Oleh: Henny Suciyanti, S.Pt (Aktivis Muslimah Lubuklinggau)
Tragedi susur sungai dalam kegiatan pramuka yang menewaskan 10 siswa SMPN 1 Turi, Sleman Jogjakarta pada Jum’at 21 Februari 2020 lalu telah ditetapkan tiga tersangka yang merupakan pembina/ guru pendamping kegiatan tersebut. Penyelidikan ketiga tersangka masih terus dilakukan oleh aparat setempat, beberapa pihak terkait telah dimintai keterangan sebagai saksi. https://www.liputan6.com/news/read/4188202/3-tersangka-susur-sungai-sempor-diduga-digunduli-polisi
Terlepas dari kejadian tersebut yang notabenenya merupakan suatu kejadian yang berada diluar kuasa manusia. Hal yang menjadi sorotan terkini ialah menyayangkan tindakan dari salah satu oknum polisi yang menggunduli ketiga guru tersebut, seolah telah melakukan kejahatan tingkat tinggi apalagi kejadian tersebut tidak dapat digolongkan sebagai suatu tindakan kejahatan melainkan suatu kelalaian, namun begitu ketiga tersangka akan bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. “ Peristiwa pemotongan rambut hingga botak terhadap guru-guru yang diduga lalai dalam menjalankan tugasnya, sehingga kegiatan yang didampinginya merengut nyawa anak-anak didiknya adalah sebuah penghinaan terhadap profesi guru”, ujar Ramli dikutip TribunnewsBogor.com
Penghinaan terhadap guru di negeri ini seolah kembali membuka luka lama yang masih menganga. Sudah puluhan kasus yang diberitakan atau bahkan ada ratusan kasus lainnya yang tidak terangkat kepermukaan terkait dengan penghinaan, pelecehan dan penganiayaan serta pembunuhan terhadap guru. Mulai dari teguran atau hukuman yang diberikan guru dalam rangka meneggakkan kedisiplinan yang kemudian berujung pada penganiaayaan yang dilakukan oleh salah satu peserta didik karna tidak terima atas teguran tersebut.
Hingga kasus pelaporan guru yang dilakukan oleh orang tua peserta didik yang tidak terima anaknya dihukum dianggap telah melanggar hak asasi manusia.
Kasus diatas hanya segelintir kasus yang muncul kepermukaan.
Kejadian-kejadian tersebut yang merengut kebebasan guru dalam mendidik peserta didik telah membuat guru dinegeri ini dilingkupi rasa takut, bingung hingga muncul sikap acuh tak acuh kepada siswa. Peran guru saat ini telah mengalami pergeseran makna dari sebagai pencerdas kehidupan bangsa, sebagai insan-insan yang menyiapkan generasi penerus bangsa berubah menjadi pengguguran kewajiban terhadap tugas mengajar saja, jika sudah begini siapa yang rugi..??
tentu saja anak-anak bangsa dan dalam lingkup yang lebih besar ialah negara karna ketidakmampuan dalam melindungi kebebasan guru dalam mengajar menimbulkan sifat bodo amat.
Ikatan Guru Indonesian (IGI) dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah menuntut pemerintah untuk memberikan perlindungan yang extraordinary karna ini menyangkut sosok yang mempersiapkan masa depan negara. Namun lagi pemerintah menutup mata ada hal yang lebih penting yang harus diurus ketimbang mengurusi kebutuhan guru yang tiada habisnya. Memang ada beberapa wilayah di Indonesia sudah memiliki kuasa hukum tersendiri untuk membela guru yang mengalami penganiayaan, pelecehan maupun penghinaan, namun apakah hal tersebut akan cukup ?
apakah dengan adanya badan hukum maupun kuasa hukum khusus untuk melindungi hak hak guru akan mengurangi kejadian tidak bermoral tersebut ?
Tidak sama sekali pelecehan terhadap guru akan tetap berlanjut ada atau tanpa kuasa hukum sekalipun, lalu bagaimana solusinya ?. Maka jikalau ditanya solusi kita harus kembali melihat permasalahan awalnya dimana, maka dengan begitu akan dapat mengangkat masalah ini sampai pada akar-akarnya sehingga tidak terulang lagi.
Posisi guru dalam Islam memegang peranan yg sangat penting karna guru sebagai ujung tombak maju atau tidaknya suatu negara, negara sebagai suatu lembaga wajib menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas tanpa membedakan perlakuan antara sikaya dan simiskin, pendidikan yang diselenggarakan oleh negara khilafah tidak hanya pendidikan yang berbasis ilmu dunia saja namun adanya keseimbangan antara ilmu dunia dan ilmu agama (akhirat), di sinilah sebenarnya inti permaslahannya. Pada rezim sekuler pemerintah mengkesampingkan ilmu agama (islam) bahkan terjadinya pemisahan antara agama dan kehidupan sehingga akhlak peserta didik maupun warga negara semakin merosot. Indonesia sudah sangat darurat terhadap masalah tak bermoral. Peserta didik atau siswa pada umumnya dituntut untuk mampu menguasai ilmu-ilmu eksak tanpa dibarangi dengan ilmu agama dengan tujuan agar nanti dapat bekerja di perusahaan besar bertaraf internasional dan menghasilkan gaji yang besar, tentu saja tujuan utama pendidikan di negeri sekuler ialah menghasilkan sebanyak-banyaknya uang. Sedangkan di negara khilafah tujuan diselenggarakannya pendidikan ialah selain memang tujuan utama menciptakan generasi-generasi yang memiliki pemikirinan cemerlang untuk membangun bangsa tujuan lain yang tidak kalah pentingnya ialah semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT. Sistem pendidikan negara Khilafah disusun dari sekumpulan hukum syara .
Hukum-hukum syara mempunyai dalil-dalil yang syar’i seperti adanya pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan. Pendidikan yang belandaskan dengan akidah islamiyah akan mencetak peserta-peserta didik yang memiliki pemikiran islam yang tentu saja akan jauh dari kata siswa yang tak bermoral dan tidak menghormati guru karna ia diajarkan sedemikian detail tentang tata cara maupun sopan santun dalam memperlakukan orang yang lebih tua darinya.