Menyolusikan Gurita Korupsi yang Kian Menjadi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Menyolusikan Gurita Korupsi yang Kian Menjadi

Oleh Irma Faryanti

(Member Akademi Menulis Kreatif)

Korupsi yang terjadi di negeri ini perkembangannya semakin tidak terkendali bahkan kian menjadi. Yang terbaru adalah kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) yang dilakukan oleh Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung berinisial EW. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka dan melakukan penahanan di lembaga antirasuah. (www.bbc.com 20 Desember 2022)

Tersangka ditangkap pada hari Senin 19 Desember 2022. Kasus yang menimpanya menunjukkan bahwa gurita korupsi semakin merajalela, sementara kontrol yang dilakukan penegak hukum sangatlah kecil, padahal mereka memiliki kewenangan yang sangat besar. Peristiwa penangkapan ini sangat disayangkan terjadi, mengingat pelaku saat itu baru mendapat promosi atau mutasi.

Pelaku diduga telah menerima suap senilai Rp. 2 miliar dalam bentuk mata uang asing, dengan kompensasi dapat mempengaruhi keputusan kepailitan sebuah koperasi. EW adalah pelaku ketiga yang dijadikan tersangka setelah sebelumnya hakim agung berinisial SD dan GS juga terseret kasus yang sama. Sayangnya, persidangan dilakukan secara tertutup, sehingga berpeluang terjadinya celah permainan perkara, inilah bukti adanya lemahnya lembaga pengawasan.

Mantan Hakim Agung yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Profesor Gayus Lumbuun mengungkapkan pendapatnya terkait korupsi para hakim ini, menurutnya Indonesia tengah mengalami darurat peradaban hukum. Mereka yang seharusnya menjadi ujung tombak peradilan, justru memberi contoh yang tidak patut. Ia pun menyoroti tentang penempatan, promosi dan mutasi yang diyakini menjadi pemberi celah terjadinya kasus suap di Mahkamah Agung. Gayus menduga ada pelanggaran-pelanggaran karena jalinan hubungan baik. Tim Promosi dan Mutasi (TPM) seharusnya memiliki pedoman baku untuk meloloskan hakim yustisial di suatu wilayah, dengan kata lain harus ada penyeleksian lebih ketat lagi.

Terkait penangkapan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menilai bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) tidak perlu dilakukan, karena mampu merusak citra negara ini. Ia pun meminta tim pemberantasan korupsi untuk memperbaiki kinerjanya agar lebih toleran dan tidak sering melakukan OTT.

Hal ini kontan mendapat kritikan dari berbagai kalangan. Diantaranya M.Isnur selaku Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menyatakan bahwa pernyataan Luhut adalah bukti bahwa ia bersikap toleran dengan aksi korupsi, agar tidak ditindak dan dihukumi, tentu hal ini sangat berbahaya. Padahal apa yang dilakukan KPK merujuk pada Undang-undang yang telah direvisi oleh Presiden RI. Julius Ibrani sebagai Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) meminta sang menteri untuk melakukan kritik langsung kepada Joko Widodo sebagai pemangku kebijakan.

Dari sekian banyak fenomena yang melanda dunia peradilan, pada dasarnya apa yang merupakan sesuatu yang bisa terjadi dalam iklim demokrasi, di mana segala sesuatu dapat dibeli dengan uang dan kekuasaan. Praktik suap seakan menjadi hal yang lazim terjadi untuk meraih keuntungan pihak-pihak tertentu. Berbagai pasal bisa ditarik ulur sesuai kepentingan pelaku pidana. Dan tentu tidak ada yang gratis dalam sistem kapitalis, ada harga yang harus dibayar. Mereka yang mampu menebus dengan nominal yang diminta, dapat bebas dari jeratan hukum atau setidaknya lebih ringan tuntutan dari yang seharusnya ia dapatkan.

Sementara yang lemah, harus rela dengan segala keputusan, walaupun bukti kebenaran ia miliki. Hukum rimba dalam peradilan kapitalis sangat nyata adanya, yang kuat secara materi dia lah yang akan memenangkan perkara. Keadilan bak sebuah benda berharga yang harus ditebus dengan harta yang tidak sedikit. Hanya dalam peradilan kapitalis, pelaku kejahatan dapat melenggang bebas tanpa beban, selama memiliki kemampuan untuk mengendalikannya dengan uang.

Dalam sistem demokrasi kapitalis, hukum bisa dipolitisasi untuk kepentingan individu, kelompok tertentu juga penguasa. Sayangnya, oknum pengadilan justru sering menjadi kepanjangan tangan rezim yang siap mengubah keputusan hukum demi sebuah kekuatan politik. Hal inilah yang membuat masyarakat kian apatis terhadap pengadilan, mereka semakin tidak percaya pada lembaga, rezim dan sistem perundangan yang berlaku. Keadilan, kejujuran, kesamaan di hadapan hukum, independensi serta integritas para penegak hukum seolah sudah tidak ada artinya. Adanya keinginan beberapa pihak untuk mengebiri lembaga antirasuah, semakin mempertegas fakta bahwa bahwa pemberantasan korupsi hanyalah sekedar wacana belaka.

Berbeda dengan kapitalis, Islam memandang peradilan sebagai lembaga yang mampu menyelesaikan perselisihan di antara anggota masyarakat, hingga ke struktur pemerintahan juga penguasa, serta sebagai pencegah berbagai hal yang dapat membahayakan hak orang lain. Berbagai ketidakadilan harus dihukumi sesuai dengan ketetapan syariat. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS al Maidah ayat 49, yang artinya:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”

Di masa pemerintahan Islam di Madinah, Rasulullah saw. adalah orang yang memimpin langsung lembaga peradilan. Memutuskan berbagai permasalahan yang terjadi dan mengangkat hakim untuk memutuskan perkara dengan adil. Dalam kondisi penduduk negeri yang memiliki ketakwaan tinggi serta keterikatan yang kuat terhadap syariat Islam, tentu hukum Allah dijadikan sebagai tolok ukur ketika akan melakukan suatu perbuatan agar tidak menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan.

Sistem peradilan Islam berbeda dengan kapitalis, tidak akan dijumpai adanya mahkamah banding, tidak akan ada keistimewaan hukum dalam suatu perkara. Semua orang dipandang sama dalam menjalankan setiap ketetapan. Syariat juga telah menetapkan sanksi untuk menghukumi suatu pelanggaran, yang keberadaannya berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir di (penebus). Jika keduanya dilaksanakan maka dapat menebus dosanya, agar terbebas dari hukuman di akhirat kelak yang tentu lebih dahsyat.

Demikianlah Islam, sistem sempurna yang mampu memberi solusi bagi seluruh permasalahan manusia. Berbagai tindak kriminal termasuk korupsi akan tersolusikan selama merujuk pada ketetapan syariat. Yang semua hanya akan bisa terwujud saat hukum Allah diterapkan dalam naungan sebuah sistem pemerintahan.

Wallahu a’lam Bishawwab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *