Oleh: Ummu Brilliant (Komunitas Setajam Pena)
Di tengah kondisi yang belum stabil dan terkendali akibat pandemi virus corona, kembali rakyat dikejutkan dengan kebijakan yang menyayat hati. Seolah kehabisan kata tuk ungkap segala rasa. Ya, rasa yang harus ditanggung rakyat jelata ketika terjadi bencana. Dimana negara tak lagi peduli rakyatnya. Berkecamuk dalam dada, bercampur aduk rasa yang ingin diungkap rakyat semua. Mulai dari rasa cemas, khawatir, takut terpapar virus, yang sampe kini belum ada obatnya. Panik, bingung bagaimana memenuhi kebutuhan perut. Sedang untuk mencari rupiah kian sulit dan dibatasi. Hingga tetek bengek kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi. Biaya tagihan listrik, air, BPJS, telepon, sembako yang semuanya mengantri untuk dilunasi. Inilah fakta masa sulit yang terjadi pada masyarakat saat ini.
Disisi lain, para tenakes atau tenaga kesehatan tengah berjuang dengan sepenuh hati, bahkan bertaruh nyawa saat merawat pasien yang terinfeksi. Mereka mendapat perlakuan diskriminasi dari publik. Mulai dari dikucilkan, diusir dari kost, hingga jasad yang tidak diterima oleh warga. Andai mereka tahu bahwa tenakes dalam bekerja pun minim amunisi. Perih, sedih tak terkira. Rakyat menanti uluran penguasa negeri. Bagaimana menyikapi kondisi yang sulit ini. Berharap kebijakan yang diambil dengan sepenuh hati menaungi negeri.
Namun apalah daya, saat kondisi seperti ini melanda, harusnya penguasa dengan segala tenaga dan upaya mengatasinya. Tapi malah membuat kebijakan yang semau gua. Ibarat panggang yang jauh dari api. Seperti diberitakan kumparan news (09/04/2020), Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) mengenai pembebasan napi demi mencegah virus corona di penjara. Sejak Kepmen tersebut diterbitkan pada 30 Maret, hingga kini sudah 35 ribu lebih narapidana yang bebas dengan program asimilasi dan integrasi. Meski demikian pembebasan besar-besaran tersebut menimbulkan kekhawatiran ditengah masyarakat. Sebab napi yang dibebaskan dikhawatirkan kembali berbuat kejahatan.
Seperti di Bali, pria bernama Ikhlas alias Iqbal (29) yang dibebaskan pada 2 April. Ia kembali ditangkap pada 7 April karena menerima paket ganja seberat 3 kg. Lalu di Sulawesi Selatan (Sulsel), seorang pria bernama Rudi Hartono harus kembali mendekam dalam penjara karena hendak mencuri di rumah warga. Selanjutnya di Blitar, seorang pria berinisial MS ditangkap dan babak belur diamuk massa, setelah kepergok mencuri motor warga. MS dibebaskan pada 3 April dan ditangkap 3 hari kemudian.
Hal ini membuktikan bahwa di berbagai daerah terdapat napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana. Padahal Ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di rumah. Pemerintah juga tidak menyiapkan sejumlah perangkat regulasi untuk mengeliminasi dampak kebijakan pembebasan napi. Dari sini semakin jelaslah bagaimana bobroknya sistem kapitalis demokrasi yang dianut negeri tercinta ini. Dalam hal ini, ketidakmampuan negara mengurusi rakyat serta menjamin rasa aman dalam setiap kondisi dipertanyakan lagi. Nampak sekali mengambil kebijakan yang salah kaprah tanpa hati nurani.
Berbeda dengan Islam ketika seluruh aturannya diterapkan dalam bingkai negara. Tatkala hukum dipandu dengan syariat Islam, para pejabat pada masa khilafah akan mempunyai sifat dan karakter yang baik. Mereka dengan sigap dan tepat mengambil kebijakan sesuai situasi dan kondisi. Diantaranya memberikan rasa aman kepada masyarakat, dengan menerapkan hukum had atas orang-orang fasik dan berbuat dzalim. Hukum dalam Islam mempunyai dua efek sekaligus. Memberikan efek jera sekaligus sebagai penebus dosa di dunia. Hingga keamanan, kenyamanan serta kesejahteraan menaungi seluruh rakyatnya. Kini saatnya kita berpaling dari sistem yang rusak dan merusak ini kepada sistem yang membawa rahmat untuk seluruh alam semesta. Yaitu sistem Islam yang bersumber dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Wallahu’alam bishowab.