Muhasabah saat Musibah : Individu Vs Negara

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Vivie Dihardjo (Pemerhati Sosial )

 

Musibah kembali menyapa negeri ini. Covid 19 masih belum usai, SJ 182, penerbangan rute Jakarta Pontianak jatuh di wilayah Kepulauan Seribu. Gempa di Mamuju. Banjir dengan ketinggian 3M menyapu Kalimantan Selatan. Belum lagi erupsi Merapi dan Semeru turut menambah deret musibah. Tentu musibah terbesar adalah wafatnya para ulama, warasatul anbiya dalam jeda yang berdekatan.

Hadirnya musibah tentu memaksa manusia sebagai makhluk ciptaan Allah (individu) untuk bermuhasabah. Instropeksi apakah musibah ini adalah peringatan atau ujian.

Allah berfirman

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (٤١)

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(QS. Ar-rum)30): 41).

Muhasabah adalah proses yang tidak bisa dilupakan. Apakah kita telah jauh meninggalkan perintah Allah, sehinga hadir musibah sebagai peringatan Allah. Atau Allah menghendaki kita sabar dengan hadirnya musibah. Hendaknya musibah mengembalikan kita kepada Allah, karena kita makhluk yang tak berdaya.

Bukan hanya individu yang didorong bermuhasabah saat hadirnya musibah. Pemimpin adalah raa’in (pengurus rakyat)  pun wajib bermuhasabah.

Rasullullah bersabda :

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Musibah harus diyakini sebagai baik dan buruk dari Allah, yang menjadi wilayah kuasa manusia adalah sikap mehadapi musibah. Termasuk pemimpin negara.

Pada masa Khalifah Umar Bin Abdul Azis terjadi gempa. Beliau segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, ‘Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya”. Inilah sikap awal seorang pemimpin ketika hadir musibah. Mengajak untuk bertaubat, kembali kepada Allah.

Islam mengatur bagaimana menyikapi musibah dengan :

1. Mitigasi adalah upaya meminimalkan resiko/dampak ketika terjadi bencana. Misalnya pemetaan kerentanan wilayah bencana, pengaturan tata kota/wilayah. Aturan pemanfaatan lahan yang berkelanjutan dan sebagainya. Mitigasi menjadi langkah antisipasi.

2. Kesiapsiagaan. Upaya antisipasi bencana juga disiapkan. Misalnya, sistem peringatan dini, pelatihan menghadapi bencana sampai menyiapkan langkah teknis bila bencana terjadi, tim respon cepat, ketersediaan cadangan makanan, air, obat dan kebutuhan lain.

3. Tanggap Darurat. Ketika terjadi bencana maka upaya penanganan fokus pada menyediakan kebutuhan pokok (makanan, air, obat), pemulihan kesehatan, tempat pengungsian, perbaikan awal infrastruktur, dan sebagainya. Negara harus mengambil porsi terbesar dalam wilayah tanggap darurat, tidak boleh lebih mengandalkan pada bantuan asing. Bantuan dari pihak asing harus difilter oleh negara agar tidak ikit serta masuk ide-ide asing yang dapat merusak umat (rakyat)

4. Pemulihan. Ketika dampak bencana mulai bisa dikendalikan, tahap selanjutnya adalah memulihkan kondisi, misalnya pembukaan konseling, pembangunan kembali infrastruktur yang rusak,mendorong aktivitas masyarakat. Negara harus tinggal dan memastikan semua fase penanganan bencana dapat berlangsung dengan baik. Solusi islam pada penanganan bencana didasarkan pada pertimbangan rasional dan disandarkan pada nash syara.

Dan Pemimpin ( Khalifah) adalah pelaksana dari syariat. Allah berfirman :

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. An-Maidah: 49-50)

Musibah silih berganti

Menggema seruan musahabah diri

Tapi akankah cukup berarti?

Jika pemimpin tak jua menginsyafi

Hukum Allah telah mereka kebiri

Merasa diri paling mengerti

Dari pemilik Alam semesta ini…

 

Yuk kembali pada islam kaffah

Karena itu aturan bagi semesta

Kita diciptakan sudah dengan seperangkat aturan

Agar kita kembali pada-Nya dalam sebaik-baik keadaan.

 

Wallahu’alam bisshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *