Menyoal Swastanisasi Blok Wabu, Kelola Dengan Islam!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Septiana Rosa Ginting

 

Mungkin belum banyak yang tahu kalau Indonesia mempunyai “harta karun” berupa gunung emas di tanah Papua bernama Blok Wabu. Blok Wabu merupakan bekas lahan tambang PT Freeport Indonesia yang telah dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.

Blok Wabu ini layak disebut “harta karun” karena memiliki sumber daya emas yang tidak main-main besarnya, yakni 8,1 juta ons. Besaran sumber daya ini sebelumnya disampaikan oleh Senior Vice President for Exploration Division MIND ID Wahyu Sunyoto pada Oktober 2020 lalu. Bila dikalikan dengan harga emas sekitar US$ 1.900 per troy ons, maka potensi nilai sumber daya emas di blok ini mencapai sekitar US$ 15,4 miliar atau sekitar Rp 221,7 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$). (CNBC Indonesia,12/09/2021)

Blok Wabu dikembalikan PTFI kepada pemerintah pusat pada awal Juli 2015 lalu sebagai bagian dari kesepakatan dalam amandemen kontrak karya di mana saat itu Freeport membutuhkan kepastian perpanjangan operasi tambang yang akan berakhir pada 2021.

Dalam salah satu poin renegosiasi kontrak yaitu pemerintah pusat meminta PTFI untuk menciutkan luas wilayah operasi tambangnya. Pada saat itu luas wilayah tambang Freeport mencapai 212.950 hektare. Sementara berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), luas wilayah pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi mineral maksimal sebesar 25.000 hektar. Artinya, luas lahan operasi tambang Freeport pun harus diciutkan. Hingga di awal bulan Juli 2015 Freeport secara resmi mengembalikan sebagian wilayah operasi tambangnya kepada pemerintah Indonesia, hingga luas lahan operasi tambangnya menjadi 90.360 hektare. Memang luas lahan tersebut masih di atas aturan pemerintah, namun selebihnya itu disebut hanya sebagai wilayah penunjang operasi tambang.

Aroma Kapitalisme Tercium Kencang

Walaupun Blok Wabu dikembalikan ke Pemerintah pada awal Juli 2015, pemerintah baru secara resmi menyatakan hal tersebut dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 21 Desember 2018. Tak ada angin tak ada hujan, Blok Wabu disinyalir telah jatuh ke tangan swasta. Temuan ini didasarkan pada laporan berbagai lembaga seperti YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan gerakan #BersihkanIndonesia, yang melaporkan ada empat perusahaan yang menguasai konsesi lahan tambang Blok Wabu.

Satu di antaranya adalah PT Toba Bara Sejahtera. Perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan berdasarkan data yang dipaparkan oleh KontraS. Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menyinyalir bahwa dalam proses tender terjadi perebutan dan dugaan permainan mafia. (Tempo, 24/9/2021)

Menurut Ferdy, prioritas tambang mestinya diserahkan kepada BUMN atau BUMD setelah pengembalian Blok Wabu ke pemerintah sudah terlaksana. Sementara, pihak Kementerian ESDM belum memberikan respons terkait tender pengelolaan Blok Wabu yang kabarnya direbut perusahaan swasta. Kementerian ESDM diminta transparan tentang Blok Wabu atas dugaan penguasaan swasta atas tambang milik negara tersebut.

Sebenarnya, penguasaan swasta atas kekayaan alam milik negara bukanlah hal baru di sistem kapitalisme yang tengah diterapkan negeri ini. Berkuasanya Freeport selama puluhan tahun mengeksploitasi tambang emas di Papua cukuplah menjadi bukti nyata begitu kuatnya aroma kapitalisasi tambang. Kapitalisasi tambang bermula dari liberalisasi ekonomi di segala lini. Siapa pun dianggap memiliki hak memenangkan tender meski kekayaan alam tersebut terkategori harta milik umum. Terjadilah kongkalikong antara penguasa dan pengusaha atas nama kerja sama atau kontrak karya. Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator dengan ketok palu UU dan kebijakan yang lebih memihak kepentingan kapitalis.

Terseretnya nama Luhut dalam konsesi tambang milik negara ini mengindikasikan betapa oligarki menggurita di lingkaran penguasa. Segelintir elite bisa berkuasa atas hajat hidup orang banyak. Beginilah efek sistem kapitalisme bekerja. Kekuasaan dipegang segelintir orang. Dengan kekuasaan itu pula mereka bisa leluasa memegang kendali atas nama kebebasan kepemilikan. Penguasa tidak sepenuhnya berkuasa. Pengusaha bisa menjadi penguasa yang sesungguhnya.

Kebebasan kepemilikan dalam kapitalisme memiliki dampak berkepanjangan bagi rakyat. Boleh jadi satu wilayah memiliki kekayaan alam melimpah, tetapi tak menjamin penduduknya hidup sejahtera. Ketimpangan inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa kapitalisme bukanlah sistem yang manusiawi. Di satu sisi ada golongan kaya raya bak raja, di sisi lainnya ada golongan rakyat miskin yang bahkan untuk mencari sesuap nasi saja begitu susah. Ibarat ayam mati di lumbung padi, Indonesia adalah negeri kaya SDA, tetapi rakyatnya belum sejahtera.

 

Kelola Blok Wabu dengan Islam

Blok Wabu yang merupakan bagian dari barang tambang termasuk dalam kepemIlikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan harta milik umum kepada individu, swasta, ataupun asing.

Pengelolaan kepemilikan umum ini merujuk pada sabda Nabi saw., “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah). Rasul saw juga bersabda, “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah)

Mengenai kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).

Dalam Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik garam maupun selain garam, seperti batu bara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas, dan sebagainya, semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas. Oleh karenanya, pengelolaan tambang emas seperti Freeport dan Blok Wabu tidak seharusnya dilelang atau diperjualbelikan layaknya barang dagangan milik pribadi. Bayangkan bila tambang emas Freeport dan Blok Wabu dikelola berdasarkan pedoman syariat Islam, itu sudah cukup memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya Papua. Bisa pula membayar utang Indonesia yang membengkak.

Itu baru satu gunung emas, belum kekayaan alam lainnya seperti hutan, laut, dan tambang lainnya. Alangkah luar biasanya bila negeri yang disebut sebagai Zamrud Khatulistiwa ini benar-benar mau menerapkan syariat Islam secara kafah dalam tata kelola negara Khilafah. Mimpi menjadi negara maju bukan saja ilusi, kesejahteraan rakyat bukan lagi utopi, asalkan negeri ini menerapkan sistem Islam secara menyeluruh.

Pengelolaan tambang yang pas, logis, dan menyejahterakan hanya bisa dilakukan dengan syariat Islam. Sehingga, anugerah Allah Swt. yang sangat besar ini dapat menjadi berkah bagi alam, manusia, dan kehidupan. Bukan menjadi malapetaka yang berujung sengsara.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *