Oleh Widhy Lutfiah Marha (Pendidik Generasi)
Sorotan demi sorotan terus bermunculan sejak penunjukkan komisaris baru dari anggota band legendaris. Karena, terlihat nama yang ditunjuk adalah orang yang telah mendukung petahana sejak pilpres sebelumnya.
Hal ini menuai polemik di berbagai kalangan bahkan Ketua DPP PKS Bukhori Muslim berkomentar mengenai pengangkatan salah satu komisaris plat merah yang merupakan salah satu anggota band legendaris itu.
Menurutnya pengangkatannya jelas merugikan perusahaan plat merah Telkom, karena tidak sesuai dengan profesi yang dijabatnya. Dan jika Telkom dirugikan negara akan dirugikan pula. Bukhori lantas menyinggung orang yang selama ini berada dibalik kemenangan petahana pada pilpres 2019 kerap mendapat posisi. Dia menilai itu akan merusak tatanan pemerintah.
Bagi-bagi di kursi jabatan adalah fenomena umum dalam politik demokrasi. Sebab, model sistem perpolitikan saat ini memang meniscayakan politik balas budi. Karena tidak dapat dipungkiri jabatan pemimpin legal, jika paslon tersebut memiliki dukungan suara mayoritas dari masyarakat. Untuk mendulang suara agar mendapat suara mayoritas diperlukan corong-corong dari pihak tertentu yang berpengaruh kepada masyarakat.
Jika para pejabat dalam tataran pemerintah diangkat dengan mekanisme di atas, yaitu sebagai balas budi jasa maka sudah bisa dipastikan pemerintahan yang terwujud bukan tidak mungkin meniscayakan pemerintahan yang terwujud adalah pemerintahan yang korup dan merugikan kepentingan publik. Karena kemampuan dan profesionalitas seorang pejabat dijadikan syarat kesekian dalam menduduki jabatan.
Rasulullah saw sendiri telah menggambarkan ketika sebuah urusan diserahkan bukan pada ahlinya maka kehancuranlah yang akan didapat.
“Jika telah disia-siakan yakni amanat, maka tunggulah waktunya menuju kehancuran, “Ada seorang sahabat bertanya bagaimana maksud amanat disia-siakan”? Nabi menjawab “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”(HR. al-Bukhari: 6015)
Dan bukti kehancuran itu semakin jelas, karena pada Jumat (28/5) yang lalu, pergerakan saham emiten PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk atau TLKM pada penutupan perdagangan Bursa, anjlok sebesar 3,25 persen ke level Rp 3.270.
Dikutip dari tribunjateng.com, 30/5/2021, pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan, Analis Pasar Modal Riska Afriani membenarkan bahwa saham TLKM merosot, karena perubahan manajemen yang dihelat. Dan anjloknya saham TLKM juga dipengaruhi oleh pro dan kontra hadirnya Abdee Slank sebagai komisaris.
Jadi, jika ini terus berlanjut saham TLKM akan terjun bebas bahkan terancam gulung tikar akibat dari penunjukan yang tidak berdasarkan kompetensi.
Melihat bukti-bukti di atas, menunjukkan bahwa pengelolaan negara memang bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi demi keuntungan pihak-pihak tertentu yang mempunyai jasa, walaupun merugikan rakyat, publik, dan bahkan negara.
Ini tentu berbeda dengan pengelolaan negara menurut Islam dalam mengelola BUMN. Seharusnya BUMN mengelola hajat sektor publik baik berupa energi, infrastruktur, listrik, migas, dan sektor strategis lainnya dengan benar yaitu untuk kepentingan seluruh rakyat. Secara Islam BUMN tidak boleh dimiliki oleh individu, kelompok, partai, bahkan oleh penguasa.
Jadi BUMN harus dikelola oleh negara hanya untuk kepentingan rakyat dan kesejahteraannya, bukan untuk kepentingan individu, kelompok, partai, ataupun pemerintah.
Dan jika kita melihat pengelolaan BUMN saat ini sangat merugikan kepentingan umat, jadi jelas itu merupakan dosa besar dan diancam dengan hukuman yang sangat keras.
“Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sungguh menakutkan hukuman Allah bagi penguasa yang zalim apalagi lemah dan tidak kompeten. Karena jabatan adalah amanah termasuk dalam BUMN. Jadi, siapapun yang telah diberi amanah harus tunduk kepada hukum Allah Swt. Maka dari itu, penunjukannya haruslah berdasarkan pertimbangan syariah Islam yaitu bertakwa, mampu, dan juga kuat, tidak boleh dengan pertimbangan unsur yang lain, apalagi unsur balas budi atau balas jasa yang mana hal tersebut termasuk risywah (praktik suap menyuap) yang merugikan rakyat, publik dan juga negara.
Wallahu a’lam bishshawab.