Oleh: Abu Mush’ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)
Negara-negera kapitalis sering diklaim sebagai contoh negara yang paling makmur. Negara ini menjadi kiblat banyak negara dalam berbagai hal seperti ekonomi, budaya, iptek, militer dan lain-lain.
Namun sayang negara kapitalis hanya memperkaya segelintir orang. Biasanya jumlah orang terkaya hanya 1 persen dari total populasi negara tersebut. Hanya orang yang memiliki modal besar industri besar yang semakin kaya.
Amerika Serikat adalah contoh pertama negara kapitalis yang kondisi masyarakatnya sangat tidak ideal. Menurut suara.com (2/8/2018) angka kemiskinan di sama mencapai 3% tetapi menurut PBB jumlah penduduk miskin malah mencapai 12%.
Apalagi ditambah dengan pandemi Covid-19 semakin memperburuk suasana. Sekitar 30 juta orang di PHK, terpaksa hidup di bawah garis kemiskinan.
Kerusuhan berbasis ras akibat meninggalnya Floyd seharusnya tidak berkembang ke penjarahan massal jika tidak ada kesenjangan sosial. Hal ini bisa dicegah bila kekayaan bisa dibagi merata.
Dulu demonstrasi occupy the wall street dilatarbelakangi oleh keiriansosial. 1 % penduduk AS adalah orang-orang terkaya di dunia. Sedangkan 99% warganya harus berjuang melawan kekurangan materi.
Sayangnya lagi, publik di dunia telah mengetahui bahwa AS adalah negara dengan jumlah utang luar negeri terbesar di dunia. Jumlah utang AS US$ 70 Trilun atau Rp. 309 ribu triliun (nusantaranews,18/4).
Bagaimana mungkin negara adidaya berutang besar dan penduduk miskinnya melimpah?
Cina pun demikian. Walaupun dianggap negara yang merajai ekonomi dunia, China memiliki jumlah penduduk miskin sebesar 30 juta orang.
“Jumlah warga miskin ada 30 juta saat ini. Jumlah ini turun drastis sejak reformasi 40 tahun lalu,” kata Chief Economist di China Center for Internatioal Economic Exchange (CCIEE), Chen Wenling saat menerima kunjungan jurnalis dan akedemisi Indonesia di Beijing, 13 November 2018 (medcom.id,13/4/19). 30 juta bukan jumlah yang sedikit, itu seperenam populasi Indonesia.
China memiliki industri superkaya transnasional, seperti Alibaba (laba Rp.237,7 Triliun per Juni 2019) dan Huawei (laba Rp.1.500 Triliun per tahun 2018) yang memiliki pemasukan fantastik (Katadata.co.id). Namun karena dalam ideologi kapitalis tidak ada distribusi kekayaan, keuntungan materi menumpuk pada mereka yang mempunyai kekuatan modal.
Eropa pun demikian. Sekitar 30 persen anak-anak atau 4,1 juta 4,1 juta hidup dalam garis kemiskinan. Ironisnya, 70 persen anak-anak yang hidup dalam garis kemiskinan itu, merupakan anggota dari keluarga yang memiliki pekerjaan (Republika,29/3/2019).
Jika negara kapitalis banyak warganya yang susah, bagaimana dengan negara berkembang dan miskin? Indonesia masih tetap dengan 24,15 juta warga miskinnya menurut BPS (Kompas,15/7) dan 30juta pekerja terancam PHK karena pandemi Corona (CNN,14/5). Negara-negara di benua Afrika juga terlilit hutang dari negara kapitalis semacam China.
Intinya tidak ada negara kapitalis yang mampu mengentaskan penduduk miskinnya. Berbeda dengan Khilafah Islam yang menjadikan Islam sebagai standar hidupnya.
Islam melarang kekayaan itu menumpuk di sekelompok orang. Islam pula melarang penguasaan SDA oleh individu atau kapitalis. Islam membolehkan menjadi kaya dengan cara yang halal.
Orang yang kaya berinfak dan bersedekah kepada yang miskin. SDA pun dikuasai negara dan keuntungannya untuk mengentaskan kemiskinan.
Sehingga pernah dalam sejarah tak ada orang miskin dalam Khilafah Islam. Benua Afrika yang sekarang melarat, dulunya tak dijumpai orang miskin yang berhak menerima zakat.
Ukuran orang miskin di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah mereka yang sudah punya rumah, kendaraan dan ladang sendiri. Sangat berbeda dengan kenyataan zaman sekarang. Semoga negara kapitalis segera berganti sistem ke negara Islami. []
Bumi Allah SWT, 8 Juni 2020
#DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan