Mudik Menuai Polemik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Zaky (Pengajar Tahfidz)

 

Mudik, salah satu “ritual” tahunan yang ditunggu-tunggu oleh para umat muslim disetiap moment menjelang akhir Ramadhan sebagai sarana temu kangen dengan keluarga yang setelah setahun tidak bertemu.

Namun apa daya, pandemi covid 19 telah mendorong pihak berwenang mengeluarkan kebijakan larangan mudik tahun ini sebagaimana tahun sebelumnya, dalam rangka meminimalisir penyebaran covid 19 hingga ke pelosok-pelosok daerah.

Sebagaimana diberitakan, pemerintah membuat aturan pengetatan perjalanan pada musim lebaran tahun 2021.
Aturan ini dibuat karena temuan dari satgas Covid-19 yang melihat masih banyak masyarakat yang mudik duluan sebelum larangan mudik diberlakukan 6-17 Mei 2021 nanti.

Akibat adanya kebijakan ini, para pelaku perjalanan yang naik mobil pribadi tidak boleh sembarangan lagi.

Ada beberapa syarat yang harus mereka penuhi sebelum melakukan perjalanan menggunakan kendaraan pribadi.

Dari situs resminya, aturan pengetatan perjalanan tertuang dalam Addendum SE Satgas Nomor 13/2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 H dan Upaya Pengendalian Penyebaran COVID-19 Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 H.
Aturan ini akan diberlakukan pada 22 April-24 Mei 2021.
(PIKIRAN RAKYAT 25 April 2021)

Sebagaimana diketahui, pemerintah mengambil kebijakan terkait dengan larangan mudik dengan alasan mengurangi ataupun menghentikan penyebaran virus covid 19 menuai polemik ditengah-tengah masyarakat.

Sebab, kebijakan ini pada kenyataannya tak selaras dengan kebijakan lain diwaktu yang sama yang justru melonggarkan perjalanan untuk pariwisata.

Belum lagi ditambah dengan kepentingan sekelompok masyarakat dalam hal ini menggiring kebijakan berkaitan dengan mudik yang menjadikan kebijakan tebang pilih.

Sehingga menyebabkan kebijakan ini rentan untuk dilanggar, sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu pengamat Djoko setijowarno.
“Jika pemerintah terlalu banyak memberikan dispensasi, kesannya pemerintah tidak serius untuk mengurangi penyebaran covid 19 disaat mudik. Banyak pihak sudah sepakat, sampai-sampai pengusaha bus yang terdampak besar mau mentaati pemerintah. Justru sekarang tiba-tiba ada permintaan dispensasi dari penguasa,” kata Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno, Minggu (25/4/21).

Alhasil, hal ini makin menggerus kepatuhan publik terhadap aturan sehingga menimbulkan persoalan yang baru.

Sistem kapitalisme yang diberlakukan saat ini, tidak ubahnya telah mendominasi kepemimpinan yang menyebabkan penguasa terkesan mudah dalam memutuskan suatu perkara, disisi lain tidak melihat secara seksama dampak yang terjadi akibat kebijakan tersebut.

Kebijakan setengah hati tampaknya mewarnai keputusan pemerintah dalam hal penuntasan pandemi, pada kenyataannya mudik dilarang tetapi pariwisata tetap dibuka.

Pada dasarnya pandemi covid 19 mengancam keselamatan jiwa manusia, sehingga seharusnya dilakukan penanganan secara efektif dengan mempercepat penanganan terhadap virus, sehingga dapat dicapai penuntasan yang maksimal dengan zero kesakitan dan kematian.

Karenanya perkara penanganan pandemi, sebenarnya bukan hanya perkara teknis, tapi juga perkara cara pandang bagi manusia berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan jiwa manusia itu sendiri.

Sehingga, dalam penanganan pandemi yang berlarut-larut ini, tentu dibutuhkan solusi Islam dalam menuntaskannya, sebab hanya pandangan Islam yang mampu memberikan perhatian dan penghargaan tertinggi terhadap kesehatan dan keselamatan bagi setiap jiwa manusia.

Sebagaimana firman Allah swt :

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Allah swt juga berfirman :

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi (Qs. Al maidah : 32)

Islam sebagai agama yang paripurna tidak hanya mengatur ibadah ritual semata tetapi juga merupakan sistem kehidupan yang sempurna.

Didalamnya kehadiran penguasa dipandang sebagai pemelihara bagi seluruh urusan rakyatnya, dalam hal ini baik berupa kesehatan serta keselamatan bagi setiap jiwa terutama saat wabah melanda.

Rasulullah saw bersabda :

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw juga bersabda :

إِنَّ االلهَ أَنـْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فـَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بحَِرَامٍ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu
Dawud).

Islam memiliki tiga prinsip mendasar dalam menyelesaikan persoalan wabah ditengah-tengah masyarakat, diantaranyan :

Pertama, lockdown lokal diberlakukan sejak awal pandemi mewabah disuatu daerah, hal ini dilakukan agar wabah tidak menyebar ke daerah lain dan wabah tidak mengancam keselamatan jiwa serta dapat diminimalisir resiko penyebarannya.

Kedua, melakukan pengisolasian secara ketat bagi individu-individu yang terjangkit wabah dan mengharuskan segera menangani secara maksimal hingga mereka sembuh.

Negara akan melakukan tracing dalam rangka memisahkan yang sakit dan yang sehat sehingga akan membantu negara dalam mengerahkan perhatiannya kepada individu-individu yang sakit agar mereka bisa sembuh secara total.

Hal ini juga akan memberikan rasa aman bagi masyarakat yang sehat dalam melakukan aktivitasnya secara normal.

Ketiga, negara melakukan pengobatan sesegera mungkin bagi individu-individu yg terjangkit wabah. Karenanya didalam Islam, kesehatan adalah milik publik, sehingga tanggung jawab kesehatan akan diambil alih negara secara mutlak dengan dukungan sistem ekonomi yang sesuai dengan syariah.

Layanan kesehatan pun akan akan diperoleh dengan harga yang sangat terjangkau, bahkan bisa didapatkan secara gratis oleh setiap warga negara.

Karena itu, sudah seharusnya kaum muslimin bahu membahu dalam berusaha untuk mewujudkan penerapan Islam bagi kehidupan publik mereka.

Sekaligus merupakan perwujudan konsekuensi dari keimanan serta bukti nyata akan fungsi diciptakannya manusia yaitu beribadah semata-mata kepada Allah swt.

Wallaahu a’lam bishshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *