Menilik Jurus Presiden Atasi Lonjakan Pandemik, Solusi atau Cuma Diksi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Jannatu Naflah (Praktisi Pendidikan)

Presiden Joko Widodo menyoroti lonjakan kasus Covid-29 di sejumlah daerah. Ia memastikan jajarannya agar tetap concern untuk memasifkan 3T, tracing, testing, treatment. Menjadi rahasia publik, realisasi new normal berbuntut kasus Covid-19 meningkat. Kasus positif bertambah 1000 setiap harinya. Lonjakan tertinggi terjadi pada Kamis, 9/7/2020, tercatat ada 2657 kasus positif pada hari itu. Hingga hari ini total ada 78.572 kasus positif, 46.701 suspek dan 23.001 spesimen. (@BNPB_Indonesia, 14/7/2020).

Guna mendukung keberhasilan jurus 3T ini, presiden meminta agar jumlah tes PCR lebih ditingkatkan, jumlah laboratorium ditambah dan laboratorium mobile diperbanyak. Peningkatan juga dilakukan berkaitan dengan tracing untuk suspek dan spesimen.

Presiden juga mengingatkan isolasi mandiri dan fasilitas rumah sakit berkaitan dengan APD, obat-obatan hingga ventilator, harus lebih ditingkatan. Terakhir, presiden meminta jajarannya melakukan komunikasi yang dapat dipercaya masyarakat. Komunikasi itu harus berbasis ilmu pengetahuan, sains dan data. (cnnindonesia.com, 13/7/2020).

Ketiga jurus ini sejatinya jurus lama yang terlambat dimasifkan. Bahkan dapat dikatakan sangat lambat, mengingat lonjakkan kasus sudah sangat tinggi. Indonesia ibarat sudah kehilangan momen terbaiknya dalam melawan Corona. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK), Ahmad Arif. Ia menilai, Indonesia kehilangan golden time atau momentum terbaik dalam menangani pandemi Covid-19.

Arif mengatakan selain terlambat dalam antisipasi, kemampuan untuk melakukan tes juga dinilai belum baik. Mengingat kasus pertama kali dilaporkan pada Maret dan hingga hari ini, penyebaran kasus semakin meningkat.

Arif juga menyoroti kebijakan new normal. Meski kasus Covid-19 masih tinggi, dalam sejumlah pernyataan, banyak pejabat yang justru terlihat mendorong masyarakat untuk mulai beraktivitas meski dengan menerapkan protokol kesehatan. Namun, faktanya masih banyak kalangan masyarakat banyak yang abai terhadap protokol kesehatan, karena menganggap kampanye new normal diinterpretasikan sebagai kondisi yang sudah normal. (kompas.com, 13/7/2020).

Jurus baru rasa lama atasi lonjakan pandemik ini, tidak hanya menjadi sinyal kegagalan new normal, tapi juga kegagalan komunikasi antara penguasa dan rakyatnya. New normal yang terkesan prematur dan ‘maksa’ tidak hanya membingungkan rakyat. Lebih buruk lagi, menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Maka, tidak salah jika jurus ini tidak hanya terlambat, tapi pasti akan menimbulkan diksi dan istilah baru lagi yang membingungkan.

Alih-alih serius melawan Corona, penguasa justru lebih senang bermain diksi dan istilah. Membingungkan dan menambah ruwet masalah. Jurus presiden ini semestinya memang sudah digencarkan dan dimasifkan sejak awal wabah datang. Bukan justru di saat lonjakan kasus Covid-19 melonjak tidak terkontrol.

Andai saja penguasa lebih peka dan mendengarkan saran ahli dan data sains. Tentunya gelombang Covid-19 dapat dihadang dan diredakan. Sebab jauh hari, tidak sedikit para ahli menyebut terlalu dini menerapkan new normal saat kurva belum melandai. Bahkan seruan mereka untuk melakukan lockdown tidak didengar sedikit pun oleh penguasa. Sebaliknya malah menerapkan PSBB yang aturannya plin-plan dan tidak jelas.

Kepekaan penguasa sejatinya sudah diuji sejak awal pandemik. Menyebut jajarannya untuk meningkatkan alkes. Faktanya, ekspor APD ke Jepang dan Korea jalan terus. Padahal di saat yang sama kebutuhan alkes dalam negeri juga tinggi. (cnnindonesia.com, 15/4/2020). Demikian pula dalam testing, komersialisasi tes Corona, baik rapid test dan swab test dengan PCR, menjadi rahasia umum yang tidak terbantahkan.

Menyebut komunikasi berbasis ilmu pengetahuan, sains, dan data harus digencarkan dan disosialisasikan. Faktanya, penguasa sendiri yang mengabaikan saran ahli dan data sains tersebut. Lihatlah, dagelan baru yang membuat rakyat terpingkal-pingkal, pemerintah memberikan solusi lucu berupa kalung anti-Corona ala Kementan. (detik.com, 3/7/2020).

Jelas, jurus presiden menjadi kurang ampuh sebab terlambat sebagai antisipasi. Sebagai pemimpin semestinya sejak awal jurus ini sudah dimasifkan dan dibarengi dengan upaya lockdown. Bukan maju mundur dan plin-plan dalam mengambil solusi. Bahkan justru asyik bermain dengan diksi dan istilah. Bukti, kepemimpinan dalam naungan kapitalisme tidak hanya minim sense of crisis, tapi juga berorientasi ekonomis.

Kepemimpinan ini jelas berbeda jika dalam naungan Islam. Dalam Islam, penguasa adalah raa’in dan junnah. Ia diamanahi berbagai urusan dan kemaslahatan rakyat. Untuk itu setiap ucapan dan tindakan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. kelak.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
“Tidaklah seorang hamba, yang Allah minta untuk mengurus rakyat, mati pada hari di mana dia menipu (mengelabui) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Penguasa yang memahami amanah ini, pastinya akan sangat hati-hati dalam lisan, tindakan dan kebijakannya. Ia tidak plin-plan, sebaliknya cepat dan tegas dalam membuat kebijakan. Sebab kebijakannya mengutamakan kepentingan dan nyawa rakyat. Ia memahami benar bahwa kemaslahtan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Lisannya terjaga dari bermain diksi dan pencitraan. Sebaliknya lisannya bak seorang ibu yang menenangkan dan memberi harapan. Lisannya dibuktikan dengan tindakan yang membuat rakyat merasa aman dan nyaman dalam naungannya.

Luar biasanya, ia tidak hanya membuat kebijakan, tapi juga hadir di tengah rakyatnya. Kepekaannya yang tinggi terhadap derita rakyat, membuatnya berada di tengah rakyatnya. Bersama merasakan derita rakyat dan membantu rakyat segera keluar dari segala masalahnya. Semua ini tergambar nyata, sebagaimana teladan yang dicontohkan Khalifah Umar bin Khattab ra. yang peka dan ringan tangan saat rakyatnya terkena wabah.

Inilah sejatinya penguasa yang dirindukan umat hari ini. Penguasa yang memiliki sense of crisis yang tinggi dengan kebijakannya yang jelas extraordinary. Bukan penguasa yang kurang peka dan maju mundur dalam mengambil solusi. Tentunya penguasa seperti ini dapat ditemukan jika sistem Islam diterapkan secara kafah dalam institusi khilafah. Insya Allah. Wallahu’alam bishshawwab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *