Nasib Buruk Pekerja Migran Indonesia, Kapan Berakhir?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Nasib Buruk Pekerja Migran Indonesia, Kapan Berakhir?

Ayu Sunarti

(Kontributor Suara Inqilabi)

Pekerja migran Indonesia banyak yang mengalami nasib buruk, ini adalah dampak dari ekonomi kapitalisme, buah dari kemiskinan dan susahnya mencari lapangan kerja di negerinya. Kemiskinan yang membuat rendahnya keterampilan para pekerja migran dan lapangan kerja yang tersedia juga tidak layak dan rentan dengan kekerasan.

Para ibu yang seharusnya menikmati perannya sebagai pengasuh anak-anak dan berkhidmad kepada suaminya, harus mengadu nasib di negeri orang. Inilah kondisi para perempuan Indonesia yang tidak lagi mendapatkan perlindungan dari suami dan negaranya.

Di tengah negeri yang gemah ripah loh jinawi, yang berlimpah sumber daya alamnya, malah rakyatnya kebanyakan menderita, kemiskinan dan lapangan pekerjaan yang sempit menjadikan pekerja migran bertambah banyak.

Banyak migran yang disiksa oleh majikannya bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Mariancekabu pekerja migran Indonesia asal NTT yang bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga hampir setiap hari dipukul majikannya, di tempel setrika yang panas, alat vitalnya dijepit dengan tang, lidahnya sobek, telinganya robek, dan tulang hidungnya patah.

Mariance tinggal di desa yang belum teraliri listrik, pergi ke Malaysia untuk mencari kerja, supaya bisa memberi uang jajan kepada anak-anaknya, ia menjadi pekerja migran ilegal karena ketidaktahuannya. Majikannya sering mengancam akan melaporkan ke polisi jika keluar rumah. Mariance kini terus mencari keadilan, majikan yang menyiksa tidak mendapat hukuman yang berat.

Berbeda dengan majikan Adelia, pekerja migran Indonesia pada tahun 2019, dibebaskan oleh pengadilan tinggi Pinang. Pada tahun 2018, Adelia ditemukan di beranda rumah majikannya dalam kondisi lemah, dan penuh luka hingga nyawanya tidak tertolong lagi. Ia termasuk salah satu dari 700 lebih pekerja asal NTT yang kembali dengan tidak bernyawa lagi. (BBC, 1-3-2023).

Menurut Harmono selaku Dubes RI untuk Malaysia, ada 5000 kasus yang menimpa PMI di Malaysia, di antaranya kasus penganiayaan, penyiksaan fisik, tidak dibayar gaji, mirisnya ini terjadi di saat permintaan pekerja terus meningkat di sektor rumah tangga. Mencapai 66.000 pekerja (Data KBRI Malaysia Februari 2023). Dan data tersebut berdasarkan yang melapor saja. Jauh lebih banyak yang tidak melapor. Kasus penganiayaan yang tidak tertangani, majikan yang jahat, yang lolos dari hukuman, dan para majikan di sana tidak segan menganiaya.

Menteri Ida Fauziah memberikan Permenaker 4/2023 tentang jaminan pekerja migran Indonesia menggantikan permenaker 18/2018. Ada penambahan jaminan sosial untuk meningkatkan perlindungan dan pelayanan bagi PMI dari risiko sosial, kecelakaan kerja, kematian, jaminan hari tua. Apakah PMI akan terjamin? Benarkah permenaker akan menjadi solusi atas kekerasan pekerja migran Indonesia? Ini bukan solusi.

Ada dua point, pertama kemiskinan akut yang menjadikan pekerja migran sangat rendah hanya bisa masuk di sektor-sektor pembantu rumah tangga dan proses migrasi ilegal karena ketidaktahuannya dan prosesnya yang mudah dan cepat. Bukan menyejahterakan, malah menjadi anggaran negara dan meraup pundi-pundi keuangan mereka yang bertitel “Pahlawan Devisa” tanpa perlindungan yang nyata dari negara. PMI akan terus dipelihara sebagai solusi perekonomian keluarga dan negara.

Kedua, Permenaker sejatinya menginformasikan fokus pada pemerintahan bukan melindungi warganya, dengan menyediakan lapangan kerja di negeri sendiri, agar tidak perlu menjadi PMI. Pemerintah memilih melindungi sektor ini sebagai sumber pemasukan negara supaya jangan sampai berkurang, dibuatlah undang-undang kerja diharapkan semua PMI tidak ada hambatan dalam bekerja. Dan pemerintah melakukan rekrutmen di daerah-daerah dengan tujuan menyelamatkan ekonomi, jangan sampai terekrut oleh agen ilegal.

Begitu juga Permenaker 4/2023 ini, bukan aturan baru terkait perlindungan pekerja migran. Sebelumnya ada undang-undang 18/2027 tentang perlindungan PMI dan Permenaker yang tidak ada solusi dalam mengatasi kekerasan terhadap PMI. Buktinya kasus kekerasan makin tinggi dan hanya fokus pada iuran yang wajib dibayarkan. Untuk terjaminnya perlindungan kerja, mengapa mereka harus ada iuran? Mengapa tidak dianggarkan dari negara untuk para pekerja pemerintah hanya fokus pada otak atik pemasukan negara.

Indonesia di mata negara lain sangatlah rendah, dan PMI yang rentan teraniaya. Kita lihat peradilan Malaysia dengan mudahnya membebaskan para majikan yang terbukti menganiaya dan Kedubes RI pun tidak bisa berbuat apa-apa terhadap keputusan hakim, yang sangat menzalimi para pekerja, ketika majikan yang menyiksa Adelia diputuskan bebas.

Karena alasan kemiskinan yang lahir dari sistem ekonomi kapitalisme yang nyata merampas hak rakyat dan tidak ada fungsi negara. Dalam mengurusi rakyatnya dan melegalkan sumber daya alam yang merupakan hak rakyat. Sehingga rakyat harus mengais rezeki di negeri orang.

Seandainya, pengelola SDA dikelola oleh negara, ekonomi negara akan selamat, juga ekonomi rakyat, sumber mata pencaharian akan terbuka. Saat ini penguasa malah menyerahkan semua pada asing, banjirnya tenaga kerja asing di tanah air terjadi saat angka pengangguran sangat tinggi. Dan sistem ini menyuburkan perdagangan manusia, karena kebebasan tanpa batas, manusia berkuasa atas manusia yang lainnya, nyawa manusia tidak berharga karena dianggap sebagai komoditas saja.

Oleh sebab itu, menghilangkan problem PMI ini, bukan sekadar melalui Permenaker, tapi harus ada upaya yang menyeluruh yakni mengganti sistem ekonomi kapitalisme menjadi sistem ekonomi Islam.

Islam menyejahterakan perempuan, sistem ekonomi yang mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya adalah Islam. Negara membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi para laki-laki. Dengan mengelola sumber daya itu sendiri dan hasilnya dinikmati oleh rakyat, lapangan kerja akan melimpah ruah, rakyat tidak perlu menjadi PMI. Kaum perempuan akan sejahtera di bawah naungan sistem Islam (Khilafah).

Khatimah

Kekerasan terhadap pekerja migran hanyalah satu dari sekian banyak persoalan yang tidak pernah terselesaikan selama sistem kapitalisme masih bercokol di negeri ini. Mengubah bukan dengan undang-undangnya, melainkan dengan mengubah sistem menjadi sistem Islam.

 

Wallahu’alam bishshawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *