Menyoal Urgensitas Perlombaan Virtual “New Normal”

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ifa Mufida (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)

Beberapa waktu lalu, pemerintah pusat telah mengumumkan 84 pemerintah daerah (pemda) pemenang lomba video simulasi tatanan normal baru alias “new normal”. Pemenang lomba virtual tersebut berhak mendapat total hadiah Rp. 168 miliar. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut pemenang pertama mendapat hadiah Rp 3 miliar, pemenang kedua Rp2 miliar, dan pemenang ketiga Rp1 miliar. Setiap pemda diperbolehkan mengirim video untuk tujuh kategori yang ada (CNN Indonesia, 23/6/2020).

Tito menyebut ada 2.517 video yang diikutsertakan sejak lomba dimulai Jumat (29/5). Video dinilai oleh tim gabungan dari Kemendagri, Kemenkeu, Kemenkes, Kemenpan-RB, Kemenparekraf, Kemendag, Gugus Tugas Percepatanan Penanganan Covid-19, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Mantan Kapolri itu bilang lomba ini dibuat untuk mengkampanyekan “new normal”. Sebab menurutnya “new normal” adalah keniscayaan hingga vaksin virus corona ditemukan.

Sekali lagi ada sebuah kebijakan yang membuat rakyat mengelus dada. Pemberlakuan “social distancing” dan PSBB telah menyebabkan banyak masyarakat telah kehilangan pekerjaan dan usahanya terhambat. Kemudian pemberlakuan “new normal” yang dipaksakan membuat rakyat dihadapkan pada buah simalakama. Di satu sisi, mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, sedang di sisi lain nyawa mereka dipertaruhkan. Belum lagi banyak kebijakan yang mengharuskan mereka harus menjalani tes rapid. Sedang tes rapid sendiri sangatlah mahal bagi sebagian besar rakyat.

Harusnya penguasa benar-benar fokus mengurusi rakyat. Merealisasikan janji-janji yang belum terlaksana, misalnya memberikan insentif bagi tenaga medis yang terlibat pelayanan pasien covid-19. Memberikan alokasi dana untuk mengembangkan penelitian obat dan vaksin virus ini. Memberi bantuan langsung untuk rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Melengkapi fasilitas kesehatan berikut pelayanan tes corona secara gratis, bukan justru membiarkan adanya komersialisasi.

Alih-alih hal tersebut terwujud, yang ada mereka justru mengadakan perlombaan virtual yang patut dipertanyakan urgensitasnya. Jika untuk membuat video promosi “new normal” saja kenapa tidak mempekerjakan orang yang ahli saja di bidangnya. Kemudian video tersebut disebarluaskan kepada rakyat, untuk menyamakan persepsi di antara masyarakat. Tak perlu mengadakan lomba yang menghabiskan dana begitu banyak.

Pemerintah begitu mudah membuang-buang uang untuk proyek yang tak penting. Lebih ironis, salah satu daerah yang menjadi pemenang lomba ini justru merupakan provinsi zona merah yakni Provinsi Jawa Timur. Jatim telah meraih dua penghargaan sekaligus dalam Lomba Inovasi New Normal Life yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri, yakini Juara I sektor Pasar Modern dan Juara II sektor Tempat Wisata. Padahal penambahan kasus positif Covid-19 di Jatim selalu tertinggi setiap harinya. Berikut juga dengan angka kematian, menyumbang angka tertinggi melampaui DKI Jakarta.

Pengadaan lomba virtual dalam rangka sosialisasi new normal sejatinya menunjukkan betapa pemerintah tidak punya rasa empati bahkan kosong rasa peduli. Dalam penanganan pandemi, kebijakan yang diputuskan selau tumpang tindih bahkan kontradiksi. Ambiguitas pun turut mewarnai tersebab ketidakjelasan akan kebijakan yang disahkan. Parahnya, sosialisasi new normal saja harus membuat ajang lomba dengan anggaran yang snagat tidak wajar. Demikianlah, kapitalisme-sekuler sungguh membuat wajah negeri ini kian lama kian suram.

Sampai kapan umat harus menjadi tumbal dari ketidakpedulian penguasa? Sangat berbanding terbalik ketika sistem Islam diterapkan dalam kehidupan. Islam sebagai agama yang sempurna memiliki seperangkat aturan yang sempurna untuk mengatur seluruh kehidupan dan serta memenuhi kebutuhan manusia. Dalam Islam, negara adalah perisai dan penjamin seluruh hajat hidup rakyat. Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat menjadi kewajiban negara. Dipastikan terpenuhi individu per individu. Negara juga mendorong rakyat mampu memenuhi kebutuhan sekundernya. Baik dalam kondisi normal ataupun saat terjadi bencana.

Terkait pengaturan pengelolaan keuangan, negara memiliki rancangan bahkan alokasi dana yang telah diperhitungkan. Seperti Divisi Urusan Darurat/Bencana Alam (ath-Thawaari). Divisi (Seksi) ini memberikan bantuan kepada kaum muslim atas setiap kondisi darurat atau bencana mendadak yang menimpa mereka, seperti gempa bumi, angin topan, kelaparan dan sebagainya. Biaya yang dikeluarkan oleh seksi ini diperoleh dari pendapatan fai dan kharaj, serta dari (harta) pemilikan umum. Apabila tidak terdapat harta dalam kedua pos tersebut, maka kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslim (sumbangan sukarela atau pajak). (Sistem Keuangan Negara Khilafah/Abdul Qadim Zallum, hal 31)

Seorang Khalifah akan memastikan benar-benar anggaran negara bisa disalurkan pada jalur yang benar. Bukan justru digunakan pada pos yang tidak bermanfaat bahkan menjadi ajang korupsi pejabatnya. Dalam kondisi wabah, negara akan bersegera melakukan karantina wilayah yang menjadi episentrum munculnya penyakit. Dengan kebijakan ini, maka roda perekonomian negara tetap akan terus berjalan. Mereka yang dikarantina wilayahnya akan diurusi dari dana baitulmal secara optimal. Yang sakit, diisolasi dan diobati dengan sistem kesehatan yang memadai. Yang sehat, disarankan tetap tinggal di rumah dan kebutuhan pokok mereka dijamin secara gratis.

Sedangkan masyarakat di luar wilayah yang terkena wabah, tetap bisa melakukan aktivitas sebagaimana biasanya tanpa takut tertular penyakit. Negara juga memiliki skala prioritas terhadap anggaran negara anatara lain untuk biaya penelitian dan pengembangan obat-obatan bagi penyakit yang sedang mewabah. Dengan demikian, wabah bisa segera teratasi dengan tepat dna cepat.

Kapitalisme terbukti telah gagal dalam menangani wabah. Kini, wabah telah menyebar ke seluruh dunia dan menjadi problematika yang pelik. Bahkan lembaga otoritas kesehatan dunia telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah mengatasi wabah. Hingga pilihan “new normal” terpaksa diambil. Di sisi lain, negara kapitalis-demokrasi saat ini sedang diambang kehancuran ekonomi akibat resesi. Maka, tak patut lagi peradaban kapitalisme-sekuler ini untuk kita pertahankan. Sudah saatnya Islam kembali memimpin dunia dengan kegemilangan ideologinya. Wallahu a’lam bi showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *