Oleh : Ummu Fakhrina
Kita saksikan sebuah manuver ‘membersihkan’ para Ulama yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Barisan Ulama yang bergabung dalam Aksi 212 diantaranya adalah Din Syamsudin, Bahtiar Nasir, Tengku Zulkarnaen , Yusuf Muhamad Martak. Mereka tidak lagi ada di kepengurusan yang baru terbentuk. Ada apa gerangan?
Peneliti Sosial Politik LIPI, Siti Zuhro menyebutkan rupanya ada upaya penyeragaman dan menghadirkan ulama pendukung penguasa, untuk menyamakan suara masyarakat. Siti menyebutnya sebagai State corporatism. Mirip dengan masa orde baru, yang mengkooptasi. Ini Orde Reformasi sebenarnya tidak patut seperti itu.(CNNIndonesia.com, Jakarta(27/11)
Nampak dari Wajah baru muncul dikepengurusan MUI 2020 -2025. Selama ini pemerintah merasa gerah dan merasa tidak nyaman dengan kritik pedas dari para ulama yang sebagian besar berada di kepengurusan MUI lama. Sementara MUI sebagai representasi dari ormas Islam yang ada di negeri ini, menjadi sesuatu yang penting posisinya di mata pemerintah.
Dengan terpilihnya Miftachul Akhyar sebagai ketua Umum MUI, secara resmi pada Rabu 26 Nopember lalu, maka menurut pengamat politik Ujang Komarudin, dari Universitas Al-Azhar Indonesia, nampak kekuatan Kyai Ma’ruf Amin sangat kentara dan mencampuri internal MUI, dengan memimpin Tim Formatur yang terdiri 17 ulama. Tim ini berwenang menentukan siapa yang akan berada di pucuk pimpinan.
Rupanya keberadaan ulama di MUI dalam kepengurusan lalu menjadi ganjalan dan menyerang rezim yang berkuasa, sebagai Wakil Presiden harus turun tangan membersihkan ulama yang tidak dikehendaki, membahayakan dan ancaman terhadap penguasa.
Sebenarnya Apa fungsi Ulama menurut Islam?
Ulama adalah orang yang berilmu ,tentu tidak akan diam ketika melihat kemunkaran dan ketidak beresan pemerintah dalam mengurus umat, ulama yang benar, bertaqwa, akan mengkritik, memberi masukan dan nasehat kepada penguasa yang melakukan kekeliruan dan ketidak taatan akan pelaksanaan hukum Islam.
Mereka berbuat bukan karena kebencian, tapi justru mencintai pemimpinnya agar selamat dunia dan akhirat.
Sudah seharusnya posisikan Ulama sebagai pewaris para Nabi, memberi nasehat dan masukan untuk perbaikan dan kemajuan umat, tidak untuk tujuan lain.Bukan ketenaran dan menarik simpati umat.
Sebaliknya para umaro yang bertaqwa dan takut akan murka Allah, harus dengan senang hati menerima masukan, kritik dan nasehat. Memposisikan ulama sebagai penasehat, rujukan serta rekan setia dalam menjalankan amanah yang diembannya, bukan malah disingkirkan dan merasa terganggu ketika diberi nasehat, masukan dan kritik untuk perbaikan bersama.
Janganlah ulama dihindari, dikriminalisasi serta disingkirkan dari arena dakwah. Ulama adalah konsultan bukan malah dimusuhi dan di campakkan.Jika ingin terlaksananya hak – hak rakyat serta menjadi pemimpin yang disukai dan ditaati oleh rakyatnya.
Pemimpin dalam Islam sudah seharusnya menerima dan menjalankan amanah dari umat untuk melaksanakan hak-hak umat, memberikan jaminan kesejahtraan ,mengurusi rakyatnya dan menerapkan seluruh aturan Alloh di muka bumi.
Nabi saw. bersabda, “Muliakanlah ulama’ (orang-orang yang memiliki ilmu syariat/agama dan mengamalkannya, mereka baik ucapan dan perbuatannya) karena sungguh mereka menurut Allah adalah orang-orang yang mulia dan dimuliakan (di kalangan malaikat).”
Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal –rahimahullah- (wafat : 241 H)berkata :
“Segala puji bagi Alloh yang telah menjadikan sisa-sisa para ulama’ pada setiap zaman yang kosong dari para rosul. Mereka (para ulama’) menyeru orang yang sesat kepada petunjuk, menyabarkan mereka dari gangguan. Menghidupkan kitabullah yang telah mati. Menerangi orang-orang buta dengan cahaya Alloh…..” [ Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah : 55 ].
“Ulama’ pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang banyak.” [ HR. Abu Dawud : 3641 ].
Imam Ibnul Qoyyim –rahimahullah- berkata :
“Kebutuhan manusia kepada mereka (para ulama’) lebih besar dari kebutuhan mereka dari makan dan minum. Ketaatan manusia kepada mereka lebih wajib dari ketaatan para ibu dan bapak.” [ I’lamul Muwaqqi’in : 1/8 ].
Wallahua’lam bishawab.