Menguji Kebijakan Belanja Baju Lebaran Menteri

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nur Hikmah (Aktivis Muslimah)

 

Menjelang lebaran, pusat perbelanjaan banjir pengunjung. Sebagaimana dilansir di berita, https://www.liputan6.com/news/read/4548066/4-fakta-terkait-pasar-tanah-abang-kembali-disesaki-pengunjung-jelang-lebaran

Miris, di saat pandemi masih berlangsung maka dipastikan potensi penyebaran virus corona juga ikut naik. Berbagai cara pun dikerahkan untuk mengatur ini semua, dari pembatasan pintu masuk hingga petugas yang berjaga-jaga di pusat berbelanjaan dengan menggunakan toa. Sayang di berbagai kawasan tetap ramai. Bagaimana tidak? inilah tradisi tahunan khususnya di negeri ini.

Maka dibutuhkan semua elemen yang saling mendukung, bolehlah berjualan tapi tetap mematuhi protokol kesehatan. Dan tidak berdesak-desakan. Apalagi perbelanjaan sekarang banyak pilihannya, market online misalnya. Walaupun masyarakat masih suka belanja langsung.

Bukan langsung menyalahkan kepada kesadaran individu rakyat 100 persen. Tidak akan berjalan maksimal. Siapa yang berkewenangan membuat kebijakan kalau bukan pemerintah. Negaralah yang paling efektif membentuk masyarakat. Harus ada proses edukasi yang efektif. Karena itu, butuh kebijakan yang selaras yang mengantisipasi. Sehingga pencegahan penularan bisa diminimalisir.

Paradoks Kebijakan

Sayang seribu sayang pada saat yang sama justru pemerintah yang mendorong kosumsi. Rakyat didorong untuk belanja, sebagaimana dikutip di
https://www.wartaekonomi.co.id/read338518/sri-mulyani-ngajak-belanja-baru-lebaran-warganet-jangan-bercanda-bu.

Menteri memberi kebijakan belanja baju lebaran.
Alasan ekonomi inilah yang dijadikan alasan pemerintah yang ke sekian kali. Sungguh ironi, atau lebih bisa dikatakan paradoks. Pemerintah seolah setengah hati dalam menyelamatkan rakyat ini dalam melindungi kesehatan mereka.

Butuh Islam

Islam meletakkan tanggung jawab pemimpin untuk benar-benar mengurusi rakyat mereka. Bukan malah mengorbankan rakyat seperti yang kita saksikan saat ini. Sebagaimana di hadits Rasulullah, imam itu adalah perisai, yang melindungi rakyatnya. Bahkan jika tidak sungguh-sungguh bahkan mendholimi rakyatnya, diancam oleh Allah haram mencium bau surga. Sampai segitunya tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah SWT. Karena itu hanya pemimpin yang menerapkan syariah yang benar-benar melindungi rakyat. Dan itu tidak dihasilkan dari ideologi sekuler saat ini. Yang menjadikan manfaat sebagai tujuan utama dalam kepengurusannya. Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *