasarkan sabda rasulullah saw “ janganlah kalian mencampurkan yang sakit dengan yang sehat” (HR. al-Bukhari). Untuk menerapkan petunjuk Rasul ini harus dilakukan
jaga jarak dilakukan dengan physical distancing seperti yang dilakukan oleh Amru bin Ash dalam menghadapi wabah Tha’un ‘umwas di Palestina. Alhamdulillah dengan izin Allah berhasil.
Untuk mengetahui siapa yang sakit dan tidak sakit, bisa dengan melakukan 3T (test, treatment, tracing). Hal ini harus dilakukan tes yang akurat, secara cepat, masif dan luas. Hal ini relatif mudah di atasi dengan kecanggihan teknologi modern saat ini.
Mereka yang positif dirawat secara gratis di tanggung negara. Sedangkan yang sehat mereka tetap beraktifitas seperti biasanya. Sehingga nyawa dan kesehatan rakyat tetap bisa dijaga. Agama dan harta (ekonomi) juga tetap terpelihara.
Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu menjadi solusi fundamental bagi seluruh permasalahan umat tidak terkecuali. Baik muslim maupun yang non muslim tidak memandang ras dan suku. Hal ini tidak akan pernah terwujud tanpa adanya Khilafah yang menerapkan Islam secara kafah.
Selanjutnya yang harus kita lakukan adalah terus mengopinikan ke tengah-tengah umat dan melakukan kritik terhadap penguasa, bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan akan berdampak buruk bagi umat. Dan tidak lupa kita juga mengajak kepada semua elemen masyarakat untuk tetap terikat pada aturan Allah dalam berbagai aktifitas, agar janji Allah SWT berupa Rahmatan lil ‘alamiin bisa kita raih.