Oleh : Sunarti
Saat manusia menuhankan uang, maka hukum rimba yang akan dipakai oleh manusia itu. Siapa yang kuat, dia yang menang. Layak dikritisi adanya kecacatan hukum di negeri ini. Maka tidak heran apabila uang menjadi alat pembelian terhadap hukum yang berlaku.
Berangkat dari kasus terazianya tiga THM (Tempat Hiburan Malam) yang ketiganya memeja hijaukan Bupati Madiun Ahmad Dawami dengan alasan dirugikan atas kebijakan pembekuan operasional. MoM, In Joy, dan Tirta Alam, meminta orang nomor satu di lingkup pemkab itu mengganti kerugian hingga Rp 15 miliar.
Kerugian imateril adalah pencemaran nama baik perusahaan atas pemberitaan berbagai media massa. Bila dirupiahkan mencapai belasan miliaran. Hitungannya berdasar jumlah penonton di akun media sosial (medsos) media massa terkait. Totalnya 14.911 penonton dari tujuh media. Satu penonton dihitung menyumbang kerugian Rp 1 juta. Namun, manajemen bermurah hati menggugat Rp 5 miliar. Total kerugian imateril Rp 44,7 miliar(RadarMadiun.co.id).
Bukti Lemahnya Sistem Hukum Buatan Manusia
Perseteruan antara pemkab dengan pemililik modal THM mencuat ke ranah publik. Sebagaimana gugatan para pemilik modal, bahwa mereka merasa dirugikan dengan alasan mereka telah membayar pajak tinggi. Dan akhirnya kasus berakhir di meja hijau. Alih-alih memikirkan efek buruk adanya THM, justru para pengusaha ini memikirkan kerugian material. Sementara pihak pemilik kebijakan, tidak mampu berbuat banyak.
Perseteruan ini membuktikan bahwa rezim sekuler akan sangat kesulitan memberantas penyakit sosial karena seperti makan buah simalakama. Selama ini HTM membayar pajak yang turut berkintribusi meningkatnya PAD.
Keberanian THM menentang kebijakan pemkab membuktikan bahwa pemilik modal memiliki power yang bisa mengatur jalannya kebijakan. Persoalan tuntutan THM merupakan gambaran rezim korporatokrasi di tingkat daerah.
Asal muasal/penyebab munculnya dilema peristiwa ini berangkat dari sistem sekuleris-kapitalis. Dalam sistem sekuler kebebasan justru dilindungi oleh hukum. Landasan sekulerisme adalah materi. Kebahagiaan hidup diukur dari materi. Sementara, agama hanya sebagai identitas dan ritual saja. Inilah mengapa di negeri yang mayoritas muslim ini, tempat hiburan malam menjamur. Membuktikan juga, bahwa kebebasan pergaulan telah merayap hingga ke daerah-daerah.
Demikian pula dengan sistem ekonominya, yaitu penerapan sistem ekonomi liberal (hasil dari sistem sekuleris-kapitalis). Sistem ekonomi ini mensejahterakan sebagian orang saja. Sistem ekonomi kapitalisme yang juga bernafaskan sekularisme, tidak pernah bisa menciptakan pembangunan yang adil dan merata bagi semua masyarakat. Kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Harta hanya berputar di kelompok-kelompok elite saja.
Demikian pula para pengusaha konglomerat. Mereka menguasai pangsa pasar. Kapitalismelah yang memotivasi seseorang untuk mengakumulasi modal sebanyak-banyaknya dengan menggunakan segala cara, mengorbankan orang lain, hingga membiarkan orang lain menderita asalkan diri sendiri mendapat untung besar. Tanpa peduli lagi halal dan haram. Jadilah asas manfaat menjadi landasannya. Selama bermanfaat (menghasilkan uang) akan menjadi mitra bisnisnya, jika tidak, maka akan memutus hubungan kerjasama dengan berbagai alasan.
Pantas saja, dalam sistem ekonomi kapitalis-sekuleris, pengembangan harta tidak lagi berpedoman kepada kemaslahatan umat, tapi keuntungan secara materi oleh pihak pengusaha, para pendukung dan pelindungnya.
Sistem Ekonomi Islam yang Mensejahterakan
Tujuan ekonomi Islam adalah mencapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Masing-masing pelaku ekonomi harus mengusahakan yang terbaik supaya kehidupan di dunia terjamin. Segala tindakan yang dilakukan dalam bidang ekonomi berdasarkan pada hukum Allah, yaitu halal dan haram.
Dalam pengembangan harta tetap berpegang pada prinsip halal dan haram. Jika suatu usaha mendatangkan kemudharatan (seperti THM), maka pihak negara secara langsung akan menindak tegas. Karena faktanya, tempat-tempat hiburan adalah tempat memuja kebebasan, maksiat, seperti minuman keras, campur baur laki-laki dan perempuan serta hal lain yang mengumbar kebebasan berperilaku.
Dalam Islam, negara tidak akan memfasilitasi dalam bentuk apapun, usaha yang disitu mengarah kepada kemaksiatan. Meskipun itu dalam rangka mengembangkan harta.
Pemerintah sebagai pelindung rakyat, melalui kebijakannya yang sesuai hukum syara’ mengupayakan kehidupan yang layak bagi seluruh warganya. Tanpa memandang kaya atau miskin, pengusaha atau rakyat biasa. Pengembangan dan perputaran harta, ditentukan dengan hukum syara’.
Nabi saw menjelaskan, maraknya zina dan riba bisa menjadi penyebab kehancuran masyarakat. Rasulullah saw bersabda:
Apabila zina dan riba telah nampak di suatu kampung, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka dari azab Allah (HR al-Thabarani dan al-Hakim).
Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan tidak menganggap lebih baik apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan malapetaka di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah dan Al Baihaqi dengan sanad hasan)
Sebagai muslim, individu, masyarakat dan negara saling ‘gayung bersambut’ untuk menjalankan perintah Allah SWT. Dengan kesadaran penuh, bahwa kerusakan akibat perbuatan maksiat akan membawa malapetaka. Dan ketaatan akan membawa rahmatan lil alamin.
Wallahu alam bisawab
Ngawi, 19 Januari 2020