Menyerang Mata Keadilan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ainur M. Dzakiyah

Khotbah soal moral, omong keadilan
Sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu, lobying dan upeti
Wow jagonya.

Sepenggal lirik lagu berjudul Bento yang dipopulerkan oleh Iwan Fals, cukup menggambarkan tindak- tanduk pejabat negeri ini. Kosakata keadilan hanya dijadikan sarapan yang disantap dan berlalu. Keadilan masih menjadi barang yang langka di negeri ini. Baru-baru ini publik dibuat tehenyak dengan proses persidangan kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan.

Persidangan bak sebuah pertujukan akbar yang dtuggu-tunggu oleh rakyat Indonesia. Kasus yang sudah bergulir selama tiga tahun telah menyita perhatian publik. Namun pertunjukan akbar tersebut hanya menyajikan sandiwara keadilan.

Jaksa penuntut umum menuntut 1(satu) tahun penjara saja pada para pelaku, Kamis 11 Juni 2020, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Jaksa penuntut umum mempunyai alasan tersendiri kenapa hanya menuntut dua terdakwa dengan hukuman 1 tahun penjara. JPU menilai kedua terdakwa yang merupakan anggota Polri itu tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat dari Pasal 355 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Alasannya, cairan yang disiram Rahmat tidak disengaja mengenai mata Novel. Menurut JPU, cairan itu awalnya diarahkan ke badan Novel. “Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan, tetapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen, sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi,
Pembacaan tuntutan ini seperti bagai sebuah twist dalam bagian akhir novel.

Twist yang mengecoh harapan publik pada panggung pengadilan yang telah lama menunggu babak akhir. Tuntutan ini jelas melukai hati korban yang merasa tidak diperlakukan tidak adil. Bukan hanya itu mata keadilan publik juga tersiram karena tuntutan ringan yang terkesan menghina hukum. Hal itu nampak pada reaksi para tokoh, diantaranya Ustadz Haikal Hasan yang langsung meng tweet dalam tweeternya. @haikal_hassan
Gak sengaja beli air keras
Gak sengaja kemas dlm btl
Gak sengaja intai bbrp hari
Gak sengaja bangun subuh
Gak sengaja ikutin dr rumah
Gak sengaja nunggu selesai
Gak sengaja nyiram
Eeehhh….. kena muka.

Kemudian reaksi lainnya datang dari komika muda indonesia, Bintang Emon, yang coba berkmentar tentang logika tidak sengaja yang diungkapkan oleh para peaku. Bintang emon mengatakan kita hidup di bumi yang gaya gravitasi membuat benda yang jatuh turun ke bawah. Jadi tidak mungkin air keras sampai ke muka kalau tidak sengaja kecuali Novel Baswedan berdiri hand stand.

Fakta-fakta yang terjadi semakin membuat kita harusnya mengetahui bahwa ketidakadilan yang terjadi dibidani oleh sistem kapitalisme telah mengakar kuat di negeri ini. Sistem kapitalisme yang berlandaskan asas manfaat membuat keadilan hanya berpihak kepada manusia-manusia yang berada di lingkaran kekuasaan dan para kapitalis. Demokrasi senantiasa tebang pilih dalam menegakkan keadilan.

Ada udang di balik batu. Kita tidak boleh menutup mata, bahwa penyerangan kasus Novel Baswedan bukan sekedar tindakan yang diakibatkan oleh rasa sakit hati oleh seorang anggota polisi. Namun Novel Baswedan adalah salah satu penyidik dari kpk yang mengurusi banyak kasus korupsi besar. Seperti kasus E-KTP yaitu Kasus yang merugikan negara sebesar 2,3 trilyun dan kasus korupsi simulator ujian SIM Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas) Polri. Novel kerap diserah tugas menyidik kasus besar yang ujung-ujungnya membuat kiprah KPK smeakin dikenal. Orang-orang besar tanpa pandang bulu diseret Novel dengan masa hukuman mulai 2 tahun hingga seumur hidup. (tirto.id 11 /4/2017) bisa jadi ada pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu dengan sepak terjang novel baswedan.
Keadilan, hanyalah mimpi di siang bolong di negeri demokrasi. Meskipun lagu keadilan senantiasa dinyanyikan oleh para pejabat ketika kampanye dan blusukan. Namun ketika “ diminta tolong” untuk menjaga bendera keadilan dalam kasus ini terkesan membuang badan. Hal itu nampak dari pernyataan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adiansyah ketika dihubungi oleh wartawa kompas mengatakan Presiden selaku pimpinan tertinggi di eksekutif tak bisa mencampuri urusan yudikatif.

“Presiden tidak bisa mencampuri urusan judisial, paling hanya memberikan dorongan penguatan agar keadilan ditegakkan dan bisa memuaskan semua pihak,” kata Donny.

Baca juga: Istana: Jokowi Tak Bisa Intervensi Sidang Penyerangan Novel Baswedan Ia pun mengajak seluruh masyarakat untuk mengikuti saja proses persidangan yang masih berjalan. Jika memang nantinya vonis hakim juga dirasa tidak memenuhi rasa keadilan, pihak Novel bisa mengajukan banding. (https://nasional.kompas.com/read/2020/06/17/09570001/tuntutan-ringan-penyerang-novel-baswedan-dan-istana-yang-akhirnya-buka-suara?)

Berbeda dengan sistem islam ketika diterapkan di dalam sebuah negara. Disebutkan di dalam buku sistem sanksi dan hukum pembuktian dalam islam karya Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad ad-Daur, di bab Diyat Anggota Tubuh dan Tulang Manusia disebutkan sanksi yang tepat untuk para pelaku yang melakukan kejahatan serupa yang mengenai mata/ penglihatan.

Jika terjadi penyerangan terhadap dua biji mata, dikenakan diyat. Untuk satu biji mata dikenakan ½ diyat. Ini berdasarkan sabda rosulullah saw:
“Pada dua biji mata dikenakan diyat”
Diriwayatkan dari nabi SAW bahwa beliau SAW, pernah bersabda:
“Pada saat biji mata, diyatnya 50 ekor unta.”

Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara dua biji mata yang besar atau yang kecil, yang cantik, atau yang jelek yang sakit, juling atau rusak jika, kedua mata masih memiliki putih mata, dan tidak mengurangi penglihatannya, maka hal tersebut tidak mengurangi diyatnya. Namun bila sampai mengurangi penglihatan mata, maka setiap pengurangannya dikenai diyat menurut kadar pengurangannya. Maksud dari pengurangan penglihatan disini bukan mengurangi peglihatan dari kesempurnaannya serti 6/6 atau 9/6 tetepi menguranginya sebelum dikenai serangan
Hilangnya penglihatan wajib dikenakan diyat. Sebab, setiap dua organ wajib dikenai diyat, karena lenyapnya organ itu dan leyappnya fa’al dari organ tersebut. Jika seseorang menyerang kepala orang lai kemudian menyebabkan lenyapnya penglihatan, maka orang tersebut dikenai diyat. Jika serangan tersebut tidak sampai melenyapkan penglihatan, maka ia harus mengobatinya. Akan tetapi jika penglihatannya lenyap karena pengobatan tersebut , maka ia wajib memmatyar diyat. Apabila mereka bersengketa dalam menetapkan lenyapnya penglihatan hal itu dikembalikan kepada dua atau lebih ahli / spesialis mata. Islam mengatur sanat rinci dan detail dalam masalah ini. Komponen keadilan yang telah digariskan oleh Allah. Hal tersebut juga ditunjang dengan kompetensi hakim yang faqih fiddin dan political will yang baik oleh pemerintah dalam menghasilkan situasi yang kondusif sesuai rel syariah.

Penerapan hukum islam yang berfungsi sebagai jawazir (pencegah) dan jawabir (penebus) terbukti telah memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Bukan hanya keadilan yang didapatkan, namun kebutuhan akan rasa aman yang menjadi kebutuhan pokok manusia juga diraih. Sistem tersebut lahir dar landasan akidah yang kokoh, terlepas dari kepentingan subyektif manusia yang relatif. Namun di sistem demokrasi masyarakat harus siap untuk tersiram mata keadilannya berkali-kali karena kepentingan lah yang menyetir panggung keadilan di negeri ini. Dan yang lebih mengkhawatirkan tindakan serupa bisa jadi lebih mudah terjadi karena hukum yang lemah.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *