Oleh : Aena Soleha S.Pd (Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
(QS. Al Maidah : 87).
Dilansir dari Jakarta, CNN Indonesia — Ramainya kabar soal Aisha Wedding telah memicu fenomena gunung es di Indonesia soal perkawinan di bawah umur atau pernikahan dini.
Sejatinya, pernikahan di Indonesia telah ditentukan batas bawah usianya baik perempuan dan laki-laki pada UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Namun, fenomena pernikahan dini itu masih terjadi dengan syarat ada dispensasi atau keringanan berkaitan dengan adat dan keyakinan atau agama.
Atas dasar itu, Ketua pengurus asosiasi lembaga bantuan hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Nursyahbani Katjasungkana mengatakan persoalan dispensasi atau keringanan batas minimal usia pernikahan yang diberikan Kantor Urusan Agama (KUA) harus diusut.
“Karena orang tua setuju dan KUA memberikan dispensasi, saya kira soal dispensasi oleh KUA ini mesti diusut betul,” kata Nursyahbani dalam Konferensi Pers Respons Terhadap Kasus Promosi Perkawinan Anak, Kamis (11/2) yang digelar secara virtual.
Melihat fakta di atas terkait memudahkan pernikahan bukan hal yang harus dipersoalkan. Masih banyak hal lain yang perlu diusut lagi atas banyaknya perceraian di negeri ini. Bukan malah membuat narasi yang tidak sesuai kebenarannya.
Tidak puas menikam Islam dari narasi teorisme, ekstrimisme, radikalisme, poligami dan nikah siri. Kini penyerangan yang dilakukan oleh orang sekular terkait dengan pernikahan dini pun sedang terjadi. Pernikahan dini dianggap sebagai kriminal. Padahal yang lebih bahaya adalah ketika anak dilarang menikah namun syahwatnya mengepung. Perzinahan pun tak bisa dibendung.
Orang-orang sekular memprovokatif para Muslimah di luar sana dengan narasi pernikahan dini penyebab utama terjadinya banyak perceraian. Anak yang menikah di bawah usia 16 tahun sering digadang-gadangkan belum dewasa hingga rentan dengan perceraia ataupun merenggut hak anak. Padahal orang yang menikah di usia yang sudah ditentukan atau sesusai undang-undang pun banyak yang bercerai.
Pernikahan dini halal meski status hukumnya mubah. Perlu disadari apabila seorang laki-laki siap menikah maka tidak boleh ditahan atau dilarang. Bahkan menikahi perempuan yang belum haid pun dibolehkan. Hukum menikah itu sah dan tidak haram. Namun syara’ hanya menjadikan hukumnya sebatas mubah atau boleh saja. Tidak kemudian menjadikannya sebagai anjuran maupun sunnah bahkan wajib.
Di sistem saat ini, banyak orang yang siap menikah namun sulit dengan berbagai alasan. Baik alasan karena ekonomi maupun alasannya masih di bawah umur. Apabila anak tidak tahan dengan syahwatnya maka timbulah perzinahan. Kemudian merambak pada hamil di luar nikah. Demi menutupi aib keluarganya, barulah di saat itu mau menikahkan anaknya. Bahkan ada anak yang tidak berani diketahui orang tuanya, kemudian pacarnya tidak mau bertanggung jawab. Perempuan hanya punya dua pilihan antara aborsi atau melahirkan sendiri. Kemudian anaknya yang tidak berdosa dibuang bagai anak kucing.
Beginilah jika hidup di sistem kapitalisme. Syariat ditolak, kemaksiatan dibiarkan. Sesuatu yang halal dilarang kemudian yang haram dibiarkan menyebar. Syariat dibuat seolah-olah sangat menakutkan dan merugikan padahal mempersulit pernikahan pun lebih berbahaya dari pada pernikahan dini. Kalau seseorang sudah merasa mampu menikah maka tidak baik untuk menahan dan menunda niat baiknya. Menikah itu bagian dari ibadah. Islam pun tidak membolehkan seseorang untuk tidak menikah.
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah.” (HR. Bukhari).
Para ulama menjelaskan tentang usia yang dikatagorikan pemuda yaitu menurut ulama Syafi’iyah, batas dikatagorikan pemuda adalah berumur sampai 30 tahun. Menurut Imam Al Qurthubi Az-Zamakhsyari, menyebut pemuda dari 16 tahun sampai 32 tahun lebih dari itu disebut tua. Menurut Imam An- Nawawi, seseorang disebut pemuda ketika baru balig sampai usia 30 tahun. Jadi makna kata mampu dari hadis di atas adalah cukup bekal menikah berupa ilmu, kemampuan menafkahi dan kesehatan fisik.
Sedangkan anak perempuan yang menikah namun belum balig tidak menjadi masalah. Menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya Al-Iklif fi Istinbath At-Thanzin hlm. 212 mengutip pendapat Ibnu Arabi, yang mengatakan, “Diambilah pengertian dari ayat itu, bahwa seorang (Wali) boleh menikahkan anak-anak perempuannya yang masih kecil. Sebab iddah adalah cabang dari pada nikah.”
Allah Swt, berfirman yang artinya,
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.”
(QS. Ath-Thalaq : 4).
Jika kita kembali mengingat kisahnya Rasulullah dan Aisyah ra, tentu kita akan percaya dengan bolehnya menikah walaupun belum haid. Hadist dari Aisyah ra, “Bahwa Nabi Saw. telah menikahi Aisyah ra sedang Aisyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat Aisyah berumur 9 tahun, dan Aisyah tinggal bersama Nabi Saw, selama 9 tahun.” (HR. Bukhari, hadis no 4738).
Dalam riwayat lain juga disebutkan,
“Nabi menikahi Aisyah ra ketika Aisyah berumur 7 tahun dan Nabi Saw. berumah tangga dengan Aisyah ketika Aisyah umurnya 9 tahun.” (HR. Muslim, hadis no 2549).
Menurut Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar (9/480) menyimpulkan dari hadis di atas, bahwa boleh hukumnya seorang ayah menikahkan anaknya yang belum baligh.
Dalam sistem Islam pernikahan dimudahkan. Bekal ilmu, pekerjaan, dan fisik pun tentu sudah disiapkan dengan baik. Jika ada pemuda yang siap menikah namun tidak memiliki biaya, di sanalah peran negara untuk memudahkan rakyatnya. Pernikahan dalam sistem Islam sangat diapresiasi dengn baik. Sebab, keberlangsungan umat untuk meneruskan generasi tentu dengan pernikahan.
Berbeda dengan sistem kapitalisme saat ini. Banyak pemuda yang sudah berumur di atas 30 tahun masih sibuk mengejar karir, banyak pemuda yang takut menikah dikarenakan biaya pernikahan tinggi. Akhirnya banyak pemuda melampiaskan syahwatnya belum menikah (halal) namun sudah bermaksiat dengan pacarnya. Bahkan pelaku maksiat atau pezina tidak dihukumi sesuai Islam melainkan ketika ketahuan berzina, hukumannya hanya akan dinikahkan. Karena tidak diterapkanya sanksi secara Islam tentu tidak ada titik jera dalam melakukan kemaksiatan.
Umat Islam seharusnya sadar dengan provokatif orang-orang sekular terkait pernikahan dini. Pernikahan dini bukan hal yang dilarang dalam Islam dan bukan juga disunnahkan ataupun diwajibkan. Namun, perlu diketahui bahwa perceraian terjadi faktor utamanya bukan karena menikah di bawah umur melainkan karena sistem yang digunakan saat ini tidak mampu menyelesaikan permasalahan umat. Kebanyakan orang bercerai karena faktor kurangnya ekonomi, kurangnya ilmu agama yaitu bagaimana caranya menjalankan pernikahan dengan baik. Kemudian orang kaya juga tidak dijamin bertahan rumah tangganya, karena terlalu menyibukan diri sama-sama bekerja, istri lalai akan kewajiban untuk anak dan suaminya. Tertukarnya kewajiban istri dan suami yang di mana istri bekerja di luar rumah, suami yang berdiam diri mengurus rumah. Banyak pula anak yang merasa kurang kasih sayang dari orang tuanya. Anak tidak hanya butuh fasilitas untuk kehidupannya namun yang terpenting anak butuh figur kedua orang tuanya.
Selama sistem kehidupan ini jauh dari penerapan Syariah dan Islam kaffah maka selama itu pula kehidupan ini tidak akan berkah. Baik urusan rumah tangga sampai urusan bernegara. Sistem Islam sudah mengatur kehidupan sedemikian rupa. Apabila sistemnya diterapkan jangankan masalah pernikahan, kehidupan hewan pun diurus oleh Daulah Khilafah. Salah satu contohnya yaitu kucing liar, tidak ada yang kurus ketika sistem Islam sebagai poros kehidupan. Kehidupannya pun dilindungi dan tidak boleh dipukuli atau disakiti. Islam sistem paling sempurna untuk kebaikan dunia hingga ke akhirat.
Mengingat kembali kisah Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu tentang jalan berlubang di Irak. Amirul mukminin Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu yang terkenal tegas dan tegar dalam memimpin kaum muslimin tiba-tiba menangis, dan kelihatan sangat terpukul. Informasi salah seorang ajudannya tentang peristiwa yang terjadi di tanah Iraq telah membuatnya sedih dan gelisah. Seekor keledai tergelincir kakinya dan jatuh ke jurang akibat jalan yang dilewati rusak dan berlubang. Melihat kesedihan khlalifahnya, sang ajudan pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, bukankah yang mati hanya seekor keledai?” dengan nada serius dan wajah menahan marah Umar bin Khattab bekata: “Apakah engkau sanggup menjawab di hadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?”
Dalam redaksi lain pun Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Ta’ala, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’
Begitulah kepemimpinan para khalifah di dalam Daulah Khilafah. Seorang khalifah atau pemimpin negara tidak hanya mengurusi masalah umat manusia melainkan masalah binatang pun diperhatikan. Satu hal yang tidak membuat pemimpin maupun bawahannya bermaksiat yaitu karena taat pada hukum syara’.
Wallahu’alam bi ash-ashawab