Nasib Tidak Jelas Pengungsi Rohingya

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Nasib Tidak Jelas Pengungsi Rohingya

Oleh Syahraeni

Kontributor Suara Inqilabi 

Pengungsi Rohingya hingga saat ini masih terkatung-katung akibat pengusiran di negeri asalnya. Dan dunia pun belum memberikan solusi tuntas. Terlebih tidak semua negara meratifikasi konvensi tentang pengungsi termasuk Indonesia.

Koordinator Kontras Aceh Azharul Husna mengatakan, imigran etnis Rohingya semakin berdatangan di kawasan Kabupaten Pidie dan Bireuen, Aceh sejak 14 November 2023. Mereka datang melalui jalur laut menggunakan kapal. Azharul menerangkan jumlah imigran rohingya sebanyak 346 orang berada di Pidie dan 249 lainnya di Bireuen. Warga sekitar telah membantu para imigran Rohingnya yang hendak mengungsi. Namun, setelah diberi bantuan, para pengungsi kemudian diminta kembali ke kapal mereka.

Azharul meminta agar pemerintah memberikan pertolongan kepada pengungsi Rohingya sehingga tidak terombang-ambing di atas kapal. Dia berharap Kementerian Luar Negeri dapat bekerjasama dengan PBB mengentaskan isu imigran Rohingya.

Menanggapi hal itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, menyampaikan bahwa Indonesia tidak mempunyai kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya. Hal itu berdasarkan pada aturan Konvensi 1951 dan Indonesia tidak ikut meratifikasi.

Dirinya menyinggung negara lain yang meratifikasi konvensi tersebut, namun abai kepada urusan kemanusiaan Rohingya. Indonesia memberikan bantuan semata karena urusan kemanusiaan.

Iqbal menambahkan bahwa ada banyak pihak yang memanfaatkan belas kasih kepada pengungsi untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Oleh karenanya, Indonesia harus berhati-hati dalam menerima pengungsi. “Dari penanganan selama ini teridentifikasi bahwa kebaikan Indonesia memberikan penampungan sementara banyak dimanfaatkan oleh jaringan penyelundup manusia (people-smuggler) yang mencari keuntungan finansial dari para pengungsi tanpa peduli resiko tinggi yang dihadapi oleh para pengungsi,” kata dia. (Tirto.id, 16/11/2023)

Sebelumnya masyarakat Aceh telah menampung pengungsi dan menempatkannya di penampungan. Namun sayangnya, sekarang mereka juga harus menelan rasa pahit dan kesengsaraan kembali ke lautan, sebab masyarakat sekitar telah mengeluarkan ultimatum agar mereka meninggalkan wilayah mereka.

Miris namun itulah kenyataan pahit yang harus dirasakan rakyat rohingya. Tidak adanya solusi tuntas dari problem pengungsi ini tersebab negara masih absen dalam me-riayah (mengurusi) masyarakat dan pengungsi yang terlantar. Ketika menghadapi ancaman genosida di Myanmar, muslim Rohingya berlindung ke Bangladesh, tetapi rezim Hasina menghiraukan mereka. Tempat pengungsian yang disediakan untuk muslim Rohingya pun sangat buruk sehingga tidak layak untuk didiami. Nasionalisme telah membatasi Bangladesh dari menolong muslim Rohingya secara layak. Pandangan Nasionalisme yang memandang saudara muslim hanya layaknya rakyat dari “wilayah lain”.

Dengan latar belakang ini, wajar jika muslim Rohingya melarikan diri ke Indonesia, negeri dengan mayoritas muslim yang diharapkan memberi tempat hidup yang layak untuk mereka.

Negara dalam hal ini, meski dengan dalih tidak memiliki kewajiban untuk mengurus sesuai dengan aturan Konvensi 1951 yang belum diratifikasi oleh Indonesia sendiri. Namun jika berbicara tentang regulasi, alasan pemerintah karena tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 bisa dikatakan sebagai “argumentasi usang”. Sebabnya, Indonesia memiliki banyak regulasi lain diantaranya, Peraturan Presiden No.125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri dan beragam instrumen HAM lain, prinsip non-refoulement, ketentuan-ketentuan penyelamatan nyawa pada hukum laut atau UNCLOS, ketentuan-ketentuan pada Bali Process dan konvensi-konvensi HAM yang melindungi perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas, dan lain sebagainya.

Belum lagi pada soalan pergesekan sosial yang terjadi antar masyarakat dan pengungsi, negara tidak hadir untuk mendamaikan konflik yang terjadi diantara mereka. Sebab, permasalahan pengungsi Rohingya memang merupakan tugas negara, bukan individu maupun masyarakat. Meski muslim Indonesia termasuk Aceh telah menolong pengungsi muslim Rohingya, tetapi negara masih mengabaikan para pengungsi. Sedang untuk menolong secara permanen harus ada kontribusi negara.

Muslim Rohingya membutuhkan tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, keamanan, energi, sandang, pangan, dan lainnya, bahkan kewarganegaraan sebab status stateless mereka saat ini menjadikan mereka sasaran empuk TPPO oleh sebagian oknum. Semua itu adalah domain negara. Negara masih hitung-hitungan ekonomi untuk bertindak sebab terbayang besarnya rupiah yang harus dikeluarkan jika membantu muslim Rohingya mendapatkan kehidupan layak.

 

Saat ini tak ada pihak yang mau menyelesaikan permasalahan muslim Rohingya. Penguasa negeri-negeri muslim menghiraukan mereka, pun lembaga internasional ataupun multilateral seperti PBB dan ASEAN yang lantang menyuarakan tentang perdamaian dan HAM, tetap tidak mengambil andil untuk menolong orang-orang Rohingya.

Sejatinya, masyarakat Rohingya adalah muslim. Permintaan tolong mereka wajib dijawab oleh muslim diseluruh dunia. Wajib bagi muslim sedunia untuk menolong muslim Rohingya. Kewajiban yang utama ada di pundak muslim yang terdekat dengan Rohingya, yaitu Bangladesh. Namun, ketika Bangladesh tidak menolong Rohingya, maka wajib bagi negeri muslim yang lain untuk menolong, termasuk Indonesia.

Dalam Islam, umat adalah saudara dan bagaikan satu tubuh yang tidak terpisahkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

“Perumpamaan kaum mukmin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain juga ikut merasakan sakit, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR Bukhari no. 6011, Muslim no. 2586, dan Ahmad IV/270).

Hal ini seperti saat adanya permintaan tolong seorang muslimah yang dizalimi rezim Romawi yang kemudian dijawab oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah dengan pengerahan pasukan untuk membebaskannya dari kezaliman tanpa memperhitungkan biaya yang harus digunakan untuk menolong muslimah tersebut, karena yang menjadi tujuan utama adalah membebaskannya. Meski harus menelan biaya yang sangat besar.

Dalam Islam, negara akan menjamin sandang, pangan, dan papan mereka, serta memberikan lapangan kerja bagi para lelaki sehingga mereka bisa menafkahi diri dan keluarganya. Pun negara akan menjamin pendidikan, kesehatan, dan keamanan sehingga mereka hidup layak.

Untuk mencegah konflik karena aspek budaya yang berbeda antara pengungsi dengan warga lokal, negara akan mendamaikan keduanya. Asas akidah serta sikap saling taaruf dan tolong-menolong di antara keduanya akan menghilangkan sekat-sekat etnis yang mungkin ada.

Selain itu, negara dengan sistem Islam akan melakukan pendekatan politik maupun militer terhadap rezim Myanmar yang terbukti melakukan genosida terhadap muslim Rohingya, membebaskan muslim Rohingya yang masih ada di Myanmar dan wilayah Rakhine yang selama ratusan tahun sudah menjadi tempat tinggal mereka.

Namun solusi ini hanya bisa terwujud dengan sistem Islam yang berada dalam bingkai kekuasaan. Tidak berhenti hanya pada penyelesaian muslim Rohingya tapi dengan penerapan sistem Islam ini akan menyelesaikan persoalan kaum muslim diseluruh dunia yang saat ini ditindas oleh rezim penjajah.

Wallahua’lam bish-shawwab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *