Oleh Alfiyah Kharomah., STr. Kes (Anggota Revowriter Jawa Tengah)
Kabar tidak menyenangkan datang dari neger Bollywood. Sungguh menyesakan dada, ketika mendengar saudara sesama muslim dibantai di sana dalam sebuah kerusuhan. Kerusuhan berbau agama ini sungguh mengerikan. Dilansir dari berita Sindo News, 29 Februari yang lalu, jumlah korban tewas dalam konflik umat Muslim dan Hindu di India bertambah dari 38 menjadi 42 orang. Kekerasan itu membuat pemerintah India menuai kecaman Internasional, karena gagal melindungi minoritas umat muslim.
Konflik antara kelompok Muslim dan Hindu itu bermula dari protes damai kelompok Muslim terhadap Citizen Amandement Act (CAA) atau Undang-Undang Perubahan Kewarganegaraan. Protes damai kelompok Muslim penentang CAA berubah menjadi kerusuhan ketika kelompok Hindu garis keras pendukung CAA menyerang demonstran Muslim dan membakar Masjid Ashok Nagar di New Delhi.
CAA yang memicu demo besar-besaran itu diusulkan pemerintah nasionalis Hindu pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi pada bulan Desember 2019. CAA mengamanatkan pemberian kewarganegaraan India untuk enam kelompok agama dari negara-negara tetangga. Namun, undang-undang itu tidak berlaku bagi migran Muslim.
Namun, sayangnya, Sebagai presiden dengan mayoritas umat muslim, Presiden Jokowi diam. Pengamat politik dan sosial Muhammad Yunus Hanixs dalam pernyataan kepada suaranasional, Ahad (1/3/2020). “Jokowi harusnya menunjukan rasa solidaritas muslim India.”, Ungkapnya. Kata beliau, Indonesia seharusnya bisa menggunakan pengaruhnya di dunia Internasional mengecam pembantaian muslim di India.
Saudara muslim di India diserang tak lain karena kemuslimannya. Sementara itu ormas Islam dan penguasa muslim masih bersikap basa-basi. Sikap ini jauh dari sikap pembelaan utuh sebagai sesama muslim. Mereka takut akan kehilangan manfaat dari negara-negara barat.
Sebelum tragedi kerusuhan berbau agama di India, banyak kasus pembantaian serupa yang terjadi. Kita tak boleh melupakan bagaimana perlakuan pemerintah myanmar terhadap saudara kita di rohingya, pemerintah China terhadap Uighur, pemerintah Zionis terhadap Palestina, pemerintah Assad pada rakyatnya sendiri di Suriah dan banyak kasus lainnya yang korbannya selalu umat muslim.
Ini semua karena kaum muslimin tak memiliki perisai, yakni Khilafah. Mereka membutuhkan tentara yang membela. Melawan. Menjaga darah-darah mereka. Mereka tak butuh pernyataan sikap basa-basi. Atau kata-kata bijak yang mengatasnamakan toleransi.
Tentu saja, malapetaka yang datang bertubi-tubi kepada kaum muslimin di seluruh dunia adalah karena tak adanya Khilafah sejak diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Pasha pada 3 Maret 1924 atas konspirasi barat. Kejayaan Islam yang sudah berdiri tegak selama 13 abad dan telah mengayomi 2/3 benua telah dihancurkan. Lord Allenby dengan tegas mengatakan: “Baru sekaranglah Perang Salib telah berakhir”. Memang benar, tujuan Perang Salib adalah mengalahkan umat Islam, dan menghancurkan kekuatan mereka. Kekuatan umat ini, seperti kata Lord Curzon, Menlu Inggris saat itu, terletak pada Islam dan Khilafah. Maka, mega proyek mereka adalah menghancurkan Khilafah, dan menjauhkan Islam dari kehidupan umatnya.
Sejak itu, kaum muslimin tak memiliki kekuatan dan pelindung. Sejak itu, problem kaum muslimin kian menggunung dan tak memiliki solusi. Kaum muslimin seperti buih di lautan, tercerai berai dan terombang-ambing oleh kekuatan rezim yang tak menginginkan Islam bangkit.
Adalah tanggung jawab seluruh umat untuk mengingat peristiwa keruntuhan Khilafah dalam rangka menyadari urgensitas keberadaannya. Kemudian menjadi kewajiban seluruh umat pula untuk mewujudkan kembali institusi pelindung umat tersebut. Dan dengan demikian, seluruh hukum-hukum Islam diterapkan dalam kehidupan dan menjadi pemecah segala permasalahan umat di dunia. Maka, sebagai umat terbaik, kaum muslimin sudah selayaknya untuk mempersembahkan waktu, tenaga, harta, jiwa dan raganya bagi tegaknya perisai umat tersebut. Wallahu ‘alam Bisshawab