Oleh : Elis Fitriani (Pendidik dan Aktivis Back to Muslim Identity Banten)
Pendidikan memiliki urgensi utama bagi kehidupan manusia, karena dengan pendidikanlah manusia bisa menjadi manusia seutuhnya, pendidikan akan menuntun pola fikir manusia dengan teratur dan terarah kepada kebenaran yang hakiki.
Maka pendidikan tidak bisa dijadikan alat percobaan apalagi permainan karena di dalamnya ada generasi emas yang butuh diarahkan.
Indonesia memiliki sistem pendidikan yang fleksibel bergantung pada pemangku kebijakan yakni menteri pendidikan, jika menteri pada era rezim Jokowi-JK pendidikan disibukkan dengan kurikulum 2013 yang tiap tahunnya mengalami revisi maka menteri pendidikan pada era rezim Jokowi-ma’rufpun mengalami perubahan.
Setelah sebelumnya nilai UN tidak dijadikan penentu kelulusan maka Kebijakan menteri pendidikan Nadiem makarin pada pada tahun 2021 nanti UN akan ditiadakan dengan alasan UN hanya dijadkan ajang menghafal dan tidak memberikan efek yang mampu menyentuh karakter peserta didik karena menghafal hanya mampu menyentuh aspek memori saja, maka UN diganti dengan asesmen kompetensi. Dengan asesmen kompetensi ini ada aspek kognitif yang di test bukan lagi hafalan.
Perubahan ini bukan hanya pada UN, ada 4 gebrakan mendikbud Nadiem yang disebut sebagai “Merdeka Berfikir” diantaranya: meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) Ujian Nasional (UN) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Peraturan Penerimaan Peserta didik baru (PPDB) Zonasi).
Di tengah massifnya kampanye melawan radikalisme dan intoleransi yang tentu saja ditujukan kepada kaum muslimin yang memiliki keterikatan dengan hukum syara’ ketua Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda atau GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim fokus menekan radikalisme di kampus negeri.
“Mas Menteri Nadiem saya pikir harus mulai memetakan potensi gerakan radikalisme yang ada di kampus, terutama di universitas negeri yang secara birokrasi langsung di bawah beliau,” kata Yaqut dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat, 13 Desember 2019. Dilansir TEMPO.CO.
Artinya, semua kebijakan yang diambil tidak akan lepas dari Melawan radikalisme dan intoleransi termasuk pada ranah pendidikan.
Merdeka berfikir akan memberikan kebebasan (liberal) dalam mempelajari dan memahami pelajaran tanpa ada batasan (Agama) sebagai pembatas antara yang boleh atau dilarang, baik atau buruk, halal atau haram. Bagaimana keadaan generasi jika mereka diberi kebebasan dengan sebebas-bebasnya?
Apakah manusia berkarakter akan tumbuh dari sistem yang liberal?
Tentu saja jawabannya tidak mungkin, karena manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas dalam mengarahkan pemahamannya, aturan yang jelas dan teruji keshohihannya sangat dibutuhkan dalam segala aspek termasuk dunia pendidikan.
Dunia pendidikan memang diharapkan bukan menjadi pencetak SDM penghafal tanpa memahami makna dan menginternalisasi pemahamannya, namun dunia pendidikan hanya akan menghasilkan generasi materialistik dan egois bila pemahaman diisi oleh insan berliterasi dan berkarakter universal lepas dari tuntunan Wahyu.