Nalar Cacat Rezim Demokrasi Menyikapi Aspirasi Publik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Irayanti (Pemerhati Sosial Politik Kendari)

Nalar rezim saat ini semakin cacat. Di tengah mewabahnya virus corona di berbagai negara, pemerintah malah berencana mengucurkan dana sebesar Rp 72 miliar untuk membayar para influencer. Bayaran ini diharapkan mampu menangkal dampak virus corona terhadap sektor pariwisata. Sungguh aneh solusi yang diberikan oleh rezim saat ini. Miris.

Aspirasi Publik vs Aspirasi Kelompok

Gencarnya penolakan oleh masyarakat/publik akan kehadiran turis di Indonesia sebagai upaya pencegahan virus corona ternyata diabaikan oleh rezim. Pemerintah malah berencana akan mengucurkan dana sebesar Rp 72 miliar untuk membayar para influencer. Influencer adalah orang yang bisa memberi pengaruh di masyarakat. Di era ini, influencer banyak berseliweran di media sosial seperti para youtuber, selebgram, beautyblogger dan sebagainya.

Alih-alih mendengar aspirasi publik, rezim saat ini kerap mengundang relawan atau pendukung dari kelompoknya dalam keputusan politik negara. Hal ini menunjukkan sikap rezim yang bias.

Direktur Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah Putra, mengatakan sikap Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang kerap mengundang relawan atau pendukungnya untuk bicara keputusan politik penting menunjukkan tidak menghormati pimpinan-pimpinan formal, seperti staf ahli atau menteri terkait. Selain itu, kata dosen komunikasi Universitas Telkom ini, sikap Jokowi itu menunjukkan ia tidak memerintah dengan sistem yang baik. Tetapi lebih pada keputusan-keputusan parsial yang dia hasilkan dari relawan. Jika diteruskan, hal ini dianggap sangat mengganggu laju pemerintahan. Penulis buku Media dan Politik ini menuturkan pasca pemilihan presiden, kelompok relawan seharusnya sudah tidak ada lagi. Jokowi seolah bias identitas, tidak dapat membedakan dirinya sebagai Presiden untuk seluruh anak bangsa, atau hanya untuk tim pemenangannya, sangat disayangkan. Bahkan staf khusus milenialnya yang digaji sangat besar pun tidaklah ada gunanya.

Lumrahnya Demokrasi

Secara logika, terbukanya ruang bagi turis datang ke Indonesia, akan memperbesar peluang tersebarnya virus. Sejumlah pihak mulai dari peneliti Harvard sampai dengan WHO mengatakan curiga dan ragu jika Indonesia bebas corona. Alhasil beberapa hari yang lalu 2 WNI positif corona. Seakan mengonfirmasikan bahwa pemerintah abai terhadap aspirasi publik untuk mencegah corona.

Demi mempertahankan eksistensi dihadapan rakyat, pemerintah lebih banyak menarik aspirasi dari kelompok pendukungya dan memberikan fasilitas agar program pemerintah seolah berjalan maksimal dengan dukungan opini dari kelompok tersebut. Alhasil, kebijakan pemerintah membayar influencer untuk mendatangkan turis ke Indonesia untuk berpariwisata akan nampak positif karena diopinikan sedemikian baiknya oleh pendukungnya. Padahal, negara lain sedang menutup pintu untuk turis ke negaranya agar mencegah corona. Sedangkan kelompok yang kritis dengan kebijakan tersebut akan dipinggirkan dengan tuduhan anti pemerintah, anti NKRI dan anti Pancasila.

Rezim yang berkoar “jangan panik dengan corona” pun sekarang menanggung kepanikan sendiri akibat nalar dan pengabaiannya terhadap aspirasi publik, hal ini terlihat dari pengawasan dan pemeriksaan ketat yang dilakukan saat para menteri dan staf lain memasuki istana presiden. Sungguh hal yang amat tidak adil. Jika saja pemerintah mau mendengarkan aspirasi publik dan tidak mementingkan kepentingan devisa akibat adanya wisatawan, kepanikan tersebut tidak akan terjadi.

Beginilah realitas rezim di alam demokrasi yang kental asas kapitalismenya, rakyat hanya akan dijanji, dibohongi sedemikian rupa serta hanya akan mementingkan kepentingan dan suara dari kelompok pendukungnya. Sangat berbeda dengan pemerintahan islam dalam menyikapi aspirasi publik.

Khilafah Menyikapi Aspirasi

Dalam pemerintahan Islam (khilafah), mengoreksi seorang pemimpin atau khalifah adalah sebuah kewajiban. Islam mengingatkan pentingnya mengingatkan kezaliman penguasa meskipun beresiko. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya.” (HR. Abu Dawud)

Dan didalam sistem Islam terdapat majelis umat dan mahkamah mazhalim Majelis umat tidak memiliki kekuasaan legislasi seperti lembaga perwakilan pada sistem demokrasi. Namun demikian, anggota majelis dapat menyuarakan aspirasi politiknya secara bebas tanpa dibayangi ketakutan terhadap sikap represif penguasa. Anggota dari majelis inipun bukan hanya orang Islam saja tetapi perwakilan dari agama lainnya yang hidup dalam negara Islam.

Sedangkan mahkamah mazhalim adalah hakim yang akan menyelesaikan perkara antara penguasa dengan rakyatnya. Sehingga rakyat yang merasa dizalimi oleh penguasa boleh mengadukan perkaranya. Hakim dalam mahkamah ini secara berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai syariah. Di sisi lain individu warga negara maupun partai politik yang melakukan koreksi terhadap penguasa bukan saja boleh mengoreksi tetapi wajib, sebagaimana dalam firman Allah Subhana Wa Ta’ala:
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali ‘Imran: Ayat 104)

Kaum muslimin pun harus tahu, mengoreksi atau mengkritisi penguasa saat ini yang tidak berhukum dengan hukum syara bukanlah membuka aib penguasa. Namun, mengingatkan kepada mereka bahwa selaku hamba ciptaan Allah maka haruslah berhukum dengan aturan-Nya bukan aturan buatan manusia yang syarat akan kepentingan.

Penguasa saat ini pun anti kritis bahkan cenderung mengkriminalisasi para pengkritisinya maka yang perlu kita renungi sesungguhnya mereka bekerja untuk siapa, rakyat ataukah kelompoknya dan konglomerat? Hanya kembali pada sistem Islamlah setiap kejadian disikapi dengan nalar yang disesuaikan dengan hukum syara.

Wallahu ‘alam bi ash showwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *