Nasionalisme, Racun Mematikan yang Disuntikkan ke Dalam Tubuh Umat Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Nasionalisme, Racun Mematikan yang Disuntikkan ke Dalam Tubuh Umat IslamOleh : Ummu Syam (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)

India kembali berdarah. Masjid dibakar oleh umat Hindu. Demo yang berujung bentrokan pun tak terelakan. Dunia tiba-tiba bungkam. Dan memang sudah menjadi rahasia umum jika yang terdzolimi adalah dari kalangan umat Islam, seketika dunia menutup mata dan telinga. Pemimpin negeri-negeri muslim dan dunia internasional melalui PBB-nya diam seribu bahasa, tak ada kecaman atau pemberian sanksi atas tindakan sewenang-wenang umat Hindu India.

Masih hangat rasanya berita pemerintah India di bawah komando Narendra Modi, membuat UU anti muslim. Membuat umat Islam di India terancam less state (tanpa kewarganegaraan). Pertanyaannya, haruskah umat Islam di India bernasib sama seperti umat Islam Rohingya di Myanmar? Kewarganegaraan dicabut membuat mereka terombang-ambing di lautan berhari-hari dengan maksud hendak meminta perlindungan kepada saudaranya. Tapi apa yang dilakukan oleh saudaranya? Mereka mengusir muslim Rohingya. “Kalian bukan warga negara kami!”

Ah, betapa pilunya hati ini. Ketika umat Islam tak lagi saling mengenal saudaranya. Hanya karena berbeda negara, bangsa, suku, bahasa dan warna kulit. Allah, betapa nasionalisme telah menghinakan kami!

Padahal tujuan Islam disebarkan sebagai risalah salah satunya untuk menumpaskan nasionalisme yang begitu mengakar di dalam diri masyarakat Arab saat itu khususnya suku-suku di Mekkah.

Ya, kita kembali diingatkan oleh sejarah. Bagaimana suku-suku di Mekkah kerap berkelahi hanya karena masalah sepele seperti masalah padang rumput, air, kuda dan unta. Zaman jahiliyah (kebodohan) pada masa itu penuh dengan hal-hal seperti itu.

Sepanjang abad kelima, salah satu perang yang sangat terkenal adalah Harb al-Basus, yang disebabkan oleh terbunuhnya unta bernama Basus milik seorang tua dari Bani Bakr. Perang ini berlangsung selama tiga puluh tahun dan masing-masing saling menyerang, merampas dan membunuh.

Harb Dahis wa al-Ghabrâ timbul karena ketidak jujuran dalam suatu pacuan kuda antara suku Abs dan Dhabyan di Arabia Tengah. Perang ini berlangsung sampai beberapa waktu. Kedua suku ‘Aus dan Khazraj di Yatsrib (Madinah sekarang) juga terlibat dalam Harb al-Bu’ath. Bani Kinanah berperang dengan suku Hawazin dalam perang Harb al-Fujjar.

Itulah hinanya nasionalisme. Karena kejahiliyahannya, masyarakat Arab bukanlah masyarakat yang patut diperhitungkan oleh dua kekaisaran yang berkuasa pada saat itu, yaitu kekaisaran Persia (Iran) dan kekaisaran Romawi.

Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw sampai di Madinah, hal yang pertama beliau lakukan adalah mengajarkan persaudaraan di antara umat Islam dengan tujuan untuk mempererat hubungan mereka dalam urusan perdagangan dan urusan sosial. Suku ‘Aus dipersaudarakan dengan suku Khazraj. Paman Nabi, Hamzah ra dipersaudarakan dengan maulanya, Zaid ra. Abu Bakar menjadi saudara Kharijah bin Zaid. Demikian pula kaum Anshar dan Muhajirin juga membentuk ikatan persaudaraan. Umar bin Khattab dan Utbah bin Malik al-Zajraji bersaudara dengan Abu Ayyub al-Anshari. Andurrahman bin Auf bersaudara dengan Sa’ad bin al-Rabi’. Persaudaraan ini memberi pengaruh yang nyata di kalangan umat Islam, khususnya kaum Muhajirin dalam perdagangan dan pertanian.

Demikianlah bagaimana Islam menumpaskan ikatan nasionalisme dan menggantinya dengan ikatan ideologis.

Ikatan ideologis ini terus menjadi dasar persatuan umat Islam sampai ribuan tahun sesudahnya. Islam menyatukan orang Arab, Romawi, Afrika, Turki, Persia dan India, berikutnya Melayu, China, Sirkasia, Bosnia dan lain-lain menjadi umat yang satu, yaitu umat Islam.

Seperti itulah Islam menyatukan manusia tanpa melihat warna kulit, ras, status atau pun bahasanya.

Berakhirnya pemerintahan Islam pada 3 Maret 1924 telah memunculkan banyak negara muslim buatan yang menggunakan asas nasionalisme sebagai dasar pendiriannya. Namun sayang, negara-negara ini justru jauh dari ‘kemerdekaan’ yang diidam-idamkan oleh para pendirinya yang membangkang terhadap Daulah Khilafah Utsmaniyyah.

Memang benar, janji-janji kemerdekaan dari Barat itu hanyalah satu kebohongan besar, yang kenyataannya merupakan perangkap busuk dan jahat yang menjerat umat Islam ke dalamnya. Tujuan Barat sebenarnya adalah untuk menjajah umat Islam baik secara budaya maupun mental.

Namun, ketika pemahaman Islam dan sisa-sisa peradaban masih ada di dalam benak umat Islam, maka penjajah Barat tidak dapat meraih apa-apa kecuali melakukan penjajahan fisik kepada umat Islam. Hal ini terjadi kepada umat Islam di Suriah, Palestina, India, muslim Rohingya di Myanmar, muslim Uyghur di Xinjiang, muslim Pattani di Thailand, muslim Moro di Filipina dsb.

Namun sayangnya, kita selaku umat Islam belum mampu untuk menolong mereka, memberikan perubahan yang signifikan terhadap masa depan umat. Kita telah tersekat oleh nasionalisme, menjadikan umat Islam tidak mengenal satu sama lain saudaranya dan tidak berdaya melawan musuh-musuh umat Islam.

Islam bukan hanya melarang manusia untuk berkelompok atas dasar ikatan nasionalisme, tetapi Islam juga melarang didirikannya lebih dari satu negara di kalangan umat Islam, baik negara itu didasarkan atas nasionalisme atau pun tidak. Satu-satunya negara yang dibolehkan bagi umat Islam adalah Daulah Khilafah Islamiyyah, yaitu negara yang diatur semata-mata dengan aturan Islam.
Rasulullah saw bersabda :

“Jika seorang datang padamu ketika kamu bersatu di bawah pimpinan satu orang, dan ia hendak menghancurkan kekuatanmu dan memecah persatuanmu, maka bunuhlah” (HR. Muslim)

Persatuan umat sangatlah di utamakan. Hal ini tampak pada piagam yang ditulis oleh Rasulullah saw ketika beliau mendirikan Daulah Islam di Madinah. Dalam piagam ini yang ditujukan untuk mengatur hubungan antara muslim dan non muslim di dalam Daulah Islam.

Rasulullah saw mengatakan tentang orang muslim sebagai berikut :

“Perjanjian Allah di antara mereka adalah satu”

“Orang-orang yang beriman adalah saudara terhadap yang lain” “Kedamaian orang-orang mukmin itu tak terbagi. Tidak ada perdamaian terpisah yang perlu dibuat ketika orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa umat Islam adalah satu tubuh, bahwasannya mereka tidak dapat diperlakukan secara terpisah-pisah. Selain itu, kewajiban untuk memiliki satu negara dan bukannya banyak negara nasionalistik, adalah merupakan hasil ijma para sahabat.

Ketika Rasulullah saw wafat para sahabat berkumpul untuk bermusyawarah untuk menentukan khalifah pengganti beliau di perkampungan Bani Sa’idah. Seseorang telah mengusulkan bahwa orang Anshar harus memilih pemimpinnya sendiri, tetapi kemudian Abu Bakar membacakan satu hadis yang melarang umat Islam memiliki lebih dari satu pemimpin. Jadi, para sahabat ra tidak pernah setuju adanya lebih dari dua pemimpin dan kesepakatan mereka merupakan dalil paling kuat bagi kita.

Karena itulah Islam tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi negeri-negeri Islam untuk memisahkan diri. Islam menyerukan adanya satu negara dengan satu pemerintahan yang seluruh umat Islam di dalamnya diikat dengan ikatan aqidah, yaitu aqidah Islam.
Karena nya Allah SWT berfirman: يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat (49) : 13)

Karena Islam telah menafikan nasionalisme, maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim pada saat ini untuk menghilangkan segala batas nasionalistis yang semu yang telah dibuat di bumi kaum muslimin, dan untuk mengganti para penguasa yang menerapkan hukum-hukum yang bukan hukum Allah swt. Itulah puncak daripada perjuangan dakwah Islam.

Dan percayalah, bahwa kebangkitan Islam itu adalah sebuah keniscayaan! Wallahu a’lam bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *