Miris, Tunjangan Profesi Guru Dihentikan Nadiem

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rianti Kareem, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan)

Disaat Guru susah payah berjuang memperbaiki kualitas generasi bangsa dengan upah minim, bahkan gaji dibawah UMR untuk non PNS, kini tunjangan profesi guru dihentikan oleh kementerian pendidikan Nadiem Makarim.

Beberapa waktu lalu, para guru melalui Forum Komunikasi Guru SPK (Satuan Pendidikan Kerja Sama) mengeluhkan penghentian tunjangan profesi. Tunjangan profesi yang dihentikan tersebut tercantum dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 6 Tahun 2020.

Dalam aturan tersebut, di Pasal 6 tercantum, tunjangan profesi ini dikecualikan bagi guru bukan PNS yang bertugas di Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK).

SPK sendiri merupakan satuan pendidikan yang diselenggarakan atau dikelola atas dasar kerja sama antara Lembaga Pendidikan Asing (LPA) yang terakreditasi atau diakui di negaranya dengan Lembaga Pendidikan Indonesia (LPI) pada jalur formal atau nonformal yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Melansir laman resmi DPR, keluhan ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (15/7/2020).

Para guru menilai bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Tunjangan Profesi Guru adalah hak seluruh guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi sesuai amanah dalam Undang-Undang Guru dan Dosen.

Saat rapat, Fikri pun membacakan regulasi soal tunjangan ini dalam UU Guru dan Dosen. Ia menegaskan bahwa guru dan dosen yang sudah memiliki sertifikat profesi dan diangkat oleh penyelenggara berhak atas tunjangan.

“Dalam PP Nomor 41/2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen serta tunjangan kehormatan profesor pada ayat 1 disebutkan, guru dan dosen yang sudah memiliki sertifikat pendidikan dan memenuhi persyaratan dengan ketentuan perundang-undangan diberi tunjangan profesi setiap bulan,” kata Fikri. (kompas.com 18/7/2020)

Ditengah pandemi covid-19, hampir semua profesi terdampak pandemi tak terkecuali para guru dan dosen. Ditambah lagi beratnya tantangan mengajar ditengah pandemi covid-19, tunjangan dihentikan sementara mereka memiliki keluarga yang juga tetap harus dinafkahi, hal ini membuat nasib para guru semakin tak menentu.

Sebelumnya pada april 2020 telah terjadi pemotongan Tunjangan Profesi Guru (TPG) sebesar Rp 3,3 triliun untuk Covid-19 lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 yang meresahkan banyak guru.

Pemotongan anggaran TPG itu sontak mendapatkan respon negatif dari sejumlah kalangan. Diantaranya dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). ’’Saya sebenarnya menyayangkan kalau sampai ada pemotongan TPG. Karena TPG itu menjadi hak guru,’’ kata Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi. (radorbogor.id 19/4/2020)

Unifah mengatakan ada banyak pos anggaran yang bisa dipotong, ketimbang harus memangkas anggaran TPG. Seperti anggaran perjalanan dinas, kegiatan rapat-rapat, serta anggaran pembangunan dan belanja modal. Program lain seperti organisasi penggerak yang digagas sebelum ada wabah, bisa ditunda dahulu.

Pemangkasan juga bisa memanfaatkan dana penyelenggaraan ujian nasional (UN). Seperti diketahui pemerintah sudah memutuskan UN tahun ini ditiadakan. Sementara anggaran UN tahun ini sekitar Rp 400 miliar. ’’Dari pos-pos tersebut, bisa disisihkan Rp 3 triliun,’’ tuturnya. Sehingga pemerintah tidak perlu mengurangi anggaran TPG. (radorbogor.id 19/4/2020)

Sejumlah polemik tersebut telah menunjukkan kegagalan negeri ini dalam menjamin kesejahteraan para tenaga pendidik sebagai salah satu upaya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Sebagai institusi pelayan rakyat, negara seharusnya menjamin terciptanya pendidikan yang berkualitas secara mutlak, mulai dari menjamin fasilitas sarana dan prasarana, kurikulum pendidikan, termasuk menjamin kesejahteraan tenaga pendidikan dengan gaji yang cukup.

Namun sayangnya pendidikan saat ini dijadikan sebagai komoditi komersil dengan terlibatnya swasta dalam penyelenggara pendidikan. Imbasnya berdampak pada ketimpangan kualitas pendidikan.

Semua ini akibat penerapan sistem kapitalisme di Indonesia. Sistem keuangan negara yang bertumpu pada sektor pajak dan utang tidak mampu menopang jaminan pendidikan yang membutuhkan dana besar.

Disisi lain, Indonesia memiliki sumber daya alam yang sebenarnya cukup untuk membiayai dana pendidikan yang berkualitas tanpa harus bertumpu pada utang dan pajak namun sayangnya sumber daya alam tersebut dikelola oleh asing.

Sistem Kapitalisme juga telah mengakibatkan terjadinya pemikiran yang sekuler di ranah dunia pendidikan, yaitu memisahkan pendidikan itu sendiri dari agama.

Alhasil tak hanya gagal menjamin kualitas pendidikan namun juga melahirkan output peserta didik yang miskin iman. Pendidikan kapitalis lebih menitikberatkan pada penguasaan sains teknologi dan keterampilan. Prestasi dan keberhasilan pendidikan pun hanya diukur dari nilai-nilai akademis, tanpa memperhatikan bagaimana keimanan, ketakwaan, akhlak, perilaku, kepribadian dan karakter anak didik. Itulah yang dibuktikan selama proses UN (Ujian Nasioanal). Bukan hanya siswa, namun sampai orang tua bahkan guru dan pihak sekolah melakukan berbagai cara termasuk kecurangan untuk mengejar nilai-nilai akademis.

Pendidikan seharusnya menjadi hak rakyat dan dijamin sepenuhnya oleh negara. Dalam Islam yakni Khilafah, pendidikan merupakan kebutuhan primer yang wajib di jamin oleh negara. Menjadi hak dasar bagi setiap warga negara selain dari hak akan pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan.

Tentunya dibalik kewajiban dalam menjalankan amanah tersebut, harus diiringi dengan pemenuhan hak yang setara dengan tanggung jawab besar.
Sehingga dalam negara khilafah, Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada guru sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas).

Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 38.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS atau pun honorer. Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru. Maka tak heran di masa Khilafah dijumpai banyak generasi cerdas dan shaleh, sebab para tenaga pendidik sejahtera sehingga mereka benar-benar fokus pada kewajibannya sebagai tenaga pendidik.

Negara wajib memfasilitasi apa-apa yang dibutuhkan pelajar untuk menunjang perkembangan keilmuannya seperti gedung yang memadai, laboratorium, perpustakaan, dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya, sehingga dengan terselenggaranya pendidikan seperti ini generasi yang lahir akan mampu menjadi penopang tegaknya peradaban yang maju dan mulia.

Sistem pendidikan Islam berlandaskan akidah Islam. Aspek keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia akan menjadi fokus yang ditanamkan pada anak didik.
Tujuan membentuk anak didik yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, memiliki karakter, menguasai sains teknologi dan berbagai keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan hanya bisa diwujudkan melalui sistem pendidikan Islam Khilafah.

Sistem pendidikan Islam memang bertujuan untuk mewujudkan hal itu. Dan ini sesuai dengan yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yaitu terwujudnya pendidikan yang mampu mencetak generasi yang beriman dan bertaqwa serta menguasai ilmu dan teknologi.

Sudah saatnya kita menengok kembali sistem islam yang pernah membawa kegemilangan dunia pendidikan hingga menjadi mercusuar dunia selama kurang lebih 14 abad lamanya.
Dan tidak berlebihan jika sistem islam ini dijadikan solusi untuk mengatasi berbagai polemik dalam dunia pendidikan. Tentunya dengan menerapkan sistem islam secara totalitas (kaffah) dalam naungan khilafah Islamiyah.
Wallahu’alam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *