Modernisasi Mengencang, Madrasah Diterjang

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Dewi Fitratul Hasanah (Pendidik, Pemerhati Sosial dan Pegiat Literasi)

 

“Guruku tersayang, Guruku tercinta

Tanpamu apa jadinya aku

Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal

Guruku terima kasihku”

Sepenggal lirik lagu ciptaan Melly Goeslaw di atas tentu sudah tak asing ditelinga. Lebih-lebih lagu ini sudah masuk ke dalam daftar lagu wajib yang kerap dinyayikan para murid ketika hari guru dirayakan.

Ya, kita semua sepakat bahwa guru adalah sosok yang berjasa bagi kita. Tanpa guru, bisa jadi kita takkan mengenal apa-apa. Oleh karenanya, kita sebagai murid, memang sepatutnya takzim kepadanya.

Menyoal guru, baru-baru ini ramai pemberitaan seorang CPNS beragama Kristen yang diangkat sebagai guru untuk mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Tana Toraja Sulawesi Selatan. Pengangkatan guru nonmuslim bagi Madrasah ini adalah yang pertama kali terjadi.

Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama, Muhammad Zain menegaskan guru nonmuslim tak melanggar aturan untuk mengajar di madrasah. Zain menegaskan kebijakan tersebut sudah sejalan dengan regulasi sistem merit. Sistem merit adalah kebijakan dan manajemen SDM yang berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar. Kebijakan itu juga tak membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan, (cnnindonesia.com 1/2/21).

Merespon berita tersebut para netizen pun ramai berkomentar. Pro dan kontra pun riuh bergenderang. Masyarakat mempertanyakan “Apakah di negeri kita ini kekurangan guru muslim dan apakah tidak salah dalam menempatkan?”.

DIberitakan oleh suara.com, (1/2/21) menurut Analis Kepegawaian Kemenag setempat, Andi Syaifullah, KEMENAG mengambil langkah atau kebijakan tersebut bukan karena kekurangan tenaga pengajar Muslim dan bukan karena salah penempatan. Namun, kebijakan penempatan nonmuslim di madrasah ini telah dianggap sejalan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) RI tentang Pengangkatan Guru Madrasah.

Khususnya pada Bab VI Pasal 30. “PMA Nomor 90 Tahun 2013 telah diperbaharui dengan PMA Nomor 60 Tahun 2015 dan PMA Nomor 66 Tahun 2016, di mana pada Bab VI pasal 30 dicantumkan tentang standar kualifikasi umum calon guru madrasah (khususnya pada poin a), yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak disebutkan bahwa harus beragama Islam”.

Dijelaskan oleh Zain pula bahwa “Guru nonmuslim yang ditempatkan di madrasah ini akan mengajar mata pelajaran umum, bukan pelajaran agama. Jadi saya pikir tidak ada masalah. Bahkan ini salah satu manifestasi dari moderasi beragama di mana Islam tidak menjadi ekslusif bagi agama lainnya,” (cnnindonesia.com, 1/2/21).

Kendati demikian, masyarakat meragukan originalitas visi misi  pembelajaran yang ada di madrasah. Pasalnya, Guru adalah sosok pengajar yang tak hanya mentransfer ilmu. Sosoknya pun selayaknya “digugu” dan “ditiru” baik bertutur maupun berprilaku. Sebab, hampir apa-apa yang menyertai pada sosok guru termasuk cara pandangnya dalam memaknai kehidupan yang terpancar dalam berkepribadian akan meniscayakan untuk diikuti oleh peserta didiknya.

Selain itu masyarakat pun masih terganjal keraguan, sebab yang dimaksud manifestasi dari moderasi tersebut adalah cara pandang yang tidak ekstrem dalam pengamalannya.

Dalam moderasi beragama ini  generasi muslim dapat terseret agar  tidak bangga dan melupakan bahkan perlahan menanggalkan jati diri mereka sebagai muslim atas nama toleransi yang tak sesuai pada tempatnya.

Sebab, ciri khas moderat adalah semua ajaran agama dianggap sama, hak dan batil bisa barpadupadan dan susah dibedakan.

Arus moderasi beragama ini tak main-main digulirkan. Sebagaimana pada laman KEMENAG sedikitnya ada tiga rekomendasi yang secara detail hendak digelontorkan ke sekolah-sekolah. Pertama, Kementerian Agama melibatkan penyuluh agama dalam membina organisasi Rohis. Kedua, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kesbanglimas, dan Kepolisian secara kompak membuat kebijakan dalam melakukan pembinaan keagamaan bagi pengurus maupun aktivis Rohis. Ketiga, pemerintah, melalui Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan akan terus menggalakan program pengarusutamaan moderasi beragama  ini.

Salah satu bentuk aksi yang dilakukan dalam moderasi beragama di sekolah adalah dengan mengganti pengisi kegiatan Rohis dengan mentor-mentor dari organisasi yang mainstream dan moderat, guru Pendidikan Agama Islam dipisahkan sendiri. Sekolah juga akan menghentikan kerjasama dengan organisasi-organisasi yang dianggap membawa paham-paham radikal.

Jika menilik lebih jeli, sistem demokrasi yang berasaskan sekularisme dimana urusan agama adalah urusan yang tak boleh masuk dalam kehidupan publik,  program-program semacam ini memang begitu getol dijalankan agar Islam terbunuh dari eksistensinya sebagai agama yang juga sekaligus sebagai ideologi kehidupan hakiki.

Ustaz Yuana Ryan Tresna pun menanggapi bahwa kampanye moderasi beragama ini hakikatnya adalah usaha agar Islam tidak tampil sebagai kekuatan nyata dalam memberikan solusi bagi segenap permasalahan umat manusia, (muslimahnews.com, 29/1/21).

Sehingga, moderasi beragama via madrasah ini bisa dikatakan  pintu “Welcome” terhadap pendangkalan akidah bagi generasi Islam.

Selama ini kita memahami bahwa madrasah (tingkat tsanawiyah maupun aliyah) adalah lingkungan sekolah yang kental dengan pendidikan berbasis Islam. Karena siswa di madrasah tidak hanya diberikan mata pelajaran sebagaimana di sekolah umum, namun ada tsaqafah Islam yang khusus dikaji seperti Akidah Islam, Bahasa Arab, Fiqih Islam, Al-Qur’an–Hadis, Tafsir, Sirah dan Tarikh Islam, dll. Maka wajar jika lingkungan madrasah lebih kental dengan suasana Islam. Dan sudah seharusnya jika para guru di lingkungan madrasah memiliki visi dan misi yang kental dengan pemikiran dan semangat Islam sekalipun tidak mengajarkan mata pelajaran tsaqafah Islam. Semua itu agar terwujud para siswa yang kuat akidahnya dan mampu menghadapi perkembangan zaman tanpa menggadaikan akidahnya.

Sebagaimana peran guru sekolah dalam Islam,  yakni memberi fasilitas  dan pengaruh berupa bimbingan dalam mencetak generasi solih-solihah yang cerdas baik secara kepribadian maupun kemampuan memahami  ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam sistem Islam telah ditentukan kualifikasi bagi para guru atau pendidik. Guru yang dipilih dalam sistem Islam yakni guru yang memang memiliki kepribadian Islam secara utuh (menjadikan Islam sebagai landasan berpikir dan bertindak), memiliki etos kerja yang baik, amanah, memiliki kapasitas, dan menguasai ilmu serta metode pengajaran.

Tentu tanpa bermaksud mendiskriminasi suku, ras dan agama, namun sudah menjadi syarat utama untuk meraih keberhasilannya dalam mencetak generasi cemerlang.

Islam adalah agama yang toleransi tanpa harus di modernisas. Indahnya Islam dalam bertoleransi telah  terbukti dalam sebuah buku penuh kisah manis karya Will Durant yang berjudul “The Story’ Of Civilization” dimana  toleransi antar umat Antara muslim dan non Muslim rukun begitu harmonis tertata tak salah kaprah.

Semua itu adalah fakta yang terjadi sepanjang sejarah Islam ketika diterapkan sebagai sistem pemerintahan. Selama 13 abad  Islam mampu mendatangkan berkah bagi seluruh alam.

Hanya dengan menerapkkannya kembali, madrasah bisa secara total menjalankan visi-misi pembelajaran nya tanpa terkontaminasi modernisasi.

Takkan ada arus modernisasi yang kencang yang dapat membuat kemurnian madrasah terterjang. Wallahu a’lambishshawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *