Muslim Rohingya Butuh “Junnah” Perisai

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: St. Rajma Nur, S.Pd (Pemerhati Sosial dan Komunitas Revowriter)

 

Air mata pengungsi Rohingya belum juga mengering. Etnis Rakhine yang oleh PBB disebut “Minoritas paling teraniaya di dunia” ini sekarang  harus dihadapkan pada relokasi dari camp ke pulau terpencil.  Pemerintah Bangladesh menyatakan tidak membawa satu orangpun ke pulau itu tanpa persetujuan . Namun beberapa pengungsi menyampaikan kepada Reuters bahwa nama mereka muncul dalam list tanpa persetujuan awalnya.

Sekilas tetang pulau Bhasan Char. Pulau yang menjadi tujuan relokasi ini adalah terletak 60 km dari daratan utama Bangladesh. Muncul ke permukaan laut kurang dari 20 tahun lalu. Ketinggian tanahnya kurang dari dua meter di atas permukaan laut. Materi tanahnya adalah tanah lempung, berasal dari sedimen Himalaya yang dibawa sungai ke laut.

Dengan biaya US$350 juta atau Rp5,1 triliun, pemerintah Bangladesh menghabiskan tiga tahun membangun kota baru di pulau terpencil ini. Tujuan mereka adalah merelokasi lebih dari 100.000 pengungsi ke pulau tersebut guna meredakan ketegangan di kamp-kamp pengungsian di Cox’s Bazar. Pembangunan 1.440 rumah dan tembok penahan gelombang laut mulai dilakoni pada 2018. (dikutip dari BBC 30/10/20)

Meskipun Bhasan Char diklaim oleh otoritas Bangladesh sebagai pulau yang lebih layak huni dengan beberapa fasilitas yang sudah dibangun. Namun bagi pengungsi Rohigya, ini sama saja mengirimkan mereka ke sebuah penjara besar. Terpencilnya pulau itu dari kota utama Bangladesh juga rawan terdampak cuaca ekstrem seperti angin topan.

Terlebih lagi  Amnesty Internasional merilis laporan tentang kondisi yang dihadapi 306 penghuni awal pulau tersebut. Yaitu, kondisi kehidupan yang tidak higienis, terbatasnya fasilitas makanan dan kesehatan, serta kasus-kasus pelecehan seksual oleh TNI AU dan dan pekerja lokal yang melakukan pemerasan.

Nation State diatas ukhuwah Islamiyah

Konsep “nation state” (negara bangsa) semakin mempersulit negara-negara lain untuk menolong warga muslim Rohingya, padahal kondisi mereka saat ini sudah sangat memprihatinkan. Indonesia dan Malaysia adalah negara yang secara tidak langsung menolak menerima pencari suaka Rohingya.

Tercatat pada akhir Juni 2020, 99 pencari suaka Rohingya tiba di pesisir Aceh dengan menggunakan kapal setelah terombang-ambing di lautan selama lebih dari 120 hari. Saat pihak berwenang sibuk mempertimbangkan apakah akan mengizinkan para pencari suaka untuk mendarat, justru nelayan setempatlah yang terlebih dulu mengambil inisiatif untuk menolong.

Sementara Malaysia, yang sebelumnya menoleransi kedatangan ribuan pencari suaka Rohingya dan mengkritik persekusi yang dilakukan Myanmar tersebut, sekarang mengklaim bahwa ada “harapan yang tidak adil” terhadap Malaysia untuk membantu para pengungsi Rohingya di tengah kekhawatira akan pandemi. Negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara lainnya juga menunjukkan keengganan yang sama untuk membantu.

 

Nyatanya batas teritorial negara membuat rasa kemanusiaan mati bahkan ukhuwah negara mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia tak membuatnya bergeming untuk menegakkan ukhuwah islamiyah pada saudaranya muslim Rohingya.

 

Sekat sekat kebangsaan membuat lupa bahwa muslim adalah satu tubuh.

sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan baik (sakit) demam dan tidak bisa tidur.” (HR Bukhari-Muslim)

Rohingya Butuh “Junnah” Perisai

Menggantungkan harapan pada PBB untuk menuntaskan permasalahan Rohingya hanya akan menuai kekecewaan. Nyatanya PBB tak mengambil tindakan yang tegas pada pemerintahan Myanmar. Begitu pun apa yang dilakukan UNHCR (The United Nations High Commissioner for Refugees) dan HRW (Human Right Watch). Lembaga ini hanya mampu menjadi penghasil konvensi yang tak memberikan solusi tuntas terhadap permasalahan Rohingya.

Tak ada yang bisa menghapus airmata muslim Rohingya kecuali kembalinya perisai Ummat yakni dibawah Institusi Daulah. Negara yang menerapkan Islam sebagai aturan yang meyeluruhlah yang akan melindungi darah seluruh kaum muslimin, melindungi mereka dari segala bentuk penindasan terutama dari kaum kafir.

“[Imam/Khalifah itu tak lain] laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” (HR Bukhari-Muslim)

Makna, al-Imâm Junnat[un] [Imam/Khalifah itu laksana perisai] dijelaskan Imam an-Nawawi:

أَيْ: كَالسَّتْرِ؛ لأَنَّهُ يَمْنَعُ اْلعَدُوَّ مِنْ أَذَى المُسْلِمِيْنَ، وَيَمْنَعُ النَّاسَ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ، وَيَحْمِي بَيْضَةَ الإِسْلاَمَ، وَيَتَّقِيْهِ النَّاسُ وَيَخَافُوْنَ سَطْوَتَهُ.

“Maksudnya, ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang [menyakiti] kaum Muslim. Mencegah masyarakat, satu dengan yang lain dari serangan. Melindungi keutuhan Islam, dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekuatannya.”

Di bawah naungan Institusi Daulahlah, 1,8 miliar umat Islam bisa bersatu dan menjadi kuat, sehingga perlindungan terhadap harkat dan martabat umat Islam di berbagai wilayah termasuk muslim Rohingya dapat diwujudkan secara nyata (Wallahu a’lam bishowab).

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *