Oleh: Ilma Susi
Hati terasa teriris, menyaksikan warga Indonesia yang bernasib buruk saat mengais rezeki di negeri orang. Mereka diperlakukan layaknya budak. Pekerja itu menerima gaji tak seberapa, namun berat beban pekerjaan yang harus ditanggung sebagai Anak buah Kapal (ABK). Apabila sakit lalu meninggal dunia, jasad ABK itu tak dimakamkan. Jasad buruh migran yang telah tak bernyawa itu lantas dilarung ke laut. Perlakuan tak mengenal perikemanusiaan itu dialami puluhan warga negara Indonesia yang menjadi anak buah kapal berbendera China. (www.liputan6.com/global/read/4250831).
Kasus perbudakan itu sebelumnya telah menjadi sorotan di Korsel. Hal itu setelah media televisi MBC memberitakannya secara eksklusif apa yang menimpa ABK di kapal bernama Long Xing 629. Isi berita itu sempat diterjemahkan seorang Youtuber yang belakangan membuat konten video ini menjadi viral.
Kasus kontroversial itu menuai banyak komentar dengan bernada penolakan. Misalnya, anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay, yang mengutuk tindakan perbudakan Indonesia di kapal Tiongkok itu. Soleh menuntut pertanggungjawaban negara untuk melindungi setiap warga negara, sebagaimana dikutip www.jpnn.com/news,9/5/2020.
Sementara itu, Komnas HAM menuntut pemerintah untuk mengusut dugaan adanya eksploitasi ABK warga negara Indonesia in dalam pernyataan berikut.
“Pertama, Kemenlu mesti mendesak otoritas China untuk melakukan investigasi dugaan eksploitasi tersebut, Kedua, jika mengikuti keterangan ABK yang selamat, maka perlu diselidiki juga perlakuan tidak manusiawi terkait makanan, minuman dan pelayanan kesehatan selama bekerja.” { www.news.detik.com,7/5/2020).`
Duka Nestapa Pahlawan Devisa
Terhadap kasus tak manusiawi yang menimpa kaum migran anak negeri, lantas bagaimana sikap rezim yang ada? Menlu RI Retno Marsudi menyatakan bahwa pelarungan tersebut sudah seizin keluarga korban. Pernyataan ini tak logis, bernada meredam kontroversi dan mengecilkan masalah. Mana ada di era kini orang yang rela keluarganya menjadi budak? Apalagi kemudian beredar kabar tentang bantahan persetujuan pelarungan jasad ke lautan dari pihak keluarga.
Sementara itu, sebuah drama kontroversial disajikan oleh tenaga kerja asal Tiongkok yang bebas melenggang di negeri ini.. Mereka memudahkan akses tenaga kerja China seraya abai terhadap duka nestapa yang diderita kaum migran dari warga Indonesia. Rezim yang ada nyata lebih bersikap pro terhadap TKA ketimbang tenaga kerja dari rakyatnya sendiri.
Sebuah realitas yang nyata aneh. Di saat warga menolak kedatangan TKA ke sejumlah wilayah dengan alasan darurat pandemi Covid-19, pemerintah malah memberikan pembelaan terhadap TKA. Maka datanglah 500 orang TKA asal dari China, negara yang disinyalir merupakan asal munculnya virus Corona penyebab pandemik ini.
Kehadiran TKA itu telah mendapat restu dari pemerintah dan akan dipekerjakan di Konawe, Sulawesi Tenggara. Dalam kasus ini, Kemenaker mengatakan bahwa pemerintah tak bisa melarang karena kedatangan mereka sudah sesuai prosedur. Tentu hal ini aneh, karena terjadi pada negara yang notabene mengaku memiliki kedaulatan. Prosedur apa yang lantas menjadikan pemerintah ini tak bisa berkata ‘Tidak!’ kepada Asing? Politik balas budi?
Di Sisi lain, sulit kita menemukan bukti tentang perlindungan dan pembelaan yang diberikan negara kepada TKI di berbagai negara. Kasus pelarungan ABK ini merupakan bukti tentang ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyatnya yang berstatus buruh.
Meskipun kepada TKI disematkan gelar “Pahlawan Devisa” bagi negara, namun perlindungan terhadap mereka masih dipandang jauh dari memadai. Tak hanya satu atau dua kasus TKI mendapat perlakuan yang buruk, baik sistem kerja yang tidak manusiawi, gaji yang tak memadai. Juga gaji ditahan oleh majikan hingga sampai kekerasan fisik maupun seksual yang mereka alami. Kasus yang menimpa ABK di kapal Cina hanya menambah bukti minimnya perlindungan negara terhadap warga yang terpaksa mengais nafkah di negeri orang. Saat mereka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di negeri sendiri, peluang lapangan pekerjaan yang ada malah disediakan untuk tenaga kerja asing dengan beragam alasan.
Kedaulatan negara dan rakyat yang tergadaikan, di saat pemerintah tak bisa menolak kehendak para pihak pemilik para modal. Sebuah fakta yang selalu terjadi dalam sistem Kapitalis. Modal, Harta dan Kapital selalu menempati garda terdepan dalam setiap kepentingan.
Perselingkuhan antara pemilik kekuasaan dan pemilik modal yang telah mengorbitkan mereka pada kursi kekuasaan, telah menjadikan hati nurani mereka tak peka terhadap penderitaan rakyat. Apa yang dilakukan dalam kepengurusan pemerintah terhadap rakyatnya hanya sebatas sebagai fasilitator bagi pihak yang bersaing dalam arena kebebasan ala demokrasi kapitalis. Rakyat tak memiliki pelindung, tak menemukan pemimpin yang bisa melindunginya dalam medan persaingan bebas ini. Rakyat tak memiliki perisai.
Pemimpin dalam Islam Islam Laksana Perisai
Islam merupakan sebuah sistem kehidupan dalam bernegara. Islam mewajibkan negara melindungi rakyatnya di mana pun berada. Dalam hal ini khalifah sebagai pemimpin yang paling bertanggungjawab. Sejarah yang masyhur telah mencatat pembelaan Khalifah Mu’tashim Billah terhadap seorang muslimah yang dirusak kehormatannya oleh Gubernur Amuria di wilayah Romawi di masa kepemimpinannya.
Saat itu pasukan Islam dikerahkan untuk menggempur Amuria dan mereka berhasil menaklukkannya. Penghinaan terhadap wanita dengan menyibakkan aurat yang Islam mewajibkan untuk menjaganya, merupakan penghinaan terhadap Islam. Khalifah Mu’tashim saat itu hadir untuk melindungi rakyatnya, sebagai penerapan dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Sesungguhnya imam/kepala negara itu adalah perisai, orang berperang di baliknya dan berlindung menggunakannya.” (HR Muslim)
Pemimpin yang tak serius dalam memfasilitasi perlindungan terhadap rakyatnya, mereka sama saja mengkhianati rakyat. Padahal kekuasaan yang diberikan pada mereka ada atas izin Allah. Amanah kekuasaan itu bukan hal sepele. Melalui sabdanya,Rasulullah saw telah memberikan peringatan itu,
“Bagi setiap pengkhianat ada bendera di hari kiamat, ia akan diangkat sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya dari pemimpin masyarakat umum.” (HR Muslim).
Hendaknya hadits ini memberikan peringatan bagi siapapun yang diberikan amanah kekuasaan. Di samping itu perlu adanya kesadaran akan kebutuhan pada sistem yang bisa membawa rakyat, masyarakat dan bangsa ini pada ketaqwaan dan derajat yang tinggi, yaitu sistem Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bishshawab.