Negeri Terbalik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ima Khusi

Berita bahagia dan berita duka di awal bulan ini benar-benar membuka mata kita. Betapa kita sudah benar-benar masuk akhir zaman dan fase zaman fitnah. Salah satu berita bahagia tersebut datang dari negeri Turki dimana bangunan ikonik yang berdiri di Istanbul, Turki, Hagia Sophia telah resmi kembali difungsikan menjadi masjid oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, Jumat (10/7/2020). KOMPAS.com

Sebelumnya, bangunan besar yang menjadi daya tarik wisata Turki ini difungsikan sebagai sebuah museum. Pada 1934, Hagia Sophia menjadi museum lantaran keputusan dari Badan PBB UNESCO di bawah pendiri Republik Turki, Ataturk.

Dalam beberapa pidatonya presiden Erdogan menyampaikan bahwa diresmikannya Hagia Sophia menjadi masjid adalah pemberi kabar dekatnya pembebasan Al-Aqsa. Kebebasan Hagia Sophia adalah tekad langkah untuk umat Islam seluruh dunia untuk keluar dari era Fetret (perang saudara Utsmani 1402-1413). Kebangkitan Hagia Sophia bukanlah (kabar gembira) untuk seluruh umat Islam saja namun juga adalah api untuk menyalakan obor harapan bagi mereka yang terzalimi, teraniaya, tertindas dan terjajah. Sungguh berita yang membahagiakan, karena negara-negara di luar sana mulai menyambut kebangkitan Islam.

Namun berita duka datang dari negeri tercinta ini. Negeri yang penduduknya mayoritas Islam justru makin jauh dari Islam. Dimana mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab di madrasah akan dihapuskan. Padahal kedua mata pelajaran tersebut dinilai menjadi mata pelajaran khas di madrasah selama ini.

Seperti diketahui, surat edaran dari Ditjen Pendidikan Islam Kemenag poin ke-3 berbunyi: Dengan berlakunya Keputusan Menteri Agama (KMA) 183 Tahun 2019 dan KMA 184 Tahun 2019, maka mulai Tahun Pelajaran 2020/2021 KMA Nomor 165 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran PAI dan Bahasa Arab di Madrasah sudah tidak berlaku lagi.

Kepala Seksi Humas Kementerian Agama Khoiron Durori menjelaskan yang menjadi persoalan di media sosial menurutnya hanya salah paham dalam membaca kalimat di surat edaran yang tersebar. Perbedaan KMA 183 dan 165 lebih pada adanya perbaikan substansi materi pelajaran karena disesuaikan dengan perkembangan kehidupan abad 21 (11/7/2020) Kompas.com

Miris dan terenyuh, di saat negeri-negeri yang minoritas muslim mulai bangkit dengan mendalami Islam, justru negeri mayoritas muslim ini malah menjauh dari Islam dengan alasan modernisasi. Disaat negeri-negeri minoritas Islam mulai mengumandangkan adzan, negeri mayoritas muslim ini malah akan meredam kumandang adzan dengan alasan toleransi. Sungguh sebuah kemunduran yang nyata untuk sebuah negeri yang memiliki umat muslim terbanyak.

Indonesia sejatinya merdeka diatas pekik takbir, perjuangan dan pergorbanan serta tumpahan darah para ulama dan mujahid Islam, menjadikan Islam di negeri ini sebagai agama mayoritas penduduknya. Dibangun ulama dengan ajaran-ajaran Islam agar generasi masa depan bangsa ini dapat membumikan ajaran yang sempurna ini. Sejarah mencatat bagaimana para pejuang dan ulama terdahulu terus berupaya agar Islam tegak di negeri ini.

Namun sayang, tujuan dan keingingan para pejuang dan ulama tersebut akan sia-sia jika generasi saat ini justru akan menghilangkan dan menghapus ajaran Islam dengan dalih modernisasi dan kemajuan abad 21, padahal ini bukan kemajuan abad 21 tetapi kemunduran yang jelas menjadi bom waktu kehancuran bagi anak cucu bangsa ini.

Sedikit tapi pasti, paham liberal dan sekuler terus menggerus pemikiran penduduk negeri ini. Menanggalkan keislamannya dan melupakan sejarah perjuangan para ulama hanya demi sebuah kebebasan dan kata modernisasi, yang justru akan menghancurkan segalanya.

Negeri yang mayoritas beragama Islam ini justru menjadi minoritas dan terpinggirkan, ulamanya di kriminalisasi, umat Islam didiskriditkan, ajarannya dianggap radikal, penyebarannya diawasi seakan Islam sebuah ancaman yang harus di musnahkan. Maka jangan terlena dengan kata mayoritas karena belum tentu pemikiran dan pemahamannya juga mayoritas.

Inilah fenomena negeri terbalik. Islamnya mayoritas tapi terbalik menjadi Islam minoritas. Kebijakannya terbalik, menganggap bahwa ajaran Islam kaffah adalah ajaran radikal. Pendidikan yang seharusnya didasari dengan agama, terbalik menjadi pendidikan karakter yang sekuler, sejatinya menjauhkan norma agama dalam kehidupan. Semua terbalik, baik aturan maupun sistem negeri ini, sehingga tujuannya ingin maju malah mengalami kemunduran, maunya modern tapi akhirnya justru terbelakang.

Sejatinya Islam tidak hanya agama tetapi Islam itu adalah aturan hidup, sebuah ideologi dimana penganutnya akan benar-benar tercerahkan dan membawa maslahat jika diterapkan secara kafah dan menyeluruh. Setiap individu yang menjalankan Islam secara kafah akan otomatis terarah tujuan dan pandangan hidupnya. Begitupun dengan masyarakat Islam diantara mereka tidak akan ada yang namanya nafsi-nafsi dan sifat individualis, semuanya ibarat satu tubuh, saling memiliki dan saling menjaga tanpa harus kenal hubungan darah dan tanpa harus terikat satu bangsa. Yang jelas, mereka terikat atas nama ketaatan dan keimanan pada Allah sang Maha Pencipta manusia.

Jika suatu negara menjalankan Islam dan menerapkan Islam, maka akan benar-benar membawa maslahat dan benar-benar mengayomi rakyatnya. Menjaga rakyat tidak hanya sebatas lepas tanggung jawab tapi menjaga rakyatnya benar-benar sejahtera dan terlindungi dan bukan hanya kelompok apalagi daerah melainkan hingga level individunya.

Maka sudah seharusnya umat Islam sedunia, khususnya Indonesia menjaga agar Islam tidak hilang dari diri kita, lingkungan, daerah apalagi negara ini. Karena jika sampai hal ini terjadi, maka bukan hanya kita yang akan hancur namun generasi muda, bahkan anak cucu kita kelak tidak akan kenal lagi Islam sebagai ideologi. Naudzubillah.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *