MODERASI BERAGAMA DALAM KEGIATAN 1000 SAJEN & DUPA

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Fenti Fempirina K.,S.Pd

 

Komunitas lintas umat beragama, iman dan kepercayaan menggelar kegiatan doa bersama  dan orasi budaya dengan membakar dupa dan sesajen pada 22 Januari 2021. Acara yang bertajuk “Orasi Budaya Nusantara Bersatu, 1000 Sajen & Dupa” ini dihadiri oleh ratusan orang  dari lintas komunitas, agama dan kepercayaan. Hisa al-Ayubbi selaku koordinator kegiatan menyatakan bahwa ada dua tujuan utama dalam kegiatan tersebut, pertama adalah doa bersama lintas agama dan memperkenalkan budaya jawa yang selama ini dipandang miring oleh masyarakat.

Budaya dan Doa Lintas Agama dalam Pandangan Syara’

Budaya adalah buah pikiran manusia, sedangkan syara’ adalah seperangkat aturan yang diturunkan oleh Sang Pencipta. Oleh sebab itulah, budaya selayaknya tunduk pada aturan syara. Budaya yang bertentangan dengan syara selayaknya ditinggalkan dan tak perlu dilestarikan. Sebagaimana Rasulullah saw ketika diutus menjadi Rasul, beliau berhasil merubah budaya arab jahiliyah yang bertentangan dengan ketentuan agama. Umat islam diperbolehkan menjalankan budaya, hanya jika ia tidak memiliki pertentangan dengan syara’.

Adapun aktivitas doa yang dilakukan secara bersama-sama antara kaum Muslim dan penganut agama dan keyakinan lainnya tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan diharamkan secara mutlak. Namun sayangnya, kegiatan ini marak sekali dilakukan bahkan menjadi tren dengan dalih menjaga kebinekaan dan menguatkan toleransi beragama.

Toleransi memang menjadi isu sensitif yang gencar dikampanyekan oleh pemerintah bersamaan dengan isu moderasi beragama. Menurut pengusungnya, moderasi adalah solusi bagi terciptanya kerukunan dan toleransi. Padahal sesungguhnya moderasi adalah paham berbahaya yang berasal dari barat sebagaimana yang tertuang dalam dokumen-dokumen RAND Corp yang berjudul The Muslim World After 9/11, Civil Democratic Islam dan Building Moderate Muslim Network. Dengan mencermati tiga dokumen tersebut, dapat dipahami bahwa ide moderasi islam atau  islam moderat pada dasarnya adalah bagian dari rangkaian proses sekularisasi dan deislamisasi skala dunia. Tujuannya tidak lain untuk menimbulkan keragu-raguan dan menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam, agar nilai-nilai dan praktek Islam khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum-hukum Islam lainnya dapat dieliminasi dari kehidupan dan diganti dengan pemikiran dan budaya barat.

Meluruskan Definisi Tawasuth

Dari beragam opini yang disampaikan, para pengemban moderasi islam atau yang mereka sebut islam wasathiyah sering mengklaim bahwa moderasi adalah inti ajaran agama islam. Mereka menggunakan ayat al-Quran sebagai landasan pemahamannya  :

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (TQS al-Baqarah: 143)

Namun, tepatkah jika wasathiyah dan sikap tawasuth diartikan sebagai moderat?

Tawasuth (wasath) sebenarnya adalah sifat yang Allah berikan kepada kaum muslim jika mengamalkan Islam.  Imam al-Qurtubi dengan mengutip riwayat imam at-Tirmidzi menyatakan: al-wasath (maknanya) adalah ‘adil. Wasath juga berarti pilihan(terbaik). Ini sebagaimana dikatakan oleh ar-Razi dengan mengutip surat ali-imran ayat 110.

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (TQS. Ali ‘Imran 3: 110)

Syaikh Atha bin Khalil menjelaskan bahwa Allah Swt menjadikan umat Muhammad saw sebagai umat yang adil di antara umat lainnya, untuk menjadi saksi atas umat manusia. Allah Swt menjadikan umat ini dengan sifat al-ummah al-wasath, yakni umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia. Keadilan merupakan syarat pokok untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang arab berkonotasi al-khiyar  (pilihan). Yang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil (‘Atha bin Khalil, Al-Taysir fi ‘Ushul al-tafsir: surat al-Baqarah, hlm. 177)

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa frasa ummatan wasathan itu bermakna umat pilihan dan adil, yakni umat yang adil dengan menegakkan syariat Islam. Adapun memaknai ummatan wasathan sebagai sikap moderat (pertengahan) adalah tidak tepat.

Jikapun hendak diartikan sebagai pertengahan, maka yang dimaksud adalah sebagaimana perkataan ar-Razi, dimana sikap tawasuth adalah orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrath dan tafrith. Ifrath adalah sikap berlebih-lebihan dalam beragama hingga mengada-ngadakan yang baru dalam agama, sebagaimana umat nasrani yang menjadikan Allah punya anak. Adapun tafrith adalah mengurangi ajaran agama, sebagaimana umat Yahudi yang mengurangi isi kitab hingga membunuh nabi mereka (al-Waie: 2018, hlm. 14).

Oleh karena itu untuk mewujudkan karakter wasath seharusnya yang dilakukan adalah dengan menerima dan mengamalkan semua hukum Islam, hukum yang akan menjadikan umat yang mengamalkannya sebagai ummatan wasathan.

Sayang, saat ini istilah “moderat” justru digunakan untuk menyerang ajaran Islam dan menolak sebagian besar syariat Islam terutama yang berkaitan dengan sistem politik dan pemerintahan. Bahkan, tak jarang mereka mempromosikan hal hal baru yang tak pernah ditemukan dalam khazanah fiqih islam sebelumnya, seperti membolehkan wanita muslimah menikah dengan non muslim, tidak wajibnya hijab, kebolehan kafir menjadi penguasa atas kaum muslim, dan tidak perlunya menerapkan syariah islam secara formal dalam pemerintahan. Sebaliknya, umat muslim yang memahami syariat apa adanya, ingin menerapkan syariat islam secara totalitas dalam kehidupannya, distigmatisasi sebagai radikal. Padahal Allah SWT telah memerintahkan kita untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah.

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.” (TQS Al-Baqarah : 208)

Umat Islam tidak diperkenankan untuk mengambil Islam setengah-setengah apalagi mencampurkan ajaran Islam dengan ide-ide asing. Islam harus menjadi rujukan dalam beragam persolan, baik dalam urusan ibadah, akhlak, muamalah, sosial, politik, ekonomi, pendidikan, bahkan urusan kenegaraan. Inilah konsekuensi wajar bagi setiap orang yang mendeklarasikan dirinya sebagai seorang muslim. Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *