Oleh: Syarifa Ashillah (member Revowriter dan pemerhati politik dan sosial)
Kabar tidak mengenakkan datang dari negeri anak benua, India. Telah terjadi bentrok antara Muslim dan Hindu, pada Minggu 23/2/2020 dipicu protes Undang-Undang kewarganegaraan yang dinilai diskriminatif dan disebut Undang-undang Anti muslim (CNBC.Indonesia)
UU kontroversial dari Parlemen India oleh partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) dan diratifikasi oleh Presiden Ram Nath Kovind pada 12 Desember lalu mengundang pro kontra. Bagaiamana tidak India memberikan status kewarganegaraan kepada imigran dari negara tetangga yang sedang konflik seperti Bangladesh, Pakistan dan Afghanistan namun status itu tidak di berikan untuk orang-orang yang memeluk Islam. Hanya untuk Kristen, Hindu, Sikh dan agama lainnya selain islam.
Regulasi itu memicu aksi massa namun berujung bentrok. Dari laman media lokal India Pada Kamis, (5/3/2020), sebuah laporan menyebutkan bahwa jumlah korban tewas meningkat menjadi 53 jiwa, ratusan orang luka-luka. Selain menelan korban, rumah, toko, masjid, sekolah,dan satu pom bensin tak luput sasaran amukan massa.
Kerusuhan yang terjadi kemarin bukan kali pertama meledak di negara Barata ini. Jika merunut ke bekalang, konflik horizontal antar dua kelompok agama di India telah lama berakar tanpa penyelesaian berarti.
Beberapa kali ledakan bentrok pecah
Pertama kali kerusuhan skala besar terjadi pada 13 Januari 1964 di Kalkuta. Yang menewaskan 100 warga Muslim tewas dan 438 luka-luka. Sementara, 70 ribu warga Muslim lainnya yang menjadi tunawisma sebagai imbas pengeroyokan, penusukan, pemerkosaan, hingga pembakaran oleh massa anti-Islam.
Selanjutnya Kerusuhan besar Muslim-Hindu berikutnya terjadi di Gujarat September-Oktober 1969. Kerusuhan itu menewaskan 24 warga Hindu dan 430 muslim. Kerusuhan tak kalah besar kembali terjadi kali itu di Desa Nellie, Assam pada 18 Februari 1983, sebanyak 2.191 jiwa melayang. Lalu kerusuhan kembali pecah di Bhalgapur , 6 Desember 1992 Sekira 900 orang tewas akibat kerusuhan itu.
kemudian terjadi lagi pada tahun 2002. Saat kerusuhan terjadi selama dua bulan lamanya di Gujarat, dengan melibatkan konflik agama yang dikenal paling signifikan terjadi di negara tersebut, yaitu Hindu dan Muslim. Dalam kerusuhan yang terjadi di negara bagian India itu, lebih dari 1.000 warga Muslim tewas. (Republika.co.id)
Secara garis besar kekerasan yang terjadi bernuansa SARA. Di serang karena identitas muslim yang melekat pada diri mereka.
“Jika seseorang memiliki janggut atau berpenampilan Muslim, mereka meminta orang membuka celana mereka dan membuktikan bahwa mereka Hindu,” kata seorang aktivis sosial (Republika.co.id).
Mereka meminta orang-orang untuk menunjukkan kartu identitas mereka, jika ada orang Muslim, mereka akan menghabisi nyawanya. Orang-orang Hindu mendominasi dan mengklaim kepemilikan ruang publik mereka meneriakkan slogan Hindu ‘Jai Shri Ram’ dan menyuruh orang-orang muslim pergi dari rumah jika tidak, mereka akan membakarnya. Kehadiran polisi tak mampu menyelesaikan kondisi yang panas.
India dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi yang berasal dari partai Bharatiya Janata Party terus membangun suasana ‘horor’ untuk minoritas Islam di sana. Padahal klaim pemerintah India mereka adalah negeri sekuler yang menghargai perbedaan namun jauh panggang dari api. Nyatanya serangan terus di lancarkan karena di belahan dunia sedang terjangkit islamophobia.
Di saat yang sama kenyataan pahit harus di terima pemimpin negeri-negeri muslim hanya kecaman yang di berikan, pemimpin-pemimpin ini tidak menengok dari kejadian lampau apakah dengan kecaman penindasan muslim minoritas dapat terselesaikan.
Sedang Amerika yang merupakan pahlawan HAM melalui PBB. Tidak melakukan investigasi dan menindak segala pelanggaran HAM agar tercipta suatu keadaan yang kondusif di India . Bahkan Donald Trump yang berkunjung ke India pada saat kejadian tak membahas mengenai pertikaian tersebut Presiden Amerika itu malah memuji pemerintahan Narendra Modi. Sedang Indonesia pada tanggal 24/02/2020 menggelar sidang dewan HAM di Jenewa. Indonesia berinisiatif menggelar side event mengenai Konvensi HAM PBB tentang Antipenyiksaan (Convention Against Torture Initiative/CTI). Namun tak membahas India, sungguh tak sejalan dengan visinya.
Inilah kondisi kaum muslimin saat ini ketika mereka minoritas di suatu negeri maka akan didera, disiksa, diperkosa, di genosida, di nista bahkan di paksa keluar dari agamanya seperti yang terjadi di etnis Iugyur (China), etnis Rohingya (Myanmar), Suriah, Aleppo,, Palestina dan negeri lainnya. Di saat yang sama ketika muslim menjadi mayoritas di suatu negeri dan ingin menerapkan syariat islam para penggiat HAM meneriaki mereka dengan radikal, intoleran bahkan teroris.
Inilah potret buram ketika kaum muslimin tidak punya pemimpin (khalifah) yang sejatinya memiliki dua fungsi utama yaitu pelindung dan penjaga sesuai dengan hadis Rasulullah “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).”
“Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Imam (Khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.
Torehan sejarah mencatat selama 13 abad lamanya islam berjaya dalam naungan khilafah menjamin kebebasan beragama, semua pemeluk agama baik ahlul kitab ataupun musyrik akan mendapatkan perlindungan dan tak akan dizalimi.
Saat ini setiap negara di bangun rasa nasionalisme sehingga mereka cinta tanah air mereka dan melupakan saudara mereka di belahan dunia lainnya yang sedang tertindas padahal kaum muslimin di manapun berada mereka bagai satu tubuh seperti hadist Rasulullah
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِم ْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Artinya: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam. (HR. Muslim).
Inilah keberhasilan barat untuk membuat kaum Muslimin terpecah belah dan di batasi sekat-sekat negara dengan meruntuhkan satu kepemimpinan islam yaitu khilafah pada tahun 3 Maret 1924.
Sudah saatnya kaum muslim kembali bersatu di bawa satu komando. Tuntutan keimanan mengharuskan kita untuk memperjuangkan tegaknya kembali khilafah ala minhaj nubbuwah. Sesuai dengan bisyarah Rasulullah “…Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430).”