Oleh : Ammy Amelia (Ibu Rumah Tangga dan Member Akademi Menulis Kreatif)
Pada Rabu (26/11/2020), Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode kepengurusan 2020-2025 resmi diumumkan. Wajah lama hilang, seiring dengan munculnya nama-nama baru dan diumumkannya Miftahcul Akhyar sebagai ketua umum MUI periode 2020-2025.
Adapun nama Din Syamsudin dan sejumlah ulama yang identik dikaitkan dengan Aksi 212, harus rela terdepak dari kepengurusan. Din yang aktif di Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu digeser oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin, yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI.
Selain nama Din yang hilang, nama mantan bendahara Yusuf Muhammad Martak, mantan wasekjen Tengku Zulkarnain dan mantan sekretaris wantim Bachtiar Nasir juga raib dari kepengurusan. Adapun sejumlah nama itu disebut kerap berafiliasi dengan Aksi 212. (cnnindonesia, 27/11/2020)
Fenomena hilangnya nama-nama tokoh yang aktif mengkritik pemerintah itu, jelas memantik kritik beberapa pengamat politik. Salah satunya Ujang Komarudin, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia yang menilai bahwa dominasi dan kekuatan Ma’ruf Amin di MUI, diduga dalam rangka membuka campur tangan pemerintah sehingga payung besar para ulama tersebut kekritisannya hilang dan dapat dikendalikan.
Ujang juga menyatakan, dengan digandengnya MUI jelas memberikan kekuatan bagi pemerintah yang saat ini hubungannya tengah memanas dengan kelompok Islam kanan yang dipelopori Rizieq Shihab. MUI yang mengumpulkan berbagai ormas Islam dalam satu wadah, tentu dianggap strategis dalam menjamin posisi pemerintah menjadi lebih aman.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan peran MUI sebagai ‘rumah bersama’ bagi seluruh ormas Islam di Indonesia. Pembersihan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dari kepengurusan MUI, menjadi bukti nyata keotoriteran sikap para penguasa.
Sangat khas dalam sistem kapitalisme. Paham sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, juga mendoktrin agama agar tidak ikut campur dari kekuasaan. Padahal Islam tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam al-Ghazali bahwa agama adalah pondasi bangunan, dan kekuasaan adalah penjaganya. Bangunan yang tidak ada pondasinya pasti runtuh, dan yang tidak ada penjaganya pasti akan lenyap. Dalam ungkapan lain, Imam al-Ghazali juga menyatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar.
Mencontoh pada masa Khilafah Rasyidah yang pertama, mulai dari pejabat tertinggi, hakim hingga panglima militer, posisi tersebut diisi oleh para ulama. Abu Bakar menjadi Khalifah, Umar bin al-Khatthab menjadi wazir [pembantu]-nya, Khalid bin al-Walid sebagai panglimanya. Begitu juga para Khalifah setelah itu.
Namun demikian, meski berbagai jabatan dipegang oleh para ulama, amar ma’ruf nahi mungkar harus tetap dilakukan. Karena amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi seluruh kaum Muslim, baik terhadap sesama rakyat maupun penguasa. Bahkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar terhadap penguasa dilipatgandakan pahala dan kebaikannya karena dampak dan pengaruhnya yang luar biasa.
Maka, jelas sebuah penyimpangan bila ada penguasa yang menjadikan ulama sebagai tameng kekuasaan demi memuaskan kepentingan pribadi dan golongan. Begitupun dengan sebagian ulama (Ulama Suu’) yang justru berbalik arah dari kewajibannya sebagai garda terdepan dalam amar ma’ruf nahi munkar.
Hanya Islam yang mampu mendorong manusia untuk senantiasa berada pada rel syariat sesuai hakikat penciptaannya. Dan penerapan syariat secara total hanya dapat dijalankan bila Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam ranah kekuasaan.
Wallahu’alam bishawab.