Moderasi atau ‘Modarisasi’ Islam?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Salma Banin (Pegiat Literasi)

Moderasi Islam semakin bergema diseantero negeri kita. Wacana untuk menjadikan Islam lebih ramah bagi perkembangan zaman tidak henti-hentinya disuarakan oleh para pengusungnya. Hari ini stigma Islam dimata dunia masihlah menjadi phobia, sebab istilah-istilah yang disalah artikan oleh beberapa pihak. Belum lama ini dukungan datang dari penyelenggaraan Muktamar Tafsir Nasional 2020 di Universitas Nurul Jadid Probolinggo. Atas inisiasi mahasiswa Program Studi Ilmu Qur’an dan Tafsir, diangkat tema “Qur’an And Hadith Values In Promoting Moderate Islam” dengan Prof. Dr. Abdul Mustaqim, M.Ag sebagai pembicara utamanya. Beliau adalah seorang Guru Besar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Republika.co.id, 12/01/2020).

Dalam acara yang dihadiri ratusan peserta dari kalangan dosen, mahasiswa dan umum ini, disepakati bahwa para akademisi, mubaligh, dai, termasuk kalangan pesantren diharapkan dapat turut mempromosikan dan merumuskan konsep dakwah yang mengacu pada nilai-nilai moderasi. Dalam kesempatan lain, sang Profesor dalam pidatonya menyampaikan bahwa Tafsir Maqashidi yang perlu digunakan sebagai basis moderasi Islam setidaknya memiliki dua fungsi, yaitu pertama sebagai spirit pengembangan tafsir yang responsif dan solutif sesuai tuntunan zaman, kedua sebagai kritik terhadap stagnasi produk tafsir yang tidak sejalan dengan tuntutan kemaslahatan (bincangsyariah.com, 18/12/2019).

Agaknya pengarusan ini sejalan dengan agenda yang dirumuskan oleh Rand Corporation dalam dokumen bertajuk Civil Democratic Islam: Partners, Resources and Strategies yang bocor sekitar dua dekade yang lalu. Tujuannya sama, yakni mendekatkan pemahaman kaum muslim pada nilai-nilai Barat yang dianggap lebih toleran, inklusif, dan humanis dirangkai dengan dalil mu’tabar dengan penafsiran yang ‘anti-mainstream’.

Tafsir Teledor

Kalangan yang pro Islam moderat selalu menggandeng istilah “Wasathiyah” untuk menguatkan pendapatnya dalam menengahi perseteruan paradigma tekstualis-skriptualis dan liberalis-subtansialis dalam tubuh kaum muslimin. Namun dalam faktanya makna wasath yang dikembangkan justru menyimpang jauh dengan pemahaman ahli tafsir terkemuka, salah satunya adalah Imam Fakhrudin ar Râzi (w. 606 H) dalam kitab Mafâtîhul Ghaib, 4/84-85. Sifat wasath yang dilekatkan pada umat Nabi Muhammad saw adalah karena umat ini menerima berbagai petunjuk dari Nabi-Nya, dan mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah swt, tanpa mengurangi ajaran-ajaran itu, juga tanpa mengubah dan menambahi dengan ajaran-ajaran lain diluar Islam. Keteguhannya mengemban semua ajaran Islam menjadikannya layak disebut sebagai ummatan wassathan (umat terbaik dan pilihan).

Makna ini ditafsirkan berbeda 180 derajat, konsep Islam moderat yang berkembang dan didakwahkan ditengah-tengah masyarakat kita saat ini adalah “Mereka yang (setuju) dan menyebarkan cara pandang nilai-nilai inti demokrasi. Termasuk mendukung demokrasi, dan HAM yang diakui secara internasional (termasuk persamaan gender dan kebebasan beribadah), respek terhadap perbedaan, setuju terhadap sumber hukum yang nonsektarian dan menentang terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan yang terlarang lainnya.” Dimana makna ini justru bersesuaian dengan tulisan dari Rand Coorporation yang berjudul Building Moderate Muslims Network (hal 66).

Inilah bukti keteledoran yang hakiki. Umat Islam dengan sadar mengambil gambaran dari kaum yang tidak mengakui kebenaran Alquran sebagai ganti atas tafsir para mujtahid faqih dan senantiasa memelihara keshalihan. Bencana ini terjadi seiring dengan ide pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme), menjadikan fakta sebagai subjek hukum dimana agama (Islam) pun harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Serangan Nyata

Sejatinya proyek global memoderatkan Islam adalah upaya menjauhkan umat muslim dengan syariahnya. Bertubi-tubi ajaran Islam diserang, diplesetkan, dimonsterisasi sedemikian rupa hingga dijauhkan dari fakta bagaimana dahulu Rasul Muhammad saw. dan para Khulafaur Rasyidin menerapkannya. Dimulai dengan penyudutan aktivitas Jihad, penegakkan negara Khilafah, revisi istilah kafir menjadi non muslim, pelegalan hak-hak LGBT hingga pengaburan makna kewajiban hijab bagi muslimah. Serangan ini nyata, bahkan datang dari kalangan umat kita sendiri.

Cukuplah hadist Rasul-Nya yang mulia sebagai pengingat,
Dari Ziyad bin Jadir, ia berkata : Umar berkata kepadaku : “Apakah kamu tahu hal-hal yang dapat merobohkan Islam? “, aku berkata : “tidak”, Umar berkata : “yang dapat merobohkan Islam adalah ketergelinciran ahli ilmu, kepintaran orang munafiq dalam bersilat lidah dengan Al Kitab, dan hukum yang ditetapkan oleh para pemimpin yang menyesatkan”. (Shahih mauquf. Sunan Ad Darimi (220).

Dari Hudzaifah bin al Yaman ra bertanya, ” Wahai Rasulullah, apakah setelah kebaikan akan datang kejahatan?” Beliau menjawab, ” Ya, banyak penyeru yang mengajak ke pintu jahanam, maka, barangsiapa yang mengijabahnya (mengikutinya), mereka akan dilemparkan ke dalamnya.” Aku bertanya,”Sifatkanlah mereka itu kepada kita.” Beliau SAW berkata,”Mereka dari golongan kita dan berbicara dengan bahasa kita,”. (Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 234-235.)

Hadanallaah waiyyakum.

Catatan kaki:
Modarisasi; dari kata Modar (bahasa Jawa/Sunda) yang berarti mati, ditambah imbuhan –isasi dapat diartikan sebagai mematikan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *