Mudik Bakal Dilarang?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Siti Maftukhah

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menggulirkan opsi larangan mudik Lebaran 2020. Wacana ini muncul setelah beberapa waktu lalu pemerintah mengumumkan bahwa aktivitas mudik tidak dilarang. Belum diketahui indikator utama yang digunakan untuk menjadi acuan larangan mudik. Hanya saja tingkat penyebaran virus corona akan menjadi salah satu pertimbangan utama saat ini. (https://money.kompas.com/read/2020/04/17/123934226/pemerintah-buka-opsi-larang-mudik)

Bahkan sudah dirancang Peraturan Menteri soal larangan mudik, lengkap dengan sanksi untuk yang mudik. Rancangan ini, menurut Budi Setiyadi Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, sudah dibahas di Biro Hukum Kemenhub. Masih menurut Budi Setiyadi, jika larangan mudik diberlakukan maka bisa jadi akan diberlakukan pelarangan beroperasinya moda transportasi. Pihaknya akan melarang semua jenis kendaraan ke luar daerah. Mulai dari kendaraan umum hingga pribadi, mulai dari bus AKAP hingga sepeda motor.(https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4984020/begini-skenario-di-lapangan-jika-mudik-jadi-dilarang)

Mudik lebaran merupakan fenomena yang tiap tahun terjadi. Bahkan sudah menjadi tradisi. Karena lebaran adalah momen silaturahmi, momen bertemu sanak keluarga, momen saling melepas rindu, momen untuk saling memaafkan. Keluarga-keluarga yang selama ini berjauhan, rela pulang kampung demi bertemu saudaranya yang selama setahun tidak pernah dijumpainya. Bahkan fenomena mudik mampu menghidupkan perekonomian masyarakat.

Dan saat bertemu sudah menjadi kebiasaan untuk saling berjabat tangan, cipika cipiki, berpelukan dll yang jika saat ini dilakukan termasuk hal yang “dilarang” karena itu menjadi salah satu cara virus berpindah.

Namun, untuk saat ini, saat wabah sudah melanda hampir seluruh dunia maka bisa jadi fenomena mudik tak sesemarak tahun-tahun sebelumnya. Bahkan pelarangan mudik akan muncul demi membatasi penyebaran virus corona.
Pelarangan mudik yang bakal diberlakukan di Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar dunia, pasti akan menuai pro dan kontra.

Munculnya pelarangan mudik merupakan salah satu persoalan akibat tidak mampunya negara dalam mengatasi wabah pandemi ini. Negara justru abai dengan keselamatan rakyatnya dengan alasan ekonomi. Sejak awal munculnya wabah ini, penguasa masih menganggap remeh bahaya virus corona ini. Mereka mengabaikan pandangan para pakar kesehatan tentang bahaya penyebaran virus yang dikenal dengan covid-19 ini. Bahkan mereka membuat pernyataan dan kebijakan yang kontraproduktif. Untuk menggenjot pendapatan di sektor pariwisata, penguasa mengeluarkan anggaraan 72 miliar untuk membiayai buzzer pariwisata. Penguasa membiarkan turis yang batal ke Tiongkok untuk masuk ke Indonesia. Di tengah wabah corona penguasa malah membiarkan masuknya TKA dari China.

Beberapa daerah juga seakan berjalan sendiri untuk mengatasi penyebaran wabah ini. Tak ada kebijakan memusat sehingga daerah-daerah tersebut juga berjuang sendiri. Ada sebagian kalangan yang menganjurkan agar pemerintah melakukan lockdown juga tidak digubris oleh pemerintah. Wajar itu dilakukan karena pemerintah tidak ingin menanggung kebutuhan dasar masyarakat dan hewan ternak selama masa lockdown sebagaimana amanat dalam pasal 55 ayat 1 UU no. 6 tahun 2018.

Belum lagi kesimpangsiuran dan ketidakjelasan data yang diberikan pemerintah terkait info wabah ini. Ketidakvalidan data akan mengakibatkan masyarakat juga tidak memperoleh data yang sesungguhnya. Akibatnya masyarakat bisa jadi salah langkah dalam menilai suatu daerah termasuk pandemi atau tidak. Karena saat suatu wilayah dikatakan pandemi, maka masyarakat tidak diperkenankan untuk memasukinya dan sebaliknya jika wilayahnya adalah wilayah pandemi maka tidak boleh meninggalkan wilayah tersebut.

Bahkan saat ini pemerintah memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan akan dibarengi dengan pemberlakuan UU Darurat Sipil. Impikasi dari pemberlakuan UU Darurat Sipil adalah negara tidak memiliki tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan pangan hewan ternak. Namun, di sisi lain, untuk rencana pemindahan ibukota jalan terus.

Ini semakin membuktikan bahwa penguasa negeri ini alergi untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya namun sangat ringan dan senang untuk melayani kepentingan para kapitalis, kepentingan segelintir orang. Karena negeri ini memang menerapkan Kapitalisme yang menempatkan penguasa/pemerintah sebagai fasilitator semata dan dilarang untuk menjadi pelayan umat.

Berbeda dengan Islam yang menempatkan penguasa sebagai pelayan umat. Yang akan melayani segala apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya, terutama kebutuhan dasarnya saat normal maupun saat pandemi.

Pemimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Maka Negara Islam akan menjadikan syariat sebagai tuntunan dalam menghadapi wabah. Sehingga akan membatasi wilayah yang dianggap sebagai wilayah kemunculan wabah dengan lockdown.

Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasukinya. Jika wabah terjadi di tempat kalian berada, jangan kalian tinggalkan tempat itu (HR. al-Bukhari).

Namun saat wabah sudah menyebar seperti saat ini, maka negara harus memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyatnya berupa pengobatan gratis untuk wilayah yang terkena wabah tersebut. Negara harus menyediakan fasilitas untuk mendukung pelayanan kesehatan tersebut dengan mendirikan rumah sakit, laboratorium dan fasilitas lainnya. Negara juga wajib memberikan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat khususnya kebutuhan pangan di wilayah wabah tersebut.

Maka sudah saatnya masyarakat, terutama kaum Muslim untuk meninggalkan sistem kapitalis dan beralih pada sistem Islam. Wallahu a’lam[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *