Mimpi Mengentaskan Kemiskinan Massal

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Najla (Aktivis Muslimah Kendari)

Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan di bawah suatu batas yang disebut garis kemiskinan maka disebut penduduk miskin.

Garis kemiskinan terbagi 2 yaitu:

Garis Kemiskinan Makanan yaitu pengeluaran kebutuhan makanan minimum yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari yang mengacu kepada hasil widya karya pangan gizi 1978.

Garis Kemiskian non Makanan yaitu kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.

Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dalam mengukur kemiskinan. Suhariyanto merinci pada Maret 2019 garis kemiskinan Indonesia menjadi sebesar Rp 425 250 perkapita perbulan. Jadi jika rata-rata rumah tangga beranggotakan 4-5 orang, maka garis kemiskinan rata-rata nasional sebesar Rp 1 990 170 per rumah tangga per bulan. Dibawah penghasilan tersebut maka akan tergolong miskin.
Data dari BPS, September 2019, mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia turun sekitar 9.22 persen, turun 0.19 persen dari kondisi Maret 2019. Dilihat pada September 2019 masih terdapat 24.79 juta orang miskin di Indonesia. Penurunan ini, menurut Suhariyanto terbantu oleh berbagai bantuan pemerintah seperti pangan non tunai hingga dana desa.(detik news, 29/01/2020).

Tingkat penurunan kemiskinan Indonesia cukup berarti, yang saat ini dibawah 10 persen dari total penduduk dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi diprediksi 5.6 persen pertahun selama 50 tahun ke depan. Produk Domestik Bruto diperkirakan tumbuh 6x menjadi US$ 4 ribu perkapita.

Turunnya Tingkat kemiskinan ini mengakibatkan naiknya golongan kelas menengah. Tapi belum lama ini hasil riset Bank Dunia dalam “Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class”, memperingatkan pemerintah bahwa masyarakat Indonesia yang sudah keluar dari garis kemiskinan masih rentan untuk kembali miskin (belum mencapai pendapatan yang aman).

Solusi Basi Ala Kapitalis

Agar penduduk Indonesia yang tergolong menengah ini tidak jatuh miskin atau “rentan miskin”, dan juga untuk bisa meningkatkan jumlah anggota kelas menengah, maka Bank Dunia merekomendasikan 4 hal yaitu:

Meningkatkan gaji dan tunjangan guru, sekaligus memperbaharui sistem managemen kinerja guru.

Meningkatkan anggaran kesehatan dengan salah satu cara peningkatan pajak tembakau dan alkohol.

Memperluas basis pajak. Caranya dengan menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan menaikkan pajak tertentu seperti alkohol, tembakau, kendaraan dan lainnya.

Menyeimbangkan kembali transfer fiskal seperti meningkatkan proporsi dana desa dan mengembangkan peraturan baru untuk mengoperasionalkan penyediaan layanan lintas daerah, termasuk mengatasi talangan pembiayaan dan membangun kapasitas pemerintahan propinsi (katadata,02/02/2020).

Berbagai kebijakan dilakukan, namun tetap tak membuahkan hasil, termasuk rekomendasi dari lembaga Internasional. Kesejahteraan guru, layanan kesehatan dan dana desa sudah berjalan. Tapi justru tidak berkorelasi positif dengan output yang diharapkan malah korupsi makin bertambah. Layanan kesehatan dengan menaikkan iuran BPJS, membuat masyarakat kelas ll banyak yang turun kelas. Kenaikan dan perluasan basis pajak justru akan menambah turun taraf hidup rakyat. Penarikan subsidi bagi rakyat menambah beban rakyat semakin berat. Alih-alih akan menaikkan taraf ekonomi rakyat, malah rekomendasi dan kebijakan tersebut sampai kapanpun tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan ini. Pajak yang menjadi instrumen pemerintah neolib, bukti bahwa negara berlepas diri dalam melayani rakyat. Rakyat dipaksa menghidupi negara dengan pajak. Sementara kekayaan alam dirampok oleh korporasi atas izin penguasa. Sangat menyedihkan.

Solusi Jitu dengan Khilafah

Allah SWT, pencipta manusia telah menurunkan semua aturan yang akan membuat manusia sejahtera.

Seharusnyalah manusia tunduk dan patuh atas aturanNYA. Islam dengan khilafahnya punya solusi dalam mengentaskan kemiskinan (ini bukan halusinasi). Mewujudkan kesejahteraan yang nyata. Cara mengatasi masalah kemiskinan menurut Islam adalah:
Secara individu, Allah SWT mewajibkan setiap muslim yang mampu untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Al Baqarah : 233).

Secara kelompok, Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah bersabda:

Penduduk negeri mana saja yang ditengah-tengah mereka ada seseorang yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri mereka (HR. Ahmad dan Abi Syaibah).

Dari Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda : Warga kampung manapun yang bangun pagi, sementara di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan, maka sungguh jaminan Allah telah lepas dari mereka (HR. Al Hakim).

Secara pemerintahan, Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggungjawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk menjamin ketersediaan kebutuhan pokok mereka. Rasulullah bersabda : Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR. Al Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan mendasar yang diperlukan setiap manusia. Kebutuhan ini dijamin pemenuhannya secara gratis oleh khilafah. Dananya diperoleh dari baitul mal yang salah satunya bersumber dari hasil pengelolaan kekayaan alam negara. Hal ini dilakukan Rasulullah dan para khalifah setelahnya. Pada saat Khalifah Umar, kebijakan ini di atur dengan perincian:

Pendapat zakat dan ‘usyur, didistribusikan ditingkat lokal, jika surplus maka disimpan di baitulmal pusat dan dibagikan ke 8 ashnaf (fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yg terlilit utang, fisabilillah dan orang yg dalam perjalanan).
Pendapatan khumus dan sedekah, didistribusikan kepada fakir miskin untuk membiayai kesejahteraan mereka (untuk muslim dan bukan muslim).
Pendapatan Kharaj, fa’i, jizyah, ‘usyur dan pungutan atas tanah digunakan untuk dana pensiun dan dana bantuan, serta untuk biaya operasional administrasi, militer dan sebagainya.

Pendapatan lain-lain (pengelolaan sumberdaya lainnya) digunakan untuk membayar pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.

Rasulullah SAW sebagai kepala negara di Madinah, menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Misalnya, Rasulullah membangun pasar dan mengizinkan kaum muslimin berjual beli tanpa ditarik retribusi sedikitpun. Rasul membagi ghanimah kepada kaum muslimin, dan memperbolehkan tanah-tanah taklukan untuk diusahakan tanpa pajak. Pada Masa Rasulullah ada sahabat yang tergolong duafa, mereka diizinkan tinggal di masjid nabawi dan mendapat santunan dari kas negara.

Pendistribusian zakat kepada yg berhak menerima tertangani dengan sempurna tanpa ada kelalaian petugas zakat. Dan ada kalanya Rasulullah memerintahkan masyarakat untuk berderma dalam rangka menutupi kebutuhan negara.

Pada masa pemerintahan Umar Bin Khaththab, selama 10 tahun, kesejahteraan merata ke segenap penjuru. Buktinya tidak ditemukan seorang miskinpun oleh Muadz bin Jabal (gubernur Yaman). Muadz pernah mengirim hasil zakat ke Madinah dikarenakan tidak ada di Yaman orang yang berhak menerima zakat. Begitupun di Bahrain dan negeri-negeri lainnya.

Umarpun biasa memberi insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak, membangun “rumah tepung” untuk para musafir yang kehabisan bekal. Memberikan insentif kepada setiap orang yang belajar al Qur’an. Khalifah Umar bin Khaththab sangat memperhatikan kesejahteraan setiap individu rakyatnya. Kisah-kisah seputar ibu yang menanak batu agar anaknya tidak menangis karena kelaparan hingga tertidur, lalu umar sendiri yg membawakan gandum dan memasaknya, sangat populer. Kebiasaan-kebiasaan ini diikuti oleh para khalifah setelahnya. Meski rakyat sejahtera tapi Umar tetap hidup sederhana berkebalikan dengan penguasa di sistem kapitalisme-demokrasi saat ini.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz yang singkat hanya 3 tahun saja, namun kesejahteraan yang Ia lakukan terhadap rakyatnya begitu dikenang. Kisah Yahya bin Said yang diutus untuk memungut zakat di Afrika, saat hendak membagikan zakat, Ia tidak menemui orang-orang yang berhak menerima zakat, tidak ada orang miskin disana. Begitu juga di wilayah Irak dan Basyrah, Abu Ubaid dalam kitabnya Al amwal mengisahkan Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Abdul Hamid bin Abdurrahman (di Iraq) untuk membagi harta kepada masyarakat, hingga membiayai bujangan yang mau menikah, tetapi harta di baitumal itu masih bersisa. Begitu juga di wilayah-wilayah lainnya. Tetapi kehidupan Khalifah Umar bin abdul Aziz tetap sederhana.

Pada masa kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan Cuma-Cuma. Pasien diberi insentif dan dilayani sebaik-baiknya.

Begitulah sepenggal gambaran kehidupan sejahtera di bawah naungan khilafah, kesejahteraan ini bisa terwujud dengan ekonomi Islam yang hanya mungkin diterapkan dalam masyarakat Islam yang menerapkan Islam secara menyeluruh baik di bidang ekonomi maupun di bidang-bidang lain seperti politik, sosial, pendidikan, budaya dan lainnya.(Al Baqarah :208)

Kehidupan pemerintahan Islam adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh makhluk di bumi, pembiayaannya adalah dari pengelolaan sumberdaya alam, zakat dan pos-pos pendanaan lainnya, juga kerjasama yang baik antara penguasa dan rakyat, bukan dari pajak.

Pada dasarnya Allah SWT melarang penguasa mewajibkan pajak atas kaum muslim berdasarkan perintah yang berasal dari penguasa sesuka dia. Allah SWT berfirman dalam surah An nisa : 29 yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil. Hadist Rasulullah SAW : Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya (HR Baihaqi).

Pada kondisi tertentu dimana harta di baitumal tidak mencukupi untuk keperluan belanja, maka beban belanja beralih kepada kaum muslim, sehingga diwajibkan pajak terhadap orang-orang kaya, sesuai keperluan yang wajib untuk kondisi tersebut. Pajak ini ditetapkan bukan mengikuti hawa nafsu penguasa tapi harus sesuai dengan perintah Allah SWT.

Wallahu A’lam bishowwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *